Gelar Perkara Dibuat Molor, Ijazah Jokowi Sengaja Ditunjukkan Malam, Dokter Tifa: Kami Dibiarkan Kelelahan

 



Kamis, 18 Desember 2025

Faktakini.info, Jakarta - Dokter Tifauzia Tyassuma atau Dokter Tifa menyebut, ijazah Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sengaja diperlihatkan di akhir gelar perkara khusus (GPK) yang menurutnya, sudah diulur-ulur waktu pelaksanaannya.

Penyidik Polda Metro Jaya melakukan gelar perkara khusus untuk kasus ijazah Jokowi pada Senin (15/12/2025) dalam dua sesi.

Sesi pertama, yakni untuk para tersangka yang masuk klaster satu, yakni Eggi Sudjana (ES), Kurnia Tri Rohyani (KTR), M Rizal Fadillah (MRF), Rustam Effendi (RE), dan Damai Hari Lubis (DHL).

Sementara, sesi kedua untuk para tersangka di klaster dua, yaitu mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo (RS), dokter Tifauziah Tyassuma alias dr Tifa (TT), serta ahli digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar (RHS) 

Dalam GPK ini, penyidik menampilkan ijazah milik Presiden RI ke-7 itu yang sebelumnya telah mereka sita sejak Juni 2025 sebagai alat bukti.

Dokter Tifa menganalisis jalannya GPK, dan menilai di dalamnya ada praktik ilmu behavioral intelligence atau keterampilan memilih dan mengeksekusi tindakan yang tepat untuk mengelola sebuah situasi.

Hal ini, kata Tifa terlihat dari pemilihan waktu pelaksanaan GPK, di mana klaster pertama ada pada pagi hari dan klaster kedua di siang hari.

Kemudian, Tifa menilai, pelaksanaan GPK yang dipilihkan pada siang hari agar para tersangka klaster kedua yang notabene dari kalangan akademisi mengalami penurunan kemampuan kognitif atau fungsi otak untuk berpikir, belajar, mengingat, dan memahami informasi.

Terlebih, GPK untuk sesi klaster kedua justru molor.

Penguluran waktu ini, kata Tifa, sengaja dilakukan dengan memanfaatkan time effect atau efek waktu berupa penundaan, agar dirinya beserta Roy Suryo dan Rismon Sianipar kelelahan.

Menurut Tifa, penguluran waktu memang disengaja agar dirinya dkk kelelahan bertujuan untuk menurunkan kemampuan kognitif dalam melihat ijazah Jokowi.

Sehingga, ketiganya tidak akan meneliti lebih lanjut secara teknis maupun akademik, dan menerima begitu saja klaim bahwa dokumen tersebut asli.

"Ilmu behavioral intelligence, yang sangat biasa dalam dunia kepolisian modern, dipakai pada klaster pertama dan klaster kedua. Menarik sekali. Kenapa? Pengaturan waktu yang namanya time effect," tutur Tifa, dikutip dari tayangan Rakyat Bersuara, yang diunggah di kanal YouTube Official iNews, Rabu (17/12/2025).

"Klaster pertama yang mendapat pasal rendah, diberi waktu pagi hari, sedangkan klaster kedua diberi waktu kedua."

"Saya perhatikan, jadwal klaster pertama seharusnya jam 10.00 dan selesai kurang lebih jam 12.00, sampai 13.00, kemudian giliran kami [Tifa, Roy, Rismon, red] jam 14.00."

"Tetapi apa yang terjadi? Kami datang tepat waktu jam 14.00, tetapi kami menunggu 2,5 jam."

"Jadi, klaster pertama itu dari jam 10.00 sampai jam 16.00."

"Kami dibiarkan menunggu berjam-jam sehingga, muncul kelelahan, kejengkelan, muncul yang namanya cognitive overload [kondisi mental yang kewalahan karena terlalu banyak informasi, red]."

"Itu, diharapkan kami masuk dengan emosi yang tidak stabil."

"Tetapi, kami kan sudah sangat kenal dengan apa yang terjadi, sehingga kami masuk ruangan dengan sangat tenang."

"Jadi, pada waktu itu, ada behavioral intelligence di mana kami harus menunggu, molor, 2,5 jam, timing effect itu diharapkan membuat kami jengkel, membuat kami malas, membuat kami marah."

Meski sudah dibuat menunggu berjam-jam, Tifa mengaku dirinya bersama Roy dan Rismon tidak masalah, karena sudah terbiasa bekerja hingga 20 jam.

Lantas, ia menyebut, ijazah Jokowi diperlihatkan di akhir waktu GPK klaster kedua, yakni pada jam 23.00.

Menurut Tifa, pemilihan waktu untuk menunjukkan ijazah Jokowi ini diambil pada masa ketika dirinya beserta Rismon dan Roy dianggap kelelahan.

Akan tetapi, hal itu tidak berhasil. 

Sebab, Tifa mengaku dirinya dengan Roy dan Rismon memiliki kemampuan foto memori atau ingatan fotografis.

Kemampuan foto memori atau ingatan fotografis adalah kemampuan untuk mengingat secara detail dengan tingkat akurasi luar biasa setelah melihat objek atau mengalami peristiwa hanya sekali, seperti karakter fiksi Sherlock Holmes.

"Kami tidak diperkenankan untuk melihat ijazah Joko Widodo di saat [kemampuan kognitif] kami masih segar. Ijazah itu baru muncul jam 11 malam, setelah kami dianggap kelelahan," jelas Tifa.

"Ini behavioral intelligence, sehingga diharapkan kami sudah tidak lagi mampu untuk menyerap secara kognitif, tidak mampu melakukan pengkajian."

"Tapi mohon maaf, kami bertiga itu punya kemampuan foto memori."

"Jadi kami lihat item-item yang penting buat kami untuk bisa kami lakukan penelitian, pengkajian selanjutnya."

Sumber: Tribunnews