Tangisan Terakhir Ade Irma: Malam Berdarah di Rumah Sang Jenderal

 



Sabtu, 16 Agustus 2025

Faktakini.info

Tangisan Terakhir Ade Irma: Malam Berdarah di Rumah Sang Jenderal

Jakarta, dini hari 1 Oktober 1965.

Kota masih sepi, lampu-lampu jalan redup. Di sebuah rumah di Jalan Teuku Umar No. 40, keluarga Jenderal Abdul Haris Nasution tertidur lelap. Tak ada yang menyangka, malam itu akan menjadi salah satu malam paling kelam dalam sejarah Indonesia.

Di dalam kamar, Ade Irma Suryani Nasution, gadis kecil berusia lima tahun, terlelap di samping ibunya, Johanna Sunarti. Ia tak tahu apa itu makar atau kudeta. Baginya, malam itu hanyalah malam biasa, sebelum esok bermain dengan bonekanya. Namun, takdir berkata lain.

---

Derap Sepatu dan Tembakan

Pukul 04.00 dini hari, pasukan Cakrabirawa mengepung rumah Nasution. Nama sang jenderal ada dalam daftar penculikan. Suasana sunyi pecah oleh letusan senjata. Kaca jendela berhamburan, pintu rumah didobrak paksa.

Letnan Pierre Tendean, ajudan muda Nasution, berusaha menghadang. Sementara di dalam, Sunarti terbangun, memeluk Ade Irma yang menangis ketakutan. Rentetan peluru menghantam ruangan, dan salah satunya mengenai tubuh kecil Ade Irma.

Ia roboh bersimbah darah dalam dekapan ibunya. Tangis lirih terdengar: suara seorang anak yang belum paham mengapa malamnya tiba-tiba berubah jadi mimpi buruk.

---

Jenderal Lolos, Ajudan Jadi Tumbal

Di tengah kekacauan, Jenderal Nasution berusaha menyelamatkan diri. Ia melompati pagar rumah menuju kediaman tetangga, meski sempat terkena peluru di kakinya.

Namun, ajudannya, Pierre Tendean, tertangkap. Dalam gelap dan kepanikan, ia disangka sebagai Nasution, diseret paksa ke mobil, lalu dibawa ke Lubang Buaya. Pierre menjadi salah satu korban yang gugur dalam tragedi itu.

---

Ade Irma Bertahan di RSPAD

Ade Irma segera dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto. Luka tembak di tubuh mungil itu parah. Ia bertahan hidup beberapa hari, keluar masuk kesadaran. Kesaksian keluarga menyebutkan, ia beberapa kali memanggil orangtuanya dengan suara lirih.

Ketika Jenderal Nasution tiba di rumah sakit, air matanya jatuh. Sang jenderal yang dikenal tegas itu luluh di depan ranjang putrinya. Ia menggenggam tangan kecil Ade Irma, berusaha memberi kekuatan, meski hatinya hancur.

---

Kepergian Seorang Pahlawan Cilik

Pada 6 Oktober 1965 pukul 05.30 WIB, setelah lima hari berjuang, Ade Irma menghembuskan napas terakhir di pelukan ibunya. Sunarti menangis pilu. Nasution terdiam, hancur sebagai seorang ayah.

Ade Irma kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Sejak itu, ia dikenang sebagai pahlawan cilik korban G30S/PKI, simbol kepedihan sekaligus pengingat pahit sejarah bangsa.

---

Warisan Luka Sejarah

Rumah keluarga Nasution kini menjadi Museum Jenderal Besar A.H. Nasution. Di kamar Ade Irma, lubang peluru masih tersisa di dinding, saksi bisu malam pengkhianatan yang merenggut nyawa seorang bocah tak berdosa.

Bagi Nasution, luka itu tak pernah hilang. Di atas pusara putrinya, ia hanya mampu berbisik:

“Anakku... maafkan Papa. Darahmu tidak akan tumpah sia-sia.”

---

Sumber:

- A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas (1985)

- Nugroho Notosusanto & Ismail Saleh, Tragedi Nasional: Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968)

- Arsip Museum Jenderal Besar A.H. Nasution, Jakarta

- Historia : Ade Irma, Pahlawan Cilik yang Gugur (2017)

- Kompas, arsip Oktober 1965

---

👉 Bagaimana perasaanmu membaca kisah ini?

Jangan biarkan sejarah dilupakan. SHARE agar generasi berikutnya tahu bahwa ada seorang bocah bernama Ade Irma, korban gelapnya politik negeri ini.

#AdeIrmaSuryani #JenderalNasution #PahlawanCilik #SejarahIndonesia #G30SPKI #Tragedi1965 #MuseumNasution #IndonesiaTidakLupa