Bukan Dibawa Belanda, Justru Menyusahkan Belanda — Jejak Hadhrami dalam Sejarah Perlawanan Kolonial
Senin, 4 Agustus 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
"Bukan Dibawa Belanda, Justru Menyusahkan Belanda — Jejak Hadhrami dalam Sejarah Perlawanan Kolonial"
Belakangan ini, narasi bahwa para Habaib (terutama dari trah Ba‘alawi Hadhramaut) datang ke Indonesia karena “dibawa oleh Belanda” makin sering disuarakan oleh sekelompok orang yang ingin meminggirkan peran mereka dalam sejarah kebangsaan. Celakanya, narasi ini bahkan dijadikan dasar untuk mendiskreditkan keturunan Wali Songo yang memang banyak yang tersambung ke jalur Ba‘alawi — semacam propaganda halus: kalau Ba‘alawi datang karena Belanda, maka bagaimana mungkin mereka jadi pejuang?
Namun, sejarah tak semudah dipelintir oleh ujaran Facebook atau sertifikat tempelan. Mari kita buka ulang apa yang tertulis dalam literatur klasik dan pengamatan akademisi Eropa sendiri.
Dalam kitab Hāḍir al-‘Ālam al-Islāmī (Arab, 1924), dijelaskan dengan sangat jelas bahwa justru keberadaan orang-orang Hadhramaut — termasuk para Sayyid Ba‘alawi — adalah masalah besar bagi penjajah Belanda. Dalam istilah penulisnya:
“Masalah Hadramaut ini menyusahkan pemerintah Belanda lebih dari masalah lainnya di Jawa…”
Kenapa bisa begitu? Karena orang-orang Hadhrami dikenal teguh dalam tauhid, berani, dan punya semangat berdakwah tinggi. Mereka datang bukan sebagai penyembah kolonial, tapi pembawa kesadaran. Dan Belanda tahu persis bahwa keberadaan Hadhrami di Jawa bisa “membangunkan” penduduk asli yang sedang dialienasi dari agamanya sendiri. Bahasa penulis kitab tersebut sangat gamblang:
“Belanda khawatir mereka [kaum Hadhrami] akan menyebarkan dakwah Islam atau menyadarkan penduduk asli yang naif tentang perkara-perkara yang jika bukan karena orang Hadhrami mungkin tidak akan mereka sadari.”
Alih-alih disambut karpet merah oleh Belanda, para Hadhrami justru dipersulit masuk ke Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memakai alasan klasik: mereka datang tanpa modal, sementara di Hadhramaut sendiri mereka menolak orang kafir masuk. Maka Belanda menganggap mereka tidak layak diterima. Bahkan tokoh seperti Snouck Hurgronje (penasihat utama urusan Islam bagi pemerintah kolonial) mencatat:
> “Kami menolak mereka bukan karena tidak adil, tapi karena mereka terlalu sulit dikendalikan…”
Lebih jauh lagi, tekanan terhadap kaum Arab (terutama yang Hadhrami) mendorong sebagian tokoh mereka mengadu ke Khilafah Turki Utsmani dan mengisi surat kabar Islam dengan keluhan atas represi kolonial terhadap mereka.
Jadi, sangat terang-benderang: para Habaib Ba‘alawi bukan dibawa Belanda — justru mereka dianggap ancaman oleh Belanda. Mereka dimata-matai, dipersulit izin tinggalnya, ditekan dalam berdagang, dan bahkan dimusuhi dengan kebijakan diskriminatif. Kalau mereka benar “dibawa” Belanda, harusnya mereka dapat fasilitas khusus. Nyatanya justru mereka dimusuhi.
Lalu, kenapa ada yang ngotot bilang Habaib itu “dibawa Belanda”? Salah satunya karena mereka ingin mengganti narasi nasab para Wali, agar tidak tersambung ke jalur Ba‘alawi. Mereka tidak suka fakta bahwa banyak Wali Songo punya sanad ke Imam Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir — nenek moyang para Ba‘alawi. Maka mereka cari jalan memotong silsilah dengan dalih bahwa “Baalawi itu produk kolonial.”
Ironisnya, klaim palsu ini sering justru berasal dari orang yang tak mengerti sejarah kolonialisme, dan juga tidak paham posisi penting para tokoh Ba‘alawi dalam membangun kesadaran umat — dari Aceh sampai Gresik. Coba tanya: siapa yang jadi penggerak madrasah dan masjid saat umat sedang bodoh-bodohnya akibat politik etis kolonial? Siapa yang menggerakkan perlawanan moral lewat pendidikan, dakwah, dan amal sosial?
Kini, dengan dokumentasi seperti Hāḍir al-‘Ālam al-Islāmī, kita punya bukti tertulis bahwa kaum Hadhrami, termasuk Ba‘alawi, bukan bagian dari agenda kolonial, melainkan lawannya. Dan sejarah harus ditulis dengan jujur — bukan dengan dengki.
---
Referensi Utama:
Kitab Hāḍir al-‘Ālam al-Islāmī, Volume 1. Bisa diakses di: Link lihat dikolom Komentar - Hāḍir al-‘Ālam al-Islāmī