17 Agustus, Piagam Jakarta, dan Lupa Sejarah Ulama
Ahad, 17 Agustus 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
"17 Agustus, Piagam Jakarta, dan Lupa Sejarah Ulama"
Hari ini setiap kali 17 Agustus tiba, kita melihat jalanan penuh bendera, lomba panjat pinang, karnaval kostum, hingga pesta musik yang dentumannya kadang lebih keras dari gema doa. Semua ini tentu sah-sah saja sebagai wujud syukur. Tetapi ada satu pertanyaan yang menggelitik: di mana ruh Islam dan jejak ulama yang dahulu menjadi tulang punggung kemerdekaan?
Kemerdekaan Bukan Hadiah, tapi Buah Jihad
Kemerdekaan 1945 tidak jatuh dari langit, apalagi hadiah dari Jepang atau Belanda. Ia diperjuangkan dengan darah dan doa. Perang Diponegoro, Perang Aceh, hingga resolusi jihad 22 Oktober 1945, semuanya menandai bagaimana Islam tidak pernah absen dalam sejarah republik. Para ulama, dengan segala keterbatasannya, berdiri tegak menggerakkan rakyat dengan teriakan Allahu Akbar.
Tapi ironisnya, ketika kita merayakan 17 Agustus hari ini, sering kali yang ditampilkan justru parade glamor tanpa refleksi. Seolah kemerdekaan lahir dari lomba makan kerupuk, bukan dari darah syuhada.
Piagam Jakarta: Jejak yang Dihapus, tapi Tak Pernah Mati
Di balik Proklamasi, ada satu dokumen yang jarang disentuh dalam peringatan resmi negara: Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Di dalamnya tertulis rumusan monumental:
"Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Kalimat itu lahir dari musyawarah serius antara para ulama dan tokoh kebangsaan. Ia adalah jembatan emas antara Islam dan Indonesia. Tetapi, pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi, tujuh kata itu dicoret—atas nama persatuan.
Mari kita jujur: yang dicoret bukan sekadar kata, melainkan cita-cita. Ulama ikhlas menerima kompromi itu demi persatuan nasional. Tetapi yang ironis, setelah lebih dari tujuh dekade, ruh kompromi itu makin terkikis. Kini seakan-akan Piagam Jakarta hanyalah catatan pinggiran sejarah yang layak disembunyikan, bukan dibaca dengan bangga.
Ulama dalam Bayang-bayang
Ulama dulu berada di barisan depan perjuangan, baik di medan perang maupun meja perundingan. Tapi hari ini, dalam peringatan kemerdekaan, nama mereka jarang disebut. Bahkan, kadang yang lebih sering diangkat adalah simbol-simbol sekuler yang menafikan peran agama.
Bukankah ini pengingkaran sejarah? Kalau bukan karena fatwa, doa, dan darah para kiai, entah bagaimana nasib republik ini. Bayangkan, resolusi jihad yang dikumandangkan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pada Oktober 1945 adalah salah satu pemicu pertempuran Surabaya. Tanpa itu, mungkinkah Belanda segan terhadap Indonesia yang baru lahir?
Merdeka Tanpa Ruh, Sama dengan Kosong
Merdeka tidak cukup hanya dengan mengibarkan bendera. Merdeka harus berarti berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan bermartabat secara moral. Nah, moral inilah yang sering hilang. Bangsa kita merdeka dari Belanda, tapi terikat pada korupsi. Merdeka dari Jepang, tapi dijajah hedonisme. Merdeka dari perang fisik, tapi kalah oleh nafsu.
Padahal para ulama dulu sudah mengingatkan: kemerdekaan hanyalah pintu masuk, isinya harus diisi dengan nilai agama. Maka, jangan heran jika hari ini kita masih gamang—karena pintu sudah dibuka, tapi rumahnya kosong dari iman.
Mengembalikan Ruh Islam dalam 17 Agustus
Sudah saatnya peringatan kemerdekaan dikembalikan pada ruh awalnya. Bukan berarti lomba panjat pinang harus dilarang, tapi di baliknya perlu ada ruang tafakur. Misalnya, sebelum lomba dimulai, ada pembacaan sejarah perjuangan ulama, ada doa bersama, ada pendidikan politik berlandaskan nilai agama.
Dan yang lebih penting, bangsa ini harus jujur menatap sejarah: Piagam Jakarta bukan dokumen gagal, melainkan wasiat yang belum sempat diwujudkan. Ia tidak mati, hanya menunggu generasi berani yang mau melanjutkan cita-citanya.
---
Merdeka bukan sekadar teriak "Merdeka!" sambil balapan karung. Merdeka sejati adalah ketika bangsa ini berani kembali pada ruh perjuangan ulama—mengisi kemerdekaan dengan iman, syariat, dan akhlak. Kalau tidak, 17 Agustus hanya akan jadi pesta tahunan tanpa makna, seperti kembang api: terang sesaat, lalu padam tanpa bekas.