Kalau Kitab Abad ke-4 yang Diminta, Tolong Singkirkan Dulu Blogspot dari Meja Debat!
Kamis, 14 Agustus 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
“Kalau Kitab Abad ke-4 yang Diminta, Tolong Singkirkan Dulu Blogspot dari Meja Debat!”
📚Tafsir Status Nyai Raden Linawati
Maaf, saya jadi bingung: sebenarnya kita ini sedang bicara sejarah atau sedang main tebak-tebakan pakai search engine?
Soalnya begini — setiap kali kami, para muhibbin dan dzurriyah Walisongo, menyebut Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir sebagai leluhur wali-wali agung seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, hingga Sunan Giri, maka tiba-tiba muncul sederet syarat berat:
> “Tunjukkan manuskrip abad ke-4 Hijriah!
Mana kitabnya? Mana sanadnya? Mana buktinya?”
Lucu. Sebab, ketika kami minta hal serupa terhadap klaim kalian — yang menyambungkan nasab Walisongo ke Sayyid Ajal Syamsuddin Omar dari Yunnan (China) atau ke Prindavan India — kalian justru menyodorkan:
Blogspot.
Wikipedia.
“Catatan Mbah Google.”
Buku-buku sejarah yang tidak terverifikasi jalur keilmuannya.
Bahkan babad lokal terbitan penerbit swasta keturunan Tionghoa dari tahun 1938!
Tak cukup sampai di situ. Kalian juga mengutip “Kronik China” dari Klenteng Sam Po Kong Semarang — yang hingga hari ini, manuskrip fisiknya belum pernah bisa ditunjukkan kepada publik, akademisi, apalagi ahli filologi. Kita sedang bicara sejarah, bukan legenda urban.
Jadi, mari saya ulang: kami wajib bawa kitab dari abad ke-4, sementara kalian cukup copy-paste dari blog dan Wikipedia?
Kalau itu bukan standar ganda, lalu apa?
Kata Nyai Raden Linawati: ini bukan lagi perbedaan pendapat, ini sudah pemerkosaan sejarah. Dan saya setuju.
Karena yang terjadi di sini adalah kolonialisasi ulang terhadap jalur nasab, oleh mereka yang tidak tahan dengan kuatnya akar Ba‘alawi dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Saya tidak menolak perdebatan ilmiah. Tapi, yang ilmiah itu dimulai dari keberanian menyajikan sumber primer yang valid. Bukan dongeng digital. Bukan rekayasa Google. Apalagi kalau sumber kalian pun saling bertabrakan — antara Ajal, Kalijam, Kulabang, dan Jamaluddin Al-Kabir — saling menegasikan satu sama lain, tapi dipaksa masuk semua ke dalam satu “shijil palsu” demi pembenaran klaim.
Kalau hari ini muncul kegaduhan besar se-Indonesia soal nasab Imam Ubaidillah, itu bukan karena beliau fiktif. Tapi karena ada pihak-pihak yang merasa kuasa mereka terancam oleh konsistensi sanad yang dipegang turun-temurun oleh kaum Ba‘alawi.
Kami masih waras. Dan kami tidak akan diam ketika sejarah Walisongo sedang dicincang, dikuliti, lalu dimake-up agar cocok dengan selera kolonialisme budaya baru.
Kalau kalian berani menuntut kitab abad ke-4 dari kami, pastikan kalian sudah membakar semua link blogspot kalian dulu.
Baru kita bicara ilmiah.
Tamzilul Furqon—Takmir Angkringan