25 Desember, Hari Mualaf Sedunia: Simbol Kesadaran Iman di Tengah Hiruk Pikuk Natal Global
Ahad, 28 Desember 2025
Faktakini.info
UAF
25 Desember, Hari Mualaf Sedunia: Simbol Kesadaran Iman di Tengah Hiruk Pikuk Natal Global
Di tengah gemerlap perayaan Natal yang mendominasi ruang publik global setiap 25 Desember, sebuah narasi alternatif kian menguat di kalangan umat Islam lintas negara: penetapan 25 Desember sebagai Hari Mualaf Sedunia. Meski belum diresmikan oleh lembaga internasional, gagasan ini tumbuh sebagai kesadaran kolektif dan simbolik—bukan administratif—yang sarat makna sosial, dakwah, dan refleksi keimanan.
Gagasan Hari Mualaf Sedunia tidak lahir dari ruang hampa. Ia muncul dari realitas empiris yang jarang disangkal: setiap bulan Desember, terutama menjelang dan pada 25 Desember, terjadi lonjakan signifikan orang yang masuk Islam (mualaf) di berbagai negara. Fenomena ini berulang dan terdokumentasi dalam laporan lembaga dakwah, masjid-masjid besar di Eropa, Amerika, Afrika, hingga Asia Tenggara. Polanya konsisten: momentum Natal justru menjadi ruang kontemplasi eksistensial bagi banyak pencari kebenaran.
Secara sosiologis, Natal adalah puncak refleksi teologis umat Kristen: tentang ketuhanan Yesus, konsep penebusan dosa, dan relasi manusia dengan Tuhan. Ironisnya—atau justru logis—di titik refleksi terdalam itulah sebagian orang mengalami kegelisahan intelektual dan spiritual. Pertanyaan tentang Trinitas, inkarnasi, dan dosa warisan mendorong pencarian alternatif teologis yang lebih rasional dan tauhidik. Dalam konteks inilah Islam sering hadir sebagai jawaban.
Penentuan 25 Desember sebagai Hari Mualaf Sedunia bukan dimaksudkan sebagai bentuk provokasi atau penistaan terhadap umat agama lain. Sebaliknya, ia adalah counter-narrative simbolik: sebuah penanda bahwa hidayah bekerja di ruang yang sunyi, personal, dan sering kali berseberangan dengan arus besar budaya. Jika Natal dipahami sebagai hari kelahiran figur sentral Kristen, maka 25 Desember juga pantas dikenang sebagai hari “kelahiran iman baru” bagi ribuan, bahkan jutaan mualaf di seluruh dunia.
Dari perspektif dakwah, penetapan ini juga membawa pesan strategis. Selama ini, mualaf sering diperlakukan sebagai “peristiwa sesaat”: disyahadatkan, difoto, lalu ditinggalkan. Hari Mualaf Sedunia mengingatkan bahwa mualaf adalah amanah jangka panjang, membutuhkan pendampingan akidah, pendidikan ibadah, penguatan sosial, dan perlindungan psikologis. Penetapan satu hari simbolik memudahkan konsolidasi perhatian umat Islam terhadap kelompok yang paling rentan dalam perjalanan keimanan.
Ada pula alasan historis-kultural yang tak kalah penting. 25 Desember adalah tanggal yang secara global sudah “mapan” dalam kalender dunia. Mengaitkan Hari Mualaf dengan tanggal ini membuat isu mualaf keluar dari pinggiran, masuk ke percakapan global, dan tidak terkurung dalam kalender internal umat Islam yang sering luput dari perhatian dunia internasional.
Dengan demikian, dukungan terhadap 25 Desember sebagai Hari Mualaf Sedunia bukan klaim legal-formal, melainkan deklarasi kesadaran moral dan spiritual. Ia menegaskan bahwa hidayah tidak mengenal musim, tetapi sejarah menunjukkan: pada 25 Desember, pencarian kebenaran sering mencapai puncaknya.
Di tengah dunia yang semakin bising oleh simbol, Hari Mualaf Sedunia menawarkan jeda untuk merenung—tentang iman yang dipilih dengan sadar, bukan diwariskan; tentang keberanian meninggalkan keyakinan lama demi kebenaran yang diyakini; dan tentang Islam sebagai agama yang terus ditemukan, bukan sekadar dilahirkan.
