Ternyata yang Bikin Silfester divonis Penjara adalah Pendukung Orang Yaman
Kamis, 14 Agustus 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
"Ternyata yang Bikin Silfester divonis Penjara adalah Pendukung Orang Yaman"
Entah kenapa, di tengah riuh politik negeri ini, masih ada saja orang yang kalau dengar kata “Yaman” langsung pasang wajah waswas. Sebagian menganggap negeri di Jazirah Arab itu tak ada urusannya dengan kita, sebagian lain malah berprasangka, seakan semua yang berbau Hadramaut penuh agenda. Padahal, sejarah Nusantara sudah sejak ratusan tahun lalu akrab dengan Yaman—dari perdagangan, dakwah, sampai tradisi keluarga.
Nah, kali ini saya mau cerita tentang satu tokoh yang pernah bikin heboh: Silfester Matutina. Ceritanya dimulai di depan Mabes Polri, 15 Mei 2017. Hari itu, Silfester memimpin aksi orasi, mengkritik keras Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla (JK), dengan menyinggung keterlibatan JK dalam pusaran Pilkada DKI Jakarta 2017. Ia menuding JK berada di balik dukungan untuk pasangan Anies Baswedan–Sandiaga Uno, yang kala itu menjadi lawan Ahok–Djarot.
Pernyataan itu menyebar cepat, seperti bensin kena api. Reaksi keras datang bukan dari JK langsung, tapi dari lingkaran orang-orang yang dikenal sebagai pendukungnya—terutama tokoh Bugis-Makassar yang melihat JK sebagai kebanggaan daerah. Mereka merasa orasi itu sudah kelewatan. Maka bergeraklah Advokat Peduli Kebangsaan, kelompok kuasa hukum yang melaporkan Silfester ke Bareskrim Polri.
Yang menarik, secara politik, kelompok pelapor berada di barisan yang mendukung Anies Baswedan pada Pilkada DKI 2017. Dan kita tahu, Anies adalah keturunan Arab-Hadrami—jejaknya sampai ke Yaman. Jadi kalau diurai benang merahnya, Silfester waktu itu dilaporkan oleh pihak yang berada di kubu pendukung “orang Yaman” (dalam konteks ini: Anies).
Proses hukum berjalan lambat tapi pasti. Tahun 2019, Mahkamah Agung memvonis Silfester 1,5 tahun penjara. Putusan itu inkrah—resmi dan sah. Namun, entah kenapa, hingga kini eksekusi belum juga dijalankan.
Nah, di titik ini mulai banyak yang bertanya-tanya:
“Apakah mungkin Silfester belum ditahan karena dianggap ‘punya jasa’—setidaknya di mata sebagian pihak—karena dulu ia pernah berseberangan dengan keturunan Yaman?”
Kita tentu tak bisa memastikan. Bisa jadi memang faktor administrasi, bisa juga karena hubungan baik dengan pihak yang dulu jadi lawan. Yang jelas, di dunia politik, jasa dan musuh kadang diukur bukan dari hukum, tapi dari peta posisi saat itu.
Ironisnya, sekarang Silfester justru aktif membela Presiden Joko Widodo dalam kasus ijazah yang diangkat Roy Suryo. Perannya ini seolah melengkapi kisah perjalanan politiknya yang penuh tikungan.
Dari sini kita belajar, jangan gampang alergi kalau dengar kata “Yaman”. Bukan karena semua yang terkait Yaman itu pasti baik, tapi karena sejarah dan politik kita sudah saling terjalin sedemikian rupa. Kadang, yang bikin kita “tersandung” justru bukan orang Yaman langsung, melainkan lingkaran pendukungnya di tanah air. Jadi, sebelum phobia, lebih baik pahami konteksnya dulu—biar tidak jadi korban prasangka dan kabar setengah matang.