Menangkap Pesan Besar di Balik Jawaban Habib Taufiq Bin Abdul Qadir Assegaf Soal Kisruh Nasab

 



Kamis, 14 Agustus 2025

Faktakini.info

"Menangkap Pesan Besar di Balik Jawaban Habib Taufiq Bin Abdul Qadir Assegaf Soal Kisruh Nasab"

Di kawasan Ketapang Besar, Ampel, Surabaya, ada sebuah rutinitas yang selalu dinanti jamaah—Majelis Taklim rutin bersama Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf. Majelis ini digelar setiap Senin kedua dan Senin keempat tiap bulannya, menjadi semacam “oase rohani” di tengah padatnya kehidupan Ampel yang ramai oleh peziarah, pedagang, dan suasana khas pasar Arab.


Seperti biasa, majelis malam itu dimulai dengan kajian—tema yang dibahas adalah Taqwa. Habib Taufiq memaparkan dengan lugas, penuh dalil, dan bahasa yang menyentuh hati. Jamaah larut dalam penjelasan beliau, sesekali tersenyum saat beliau menyelipkan humor khasnya yang halus tapi mengena.


Usai pembahasan inti, tibalah sesi tanya-jawab. Habib Taufiq membuka kesempatan bagi jamaah untuk menyampaikan pertanyaan, baik seputar tema malam itu maupun masalah aktual di masyarakat. Saya pun memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sejak lama mengganjal di hati.

Saya berkata:

“Al-‘afwu Habib, ana ini serba salah. Mau menjawab mereka yang mencaci para sadaah Ba‘alawi—meskipun bantahan kita terasa ngena dan dapat membongkar argumen mereka—tapi justru di kolom komentar malah semakin banyak yang menghina Habaib. Saya jadi ragu, ini saya sedang membela Habib atau malah semakin ikut mendatangkan caci maki terhadap Habaib?”

Habib Taufiq tersenyum, lalu memberikan jawaban yang membuat suasana hening sejenak—karena bukan hanya saya, tetapi semua yang hadir merasa jawaban itu sarat makna.

Beliau berkata kurang lebih seperti ini:

“Sudah… jangan lagi ditanggapi masalah nasab di media. Itu murni agar kasus-kasus besar nasional tertutupi. Tidak ada yang bersuara, semua disibukkan dengan isu nasab yang sebenarnya mereka rapuh tidak ada apa-apanya itu. Tulis saja tentang korupsi, tentang PIK 2, dan ungkap kasus-kasus besar lainnya. Kita ini memang sedang diupayakan untuk melupakan masalah-masalah besar: korupsi, ketidakadilan, dan lain-lain.”

Di titik itu saya sadar, ini bukan sekadar nasihat pribadi—ini semacam kompas arah bagi siapa saja yang aktif di media dan peduli pada umat. Habib Taufiq tidak sekadar menenangkan jamaah, tapi mengajak untuk meletakkan energi pada medan perjuangan yang tepat.

Bahwa benar, membela kehormatan ulama itu penting. Tapi kalau sampai kita terjebak dalam “perang komentar” yang justru membuat lawan semakin ramai menghina tanpa data dan fakta, sementara di luar sana ada korupsi yang merampok harta rakyat, tanah rakyat yang dikuasai segelintir orang, dan kebijakan yang menindas masyarakat kecil—maka kita sedang bermain di panggung yang sengaja disiapkan untuk menjauhkan kita dari masalah inti.

Dari majelis malam itu saya pulang membawa dua hal:

1. Ketenangan hati—bahwa tidak semua serangan di media harus dihadapi secara frontal.

2. Kesadaran baru—bahwa ada pertarungan wacana yang lebih besar, dan kita tidak boleh membuang amunisi untuk pertempuran yang salah medan.

Di Ampel, berita bisa berputar lebih cepat daripada kipas angin warkop (Giras). Tapi pesan Habib Taufiq malam itu seperti rem tangan yang mengingatkan: “Jangan sampai kita sibuk di isu yang mereka mau, sampai lupa di isu yang kita harus.”