Dari Genitik Ke Gimik' Saat Nasab Dijual Lewat Mesin
Senin, 4 Agustus 2025
Faktakini.info
"Dari Genitik Ke Gimik' Saat Nasab Dijual Lewat Mesin"
Dalam beberapa tahun terakhir, jagat maya dihebohkan dengan debat nasab: siapa keturunan siapa, dan siapa yang berhak menyandang gelar sayyid. Sebagian orang—dengan penuh keyakinan ilmiah—menjadikan tes DNA sebagai hakim tunggal kebenaran nasab. Padahal, di sinilah letak kekeliruannya: sains yang bersifat statistik dipaksa menjadi alat verifikasi silsilah yang bersifat historis dan sosial.
Saya menulis ini bukan sebagai ahli genetika, tapi sebagai pembaca kritis—terutama dari status-status yang tajam, penuh nuansa, dan membuka mata, seperti yang sering ditulis oleh Nyai Raden Linawati . Dari beliau pula saya mengenali bagaimana klaim-klaim DNA kadang hanya menjadi alat pembenar sebuah narasi yang dibangun secara politis, bukan kebenaran ilmiah yang netral.
Mari kita bedah secara singkat dan menyenangkan.
DNA Tak Punya Ingatan Sejarah
Tes DNA bekerja berdasarkan perbandingan profil genetik. Dalam konteks garis ayah (Y-DNA), ia hanya merekam haplogroup dan marker tertentu yang diwariskan secara paternal. Tapi, apakah itu bisa membuktikan bahwa seseorang benar-benar keturunan Sunan Giri, Sunan Bonang, atau Rasulullah? Tidak.
Sebab yang bisa dibandingkan adalah DNA dengan DNA yang masih hidup—bukan dengan sosok yang wafat 600 tahun lalu dan tidak pernah meninggalkan sampel biologis. Bahkan, jika seseorang mengklaim cocok dengan DNA "keturunan Rasulullah" di database tertentu, kita harus tanya: siapa yang menyuplai DNA Rasulullah ke database itu? Apakah ada makamnya dibongkar dan diambil tulangnya? Tentu tidak.
Maka klaim semacam ini lebih mirip permainan imajinasi biologis ketimbang penelitian genealogi ilmiah. Menghubungkan dua titik yang tidak pernah bersentuhan, lalu menyebutnya bukti.
Para Ulama Punya Kaidah Jelas
Sampai hari ini, ulama-ulama besar Ahlus Sunnah—dari belahan dunia—tidak pernah menjadikan tes DNA sebagai alat penetapan atau pembatalan nasab. Mereka tetap berpegang pada kaidah klasik: as-syajarah al-muttashilah (silsilah bersambung), as-syadah (kesaksian), serta dokumen atau sanad nasab yang bisa dilacak ke sumber primer.
Adapun tes DNA, sebagaimana ditulis oleh banyak pakar seperti Dr. Ahmad bin Thahir Ba’abad dalam bukunya tentang "Ilmu Nasab dalam Perspektif Fiqih", hanya bisa digunakan sebagai pendukung identitas, bukan sebagai penentu legitimasi nasab syar’i.
Mengapa Ramai? Karena Ada Kepentingan
Kegandrungan terhadap DNA muncul bukan karena cinta pada kebenaran semata, tetapi karena hasrat untuk mengganti narasi lama dan menggugat jalur nasab tradisional yang mapan. Apalagi jika di baliknya ada motif pengakuan, komodifikasi gelar, bahkan—kata sebagian—ada praktik jual-beli sertifikat nasab. Maka DNA menjadi alat untuk “melengserkan” versi lama dan “menobatkan” versi baru yang cocok dengan kepentingan politik dan sosial tertentu.
Penutup: Jangan Jadikan DNA Sebagai Tuhan
DNA itu alat, bukan Tuhan. Ia bisa membantu banyak hal—dari forensik hingga pengobatan—tapi tidak layak dijadikan dasar tunggal untuk menetapkan siapa anak siapa dalam silsilah ratusan tahun.
Nasab itu soal akhlak, kehormatan, dan sanad hidup dari lisan ke lisan, bukan sekadar huruf-huruf genetika di laboratorium.
Kalau semua bisa diselesaikan dengan DNA, maka sejarah ulama dan para wali akan jadi perkara lab dan kalkulator. Padahal, warisan mereka bukan cuma darah—tapi juga adab, ilmu, dan ketulusan yang tak bisa di-PCR-kan.
---
Kalau mau dipoles lagi untuk disesuaikan dengan media tertentu (FB, web Islam, atau media opini publik), saya siap bantu. Mau kita lanjut buat versi lain atau spin-off untuk tema lebih teknis?
✍️Tamzilul Furqon Takmir Angkringan