Ketika Syaikhona Kholil Bangkalan Merendah di Hadapan Habaib
Sabtu, 16 Agustus 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
"Ketika Syaikhona Kholil Bangkalan Merendah di Hadapan Habaib"
Ada sebuah naskah tua, di situ jelas tertulis bagaimana Syaikhona Kholil Bangkalan menyebut Habib Alwi dengan gelar penuh takzim: al-‘Alim al-Fadhil al-‘Allamah al-Kamil Sayyidina al-Habib. Itu bukan sekadar basa-basi, bukan pula sambutan formal belaka. Dalam tradisi pesantren, gelar semacam itu adalah cermin penghormatan yang lahir dari hati, bukan dari mulut yang dipaksa.
Artinya jelas: Kiai Kholil Bangkalan punya hubungan yang erat, penuh hormat, dan penuh cinta dengan para Habaib. Beliau menempatkan mereka dalam derajat tinggi, sebagaimana memang tradisi keilmuan Islam di Nusantara sejak awal: ulama pesantren dan habaib berjalan beriringan, saling menguatkan, bukan saling mengerdilkan.
Namun—nah, di sini biasanya muncul suara-suara sumbang—ada saja segelintir kelompok yang entah mengapa alergi jika nama "Habib" disandingkan dengan kehormatan. Bagi mereka, bukti sejarah sekuat apa pun tetap saja ditolak. Bahkan, bisa jadi mereka akan bilang: “Oh, itu mah Kiai Kholil belum ngerti, wong zaman itu belum ada alat deteksi habaib palsu!”
Lucu juga kalau dipikir. Seakan-akan seorang ulama besar sekaliber Kiai Kholil, yang ilmunya mendunia, bisa “ketipu” hanya karena belum ada teknologi modern. Seolah beliau ini orang awam yang gampang dibohongi. Padahal, Kiai Kholil dikenal tajam mata hatinya, bahkan banyak karamah beliau yang diakui lintas generasi. Kalau beliau sampai menghormati seorang Habib dengan gelar setinggi itu, berarti memang beliau tahu benar siapa yang sedang beliau muliakan.
Di sinilah letak masalahnya: sebagian orang menolak bukan karena kurang bukti, tapi karena hatinya memang sudah menutup diri. Mau didekatkan dengan naskah asli, ditunjukkan dengan testimoni sejarah, tetap saja ditolak. Ada pepatah Arab yang pas: “Man ‘amiyat ‘anil haqq, la yufiduhu alf dalil”—siapa yang buta terhadap kebenaran, seribu dalil pun tak akan berguna.
Jadi, bukti ini sebetulnya bukan sekadar catatan sejarah, melainkan juga cermin hubungan erat ulama pesantren dan habaib—relasi spiritual yang membangun wajah Islam Nusantara yang ramah dan berwibawa. Yang menolak? Biarlah. Kadang, penolakan itu justru semakin menegaskan bahwa cahaya memang tidak pernah bisa diterima oleh semua mata.