HABIB HANIF: KRITIK TERHADAP ISTIDLAL PROF. QURAISH SHIHAB DALAM PEMBOLEHAN UCAPAN SELAMAT NATAL
Kamis, 25 Desember 2025
Faktakini.info
KRITIK TERHADAP ISTIDLAL PROF. QURAISH SHIHAB DALAM PEMBOLEHAN UCAPAN SELAMAT NATAL
Oleh : Dr. Muhammad Hanif Bin Abdurrahman Alathas, Lc, M.Pd*
Prof. Dr. Quraish Shihab membolehkan muslim mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani dengan dalil bahwa ucapan serupa ada dalam al-Qur'an, yaitu QS. Maryam ayat 33:
وَٱلسَّلَـٰمُ عَلَیَّ یَوۡمَ وُلِدتُّ وَیَوۡمَ أَمُوتُ وَیَوۡمَ أُبۡعَثُ حَیًّا
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali."
Beliau berpendapat bahwa karena al-Qur'an menyebutkan salam untuk Nabi Isa pada hari kelahirannya, maka umat Islam boleh mengucapkan selamat kepada umat Nasrani pada perayaan natal. Namun, penggunaan ayat ini sebagai dalil perlu dikaji ulang secara kontekstual dan komprehensif untuk memastikan tidak terjadi kesalahan dalam memahami maksud ayat.
Sebelum menganalisis ayat, perlu dipahami terlebih dahulu makna perayaan hari Natal menurut umat Nasrani. Natal bukan sekadar perayaan hari kelahiran tokoh historis biasa. Dalam teologi Kristen, Natal merayakan kelahiran Yesus yang mereka yakini sebagai anak Tuhan.
Dengan demikian, mengucapkan "Selamat Natal" bukan sekadar ucapan hari kelahiran biasa, melainkan secara substansial berarti mengucapkan selamat atas perayaan keyakinan teologis bahwa pada hari itu lahir anak Tuhan, keyakinan yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam.
Bantahan Berdasarkan Konteks Ayat
Penggunaan ayat 33 sebagai dalil membolehkan ucapan "Selamat Natal" kepada orang-orang Nasrani yang menganggap Yesus sebagai anak Tuhan, sebetulnya terbantahkan dengan lanjutan ayat tersebut yang justru membantah keyakinan Nasrani secara tegas:
ذَٰلِكَ عِیسَى ٱبۡنُ مَرۡیَمَۖ قَوۡلَ ٱلۡحَقِّ ٱلَّذِی فِیهِ یَمۡتَرُونَ ٣٤
"Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya."
Ayat ini menegaskan identitas Isa yang sebenarnya: ia adalah putra Maryam (manusia bisa), bukan anak Tuhan. Perkataan yang benar dari Isa inilah yang diperdebatkan oleh umat Nasrani.
مَا كَانَ لِلَّهِ أَن یَتَّخِذَ مِن وَلَدٍۖ سُبۡحَـٰنَهُۥۤۚ إِذَا قَضَىٰۤ أَمۡرًا فَإِنَّمَا یَقُولُ لَهُۥ كُن فَیَكُونُ ٣٥
"Tidak layak bagi Allah mempunyai anak. Mahasuci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu."
Ayat ini adalah *bantahan eksplisit* terhadap inti keyakinan Nasrani tentang Yesus sebagai anak Tuhan. Allah menyatakan dengan tegas bahwa Dia tidak beranak dan Mahasuci dari sifat tersebut. Kelahiran Isa adalah mukjizat hasil kalimat "Kun fayakun" bukan hasil dari Allah beranak.
وَإِنَّ ٱللَّهَ رَبِّی وَرَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ هَـٰذَا صِرَ ٰطࣱ مُّسۡتَقِیمࣱ ٣٦
"Dan sungguh, Allah adalah Tuhanku dan Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus."
Ayat ini menegaskan ajaran tauhid yang dibawa oleh Nabi Isa sendiri: Allah adalah Tuhan semua makhluk termasuk Isa, dan hanya Dia yang berhak disembah. Ini adalah jalan yang lurus yang bertentangan dengan keyakinan Nasrani yang menyembah Isa.
فَٱخۡتَلَفَ ٱلۡأَحۡزَابُ مِنۢ بَیۡنِهِمۡۖ فَوَیۡلࣱ لِّلَّذِینَ كَفَرُوا۟ مِن مَّشۡهَدِ یَوۡمٍ عَظِیمٍ ٣٧
"Kemudian golongan-golongan (yang ada) berselisih pendapat di antara mereka. Maka celakalah orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar (kiamat)." [QS. Maryam: 34-37]
Ayat penutup ini memberikan peringatan keras bagi mereka yang kafir dengan berselisih tentang hakikat Isa. Kata "wail" (celaka) menunjukkan ancaman siksa bagi yang menyimpang dari kebenaran tentang Isa.
Sangat jelas bahwa rangkaian ayat 33-37 memiliki kesatuan konteks yang tidak dapat dipisahkan. Ayat 33 yang menyebutkan salam untuk Isa pada hari kelahirannya langsung diikuti dengan pembantahan terhadap keyakinan yang menjadikan hari kelahiran tersebut sebagai kelahiran "anak Tuhan".
Konteks ayat ini justru sedang membantah keyakinan Nasrani yang meyakini Yesus sebagai anak Tuhan, sedangkan hari Natal diyakini oleh umat Nasrani sebagai hari lahir Yesus yang diyakini sebagai anak Tuhan. Jelas-jelas konteks ayat itu sedang membantah keyakinan Nasrani tersebut, bukan malah mengucapkan selamat atas Natal yang Nasrani yakini dengan makna teologisnya.
Menggunakan ayat 33 sebagai dalil tanpa mempertimbangkan ayat-ayat berikutnya adalah bentuk pemotongan konteks yang dapat menyesatkan pemahaman. Ini seperti mengambil satu kalimat dari sebuah paragraf yang keseluruhan isinya justru membantah maksud kalimat tersebut jika diambil terpisah.
Maka perlu ditegaskan bahwa ada perbedaan substansial antara:
1. Salam yang disebutkan dalam ayat yaitu doa kesejahteraan untuk Nabi Isa sebagai seorang nabi dan hamba Allah
2. Ucapan selamat Natal yang secara kontekstual merayakan keyakinan bahwa Yesus adalah anak Tuhan
Salam dalam ayat 33 adalah salam untuk Isa sebagai nabi dan hamba Allah, sebagaimana dijelaskan dalam konteks ayat-ayat berikutnya. Sementara Natal dirayakan sebagai kelahiran Yesus yang diyakini sebagai anak Tuhan yang justru dibantah oleh ayat-ayat tersebut. Kedua hal ini memiliki makna teologis yang sangat berbeda, bahkan bertentangan.
Kesimpulan
Penggunaan QS. Maryam ayat 33 sebagai dalil kebolehan mengucapkan selamat Natal adalah tidak tepat karena:
1. Mengabaikan konteks pembantahan dalam ayat-ayat berikutnya (34-37) yang secara eksplisit menolak keyakinan Nasrani tentang ketuhanan Isa
2. Tidak mempertimbangkan makna teologis Natal yang merayakan kelahiran Yesus yang diyakini sebagai anak Tuhan keyakinan yang dibantah oleh rangkaian ayat tersebut
3. Memisahkan satu ayat dari kesatuan konteksnya, sehingga menghasilkan kesimpulan yang bertentangan dengan maksud keseluruhan ayat
Karenanya, toleransi dalam Islam bukan berarti ikut-ikutan merayakan hari raya agama lain dan membenarkan, apalagi mencampuradukkan keyakinan. Mengucapkan selamat Natal rawan dipahami sebagai bentuk pembenaran atas dukungan terhadap keyakinan teologis yang menjadi dasar perayaan tersebut.
Toleransi yang sejati adalah menghormati hak umat agama lain untuk menjalankan ibadah dan ritual mereka tanpa gangguan, namun tetap menjaga kemurnian akidah tanpa mencampuradukkan atau memberikan ungkapan yang rawan memvalidasi keyakinan yang bertentangan dengan tauhid. Sebagaimana firman Allah:
لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ
"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku." [QS. al-Kafirun: 6]
Prinsip ini menegaskan bahwa setiap agama memiliki batas dan identitasnya masing-masing yang harus dihormati tanpa harus dicampuradukkan. Toleransi bukan berarti pluralisme agama agama atau sinkretisme aqidah.
*Penulis adalah Sekertaris Majlis Syuro DPP Front Persaudaraan Islam dan Ketua Umum HRS Center
