"Nasab Diperkosa, Sejarah Dipelintir — Siapa di Balik Upaya Menjauhkan Walisongo dari Ba’alawi?”
Kamis, 31 Juli 2025
Faktakini.info
Tamzilul Furqon
“Nasab Diperkosa, Sejarah Dipelintir — Siapa di Balik Upaya Menjauhkan Walisongo dari Ba’alawi?”
–Mencermati Maksud Status Facebook Nyai Raden Ayu Lina II–
Di negeri yang tanahnya basah oleh darah para wali dan syuhada, hari ini kita menyaksikan sebuah tragedi intelektual yang memuakkan: nasab Walisongo dipelintir, dijauhkan dari akar Ba’alawi, dan dilempar begitu saja ke lembah narasi eksotis bernama Sayyid Ajal dari China — seolah-olah leluhur para pembawa Islam ke Nusantara itu adalah keturunan Jenghis Khan berkostum ustadz.
Yang lebih mengerikan: semua ini dibungkus dalam klaim “kebenaran sejarah baru”.
Lalu manuskrip “Nogo Songo” yang diklaim sebagai temuan hebat, tiba-tiba muncul bagai dewa penyelamat narasi. Padahal — bila kita sedikit cerdas dan jujur — jelas terlihat bahwa ini hanyalah satu bagian dari puzzle pembusukan sejarah, yang dengan sengaja mengabaikan ribuan manuskrip tua, arsip pesantren, catatan para mu’arrikh (sejarawan), serta dokumen di Leiden dan Mekkah yang semuanya mengarah ke nasab Al-Husaini — Ba’alawi Hadhramaut.
Siapa Tan Khoen Swie — dan Kenapa Perannya Patut Dicurigai?
Mari kita buka sedikit tabir. Tan Khoen Swie bukan sejarawan. Ia pedagang naskah. Penerbit buku Jawa. Ia bukan peneliti nasab, bukan murid para habib atau ulama Mekkah. Namun tiba-tiba ia memiliki versi silsilah Walisongo yang “revolusioner” — dan cocok sekali dengan narasi Sinocentrisme yang mengakar di zaman kolonial Belanda?
Kebetulan? Tidak. Ini pola. Dan sejarah tidak butuh terlalu banyak kebetulan untuk jadi mencurigakan.
Ini Bukan Soal Silsilah Saja — Ini Soal Identitas dan Otoritas
Bagi sebagian orang, urusan nasab adalah urusan “orang Arab.” Tapi bagi umat Islam Nusantara, nasab para wali bukan hanya soal garis keturunan — melainkan legitimasi dakwah, kepercayaan umat, bahkan struktur sosial Islam di tanah ini.
Maka ketika ada yang mencoba memutus Walisongo dari jalur Ba’alawi, sejatinya mereka sedang menggergaji jembatan sejarah Islam di Nusantara. Menafikan peran ulama Hadhramaut yang membawa mazhab Syafi’i, tasawuf Al-Ghazali, dan akidah Ahlus Sunnah ke pesisir-pesisir.
Ini bukan sekadar revisi akademik — ini kudeta epistemik!
Asal Bukan ke Ba’alawi?
Lucunya, mereka yang mencemooh nasab Ba’alawi sebagai “dongeng”, justru menelan mentah-mentah teori absurd bahwa Walisongo adalah keturunan China Muslim, dari keturunan Jet Lee versi kerajaan Yuan. Dimana akal sehat mereka ditaruh?
Apa karena Ba’alawi terlalu Islami? Terlalu Arab? Terlalu dekat dengan tradisi keilmuan Ahlus Sunnah yang tak bisa mereka ganggu gugat?
Ini jelas agenda. Dan hanya orang bodoh atau terlalu polos yang tidak melihat arah angin ini berembus.
Saatnya Kita Pasang Badan
Nyai Raden Linawati tidak sedang halu. Beliau membaca naskah, meneliti, mengkaji, dan mencocokkan data. Dan yang beliau lawan bukan individu — tapi gelombang besar pemalsuan sejarah yang kini mulai diformalkan lewat buku, kanal YouTube, hingga sertifikat nasab abal-abal.
Umat Islam harus sadar: saat sejarah direkayasa, masa depan ikut dikorbankan.
Hari ini nasab dibelokkan. Besok, otoritas ulama dipertanyakan. Lusa, ajaran Ahlus Sunnah dianggap penjajahan. Dan pelan-pelan kita pun kehilangan arah — menjadi umat yang tercerabut dari akar, dan menggantung di udara seperti umbel layangan putus.
📣 Penutup:
Mari kita lawan pembusukan sejarah ini. Bukan karena fanatisme keturunan — tapi karena kita cinta kebenaran. Karena kita tahu, jika sejarah bisa dibeli, maka generasi kita yang akan menanggung kerusakannya.
Dan kepada mereka yang terus berupaya menjauhkan Walisongo dari Ba’alawi: jangan pura-pura akademis kalau ternyata agendamu ideologis.