Mengapa Habaib Selalu Disalahkan? Catatan Kritis atas Kisruh PBNU dan Logika Publik yang Tergelincir
Ahad, 28 Desember 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
Mengapa Habaib Selalu Disalahkan? Catatan Kritis atas Kisruh PBNU dan Logika Publik yang Tergelincir
Setiap kali terjadi kegaduhan di tubuh Nahdlatul Ulama, ada satu pola yang nyaris selalu berulang—bahkan bisa ditebak arahnya. Alih-alih mengurai masalah secara jernih dan proporsional, sebagian netizen justru buru-buru mencari “kambing hitam”. Dan dalam kisruh antara Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, kambing hitam itu lagi-lagi bernama Habaib.
Pertanyaannya sederhana tapi fundamental: mengapa harus Habaib yang disalahkan, jika tidak terbukti salah? Dan sebaliknya, mengapa harus dibela hanya karena “pribumi”, jika faktanya memang keliru? Di titik inilah nalar publik sering kali tergelincir—antara fanatisme identitas dan keberanian untuk bersikap adil.
NU sejak awal tidak dibangun di atas logika darah, marga, atau asal-usul. NU berdiri di atas akhlak, sanad keilmuan, dan adab bermusyawarah. Maka, menilai seseorang—siapa pun dia—semestinya bertumpu pada peran, sikap, dan kontribusinya, bukan pada marganya.
– Foto yang Mengusik, Opini yang Digiring
Serangan massif terhadap Habaib dalam kisruh PBNU ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia menemukan momentumnya sejak beredarnya foto Habib Mustofa Al-Aydrus yang diapit Rais ‘Aam KH. Miftachul Akhyar dan Ketua Umum PBNU Gus Yahya, baik di Lirboyo (25/12/2025) maupun dalam silaturahmi lanjutan di Surabaya (26/12/2025.
Sejak foto itu beredar, sebagian kelompok—yang di ruang digital sering berafiliasi dengan narasi sektarian dan anti-Habaib—tampak gusar. Komentarnya seragam: numpang tenar, bukan siapa-siapa, mengatur NU, bahkan sampai pada seruan emosional bahwa NU harus bersih dari Habaib. Sebuah tuduhan besar, dilontarkan dengan data yang—jujur saja—sangat minim.
Logikanya terbalik. Jika tidak ada peran, mengapa kehadirannya begitu dipersoalkan? Jika benar hanya “figuran”, mengapa justru menjadi sasaran empuk serangan?
– Fakta Sosial: Ada Peran, Ada Relasi, Ada Ikhtiar
Mari kita bicara dengan kepala dingin.
Di luar para masyayikh Lirboyo, Ploso, dan tentu saja keberkahan arwah para muassis NU, ada satu nama yang memang tidak bisa dihapus dari rangkaian ikhtiar menuju islah: Habib Mustofa Al-Aydrus, dari Bangilan, Tuban—marga Ba ‘Alawi.
Beliau bukan orang asing di lingkaran ini. Dari jalur ibu, Habib Mustofa memiliki hubungan keluarga dengan Mbah Baidhowi Lasem (yang juga famili Gus Yahya). Istrinya adalah cucu Mbah Misbah Mustofa Bangilan—adik dari Mbah Bisri Mustofa, kakek Gus Yahya. Relasi kultural dan kekeluargaan ini bukan untuk dibangga-banggakan, tapi untuk menjelaskan mengapa beliau punya akses moral dan emosional kepada dua tokoh yang sedang bersitegang.
Lebih dari itu, sebelum pertemuan di Lirboyo, Habib Mustofa diketahui aktif wira-wiri membujuk, menenangkan, dan menjembatani komunikasi—baik kepada Rais ‘Aam maupun Ketua Umum. Fakta ini bukan klaim sepihak, tapi tercermin dari posisi beliau dalam pertemuan resmi, serta pengakuannya sendiri dalam wawancara pasca-islah.
Apakah ini berarti Habib Mustofa adalah satu-satunya aktor perdamaian? Tidak. Dan tulisan ini sama sekali tidak menafikan peran ulama lain. Namun meniadakan peran beliau secara total—apalagi sambil mencaci Habaib secara kolektif—jelas tidak jujur secara intelektual.
– Masalahnya Bukan Siapa, Tapi Sikap
Yang lebih mengkhawatirkan dari sekadar polemik PBNU adalah semangat menghasud yang membabi buta: menyerang marga, bukan argumen; membenci identitas, bukan perilaku. Padahal NU sejak lahir justru menjadi rumah besar yang merangkul—bukan menyaring dengan logika eksklusif.
Habib Mustofa sendiri bukan figur yang gemar konflik. Ia pernah mengalami persekusi, namun memilih memaafkan. Ia dikenal humoris—bahkan tawa yang terekam dalam pertemuan Rais ‘Aam dan Ketua Umum, konon, lahir dari guyonan beliau. Dan ia hadir bukan untuk mengambil panggung, melainkan meredam bara.
– Belajar Adil, Bukan Reaktif
Akhirnya, yang perlu kita jaga bukan hanya soliditas PBNU, tapi kewarasan cara berpikir kita sendiri. Jika yang salah adalah oknum—maka salahkan oknumnya. Jika yang benar adalah seseorang—maka benarkan, siapa pun dia. Entah ia Habaib, kiai kampung, atau aktivis media sosial.
Islah di Lirboyo, sowan di Surabaya, dan kesepakatan mempercepat muktamar adalah sinyal bahwa NU memilih jalan musyawarah, bukan keributan. Maka tugas kita sebagai warga NU—dan warga digital—adalah ikut mendinginkan suasana, bukan menyiram bensin dengan prasangka.
Karena pada akhirnya, NU tidak akan runtuh karena perbedaan pendapat. NU justru bisa retak jika keadilan dikorbankan oleh kebencian identitas.
#PBNU #gusYahya #KyaiMiftahulakhyar #islah #Muktamar #HabibMustofaJawani
