Habib Rizieq Dukung Penetapan Bencana Nasional di Sumatera, Kritik Pendapat Prof Pieter Mahmud

 



Kamis, 25 Desember 2025

Faktakini.info, Jakarta - Imm Besar Habib Rizieq Syihab (IBHRS), menyatakan dukungannya agar bencana besar yang melanda wilayah Sumatera ditetapkan sebagai Bencana Nasional. Ia sekaligus mengkritik keras pandangan Prof. Pieter Machmud yang menilai penetapan bencana nasional berpotensi membuka jalan intervensi asing dan ancaman disintegrasi bangsa.

Dalam pernyataan tertulisnya, Habib Rizieq menilai pendapat Prof. Pieter Machmud sebagai pandangan yang “terlalu dangkal” dan tidak melihat persoalan secara menyeluruh. Menurutnya, bencana yang terjadi tidak hanya melanda Aceh, tetapi juga Sumatera Utara dan Sumatera Barat, dengan cakupan wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan sejumlah bencana lain yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai bencana nasional.

“Bencana kali ini terjadi di beberapa provinsi di Sumatera, jauh lebih luas jika dibandingkan dengan Tsunami NTT 1992 maupun Tsunami Aceh 2004 yang keduanya ditetapkan sebagai Bencana Nasional,” ujar Habib Rizieq.

Habib Rizieq juga menepis anggapan bahwa penetapan bencana nasional di Aceh pada 2004 menjadi penyebab lahirnya Perjanjian Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia menegaskan bahwa proses perundingan Aceh telah dimulai jauh sebelum tsunami 2004 terjadi.

“Perundingan Aceh sudah dimulai jauh sebelum tsunami. Sejak 1999, FPI sudah terlibat diskusi dan mengusulkan perjanjian tersebut kepada sejumlah tokoh nasional,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Habib Rizieq justru menilai bahwa tidak ditetapkannya suatu bencana sebagai bencana nasional dapat memicu ketidakpuasan daerah. Ia mencontohkan Aceh, di mana menurutnya selama lebih dari 20 tahun masih banyak butir Perjanjian Helsinki yang belum dipenuhi pemerintah pusat, sehingga berpotensi menimbulkan kembali tuntutan referendum.

Selain itu, Habib Rizieq menyoroti aspek lingkungan yang dinilainya luput dari perhatian. Ia menyebut bahwa narasi penolakan bencana nasional berpotensi menutupi kejahatan besar berupa penggundulan hutan yang dilakukan oleh mafia dan oligarki.

“Pandangan seperti itu hanya ingin menutupi kejahatan penggundulan hutan yang selama ini terjadi,” tegasnya.

Sebelumnya, Prof. Pieter Machmud, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, menyatakan bahwa deklarasi bencana nasional memiliki konsekuensi serius. Ia berpendapat bahwa status tersebut dapat membuka jalan bagi campur tangan asing melalui mekanisme humanitarian intervention, yang pada akhirnya berpengaruh pada rekonstruksi, rehabilitasi, hingga dinamika politik daerah.

Prof. Pieter juga mengaitkan pengalaman tsunami Aceh 2004, yang menurutnya berujung pada perundingan RI-GAM dan melahirkan kekhususan Aceh, termasuk keberadaan partai lokal dan penerapan hukum syariah.

Menutup pernyataannya, Habib Rizieq menilai pemerintah saat ini perlu bersikap tegas namun tetap adil dalam melindungi rakyat korban bencana. Ia berharap penetapan bencana nasional dilakukan murni demi kemanusiaan, tanpa rasa takut berlebihan terhadap isu intervensi asing.