Kenapa Nama yang Didoakan Ulama, Malah Dihapus oleh Penguasa/Pemimpin Jawa Barat?
Kamis, 3 Juli 2025
Faktakini.info
*Kenapa Nama yang Didoakan Ulama, Malah Dihapus oleh Penguasa/Pemimpin Jawa Barat?*
(Rumah Sakit Islam Al Ihsan diganti oleh Dedi Muyadi jadi RS. Welas Asih)
Yang Bangun Ulama, Yang Hapus Politisi
Katanya *“Al Ihsan”* terlalu Arab. Padahal sejak kapan Islam merusak budaya Sunda?
Ini soal pola pikir: menghapus simbol-simbol Islam dengan alasan “lokalisasi”.
Bukan sekadar soal bahasa. Ini soal memutus akar rohani umat dari agamanya.
sekalian aja ganti:
• “Kamar jenazah” jadi “kamar bangkai”
Ada sebuah rumah sakit yang dibangun dari keringat umat.
Bukan proyek BUMN, bukan hasil Musrenbang, bukan pula hibah luar negeri.
Rumah sakit ini berdiri atas inisiatif Ulama.
Peletakan batu pertamanya pun tidak sembarangan:
Di hari *Nuzulul Qur’an*, 17 Ramadhan 1414 H.
Namanya? *Rumah Sakit Islam Al Ihsan*.
Nama ini bukan sekadar identitas formal. Tapi juga Do'a, ruh, dan cita-cita.
“Ihsan” satu maqam tertinggi dalam Islam yang diajarkan langsung oleh Rasululloh ﷺ dalam Hadits Jibril.
Tapi hari ini, datang seorang pejabat bernama Dedy Mulyadi biasa disapa KDM/Kang Dedy Mulyadi biasa juga di sapa Gubernur Konten,
mengganti nama itu begitu saja menjadi RSUD Welas Asih.
Alasannya: ,*“Biar lebih Sunda”*, Astaghfirulloh naudzubillah min dzalik.
Alasan klise dari mereka yang alergi simbol Arab,
tapi pas Pemilu doyan banget pakai citra Islam.
*Yang Bangun Ulama, Yang Hapus Politisi*
Kalau kamu kira rumah sakit ini dibangun pemerintah, kamu salah besar.
RS. Al Ihsan ini didirikan pada 15 Januari 1993 oleh enam tokoh umat melalui Yayasan Al Ihsan:
• H. M. Ukman Sutaryan
• H.M.A. Sampoerna
• H. Agus Muhyidin
• K.H. R. Totoh Abdul Fatal
• K.H. Ahmad Syahid
• H.M. Soleh, MM
Tujuannya mulia dan konkret:
*Agar masyarakat kecil bisa mengakses kesehatan yang layak, murah, dan bermartabat.*
Tahun segitu—para ulama dan tokoh umat sibuk bangun fasilitas untuk rakyat.
*Kang Dedy?*
Mungkin masih sibuk urus kampus swasta sambil bawa rumput buat kambing.
Tapi anehnya, sekarang beliau yang merasa paling berhak ganti namanya.
*Rumah Umat Dijadikan Alat Citra*
Peletakan batu pertamanya terjadi pada 11 Maret 1993, bertepatan dengan 17 Ramadhan.
Ada Ulama, Ormas/LSM, dan beberapa pejabat hadir,
tapi napasnya satu: ini amal umat. Bukan proyek narsis birokrat.
Kini rumah yang dibangun ulama, diberi nama baru oleh seorang politisi.
Katanya *“Al Ihsan”* terlalu Arab. Padahal sejak kapan Islam merusak budaya Sunda?
Menghapus Nama Islami Atas Nama Lokalitas: Kita Pernah Dengar yang Begini
Ini bukan soal satu nama rumah sakit.
Ini soal pola pikir: menghapus simbol-simbol Islam dengan alasan “lokalisasi.”
Dengan dalih: biar lebih “nasional”, “budaya”, atau “kearifan lokal.”
Mengganti nama “Al Ihsan” dengan alasan “bukan budaya Sunda” mungkin terdengar sepele.
Tapi dalam sejarah, kita sudah pernah melihat pola seperti ini.
Dan akibatnya—fatal.
Mari kita tengok Turki tahun 1920-an.
Negara yang sebelumnya jadi pusat Khilafah Islam selama 6 abad.
Ketika Khilafah Utsmaniyah runtuh,
Mustafa Kemal Atatürk naik jadi penguasa.
Lalu apa langkah pertamanya?
Menghapus jejak Islam dari ruang publik.
Kenapa?
Karena menurut Atatürk, Islam dianggap penghambat kemajuan.
Tulisan Arab? Katanya simbol keterbelakangan.
Adat Islam? Dinilai kuno dan tak cocok untuk dunia modern.
Maka ia mulai program besar-besaran:
Mengasingkan rakyat Turki dari identitas Islam.
Mulai dari perubahan nama nama Pemerintah, Hukum hingga Bahasa Keseharian. Puncaknya, Atatürk memaksa rakyat melafalkan adzan bukan lagi:
“Allohu Akbar”,
tapi:
“Tanrı uludur” (Tuhan Maha Besar, versi Turki)
Kalimat “Hayya ‘ala al-falah” diganti jadi “Haydi kurtuluşa”.
Masjid-masjid dijaga polisi.
Muadzin yang tetap adzan pakai bahasa Arab bisa ditangkap.
Bukan sekadar soal bahasa. Ini soal memutus akar ruhani umat dari agamanya.
Satu generasi pun tumbuh buta huruf terhadap Qur’an klasik, kitab tafsir, kitab fiqih, bahkan naskah sejarah nenek moyang mereka.
Akibatnya?
Anak muda Turki tidak tahu siapa dirinya.
Yang bisa mereka baca hanya ideologi Barat.
Mereka dipaksa modern, tapi kehilangan arah.
Kalau alasan mengganti “Al Ihsan” karena katanya bukan budaya Sunda,
maka sekalian aja ganti:
• “Kamar jenazah” jadi “kamar bangkai”
• “Hakim” diganti jadi “pangadilan”
• “Sidang” diganti jadi “ngariung hukum”
• Dan jangan lupa: hapus juga kata zakat, adzan, ujian, jenazah semuanya dari bahasa Arab.
*Tapi kenapa cuma nama yang berbau Islam yang dihapus?*
Kenapa cuma yang berakar dari agama yang dianggap “asing”?
Kalau ini bukan Islamofobia, lalu apa?
Jadi ingat dulu Menag Yaqut Qaulil Khaumas yg masih kabur ada Kasus yakni pernah mengatakan Adzan disandingkan dengan Gonggongan Anjing, Naudzubillah min dzalik...
*Mengangkat Budaya Sunda Bukan Berarti Membuang Islam*
Padahal kalau ditelusuri, budaya Sunda tidak pernah alergi terhadap Islam.
Sunda itu dibesarkan pesantren, bukan disekolahkan Barat.
Sunda mengenal Nyi Mas Ratu Bagus, K.H. Abdul Halim, Ajengan Sukapura, dan para ulama Sufi.
Sunda menghafal Qur’an sejak kecil.
Sunda merindukan Ihsan, bukan cuma Welas Asih.
Sunda dibesarkan oleh pesantren (bahkan Penulis UAF pun pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Al Masthuriyyah, Tipar Cisaat, Sukabumi Jawa Barat cuma sampai MTS /SMP kelas 2 dan kelas 3nya di MTS Muhammadiyah 02 Kota Bekasi) Dijaga oleh ulama.
Dihormati oleh orang-orang yang bersujud, bukan oleh penghapus identitas.
Sunda tidak takut pada kata “Al Ihsan.”
Justru dari tanah Sunda lahir para penghafal Qur’an, pendakwah tangguh, dan penjaga aqidah.
Kang Dedy, hari ini Anda mungkin punya kekuasaan.
Tapi nama itu bukan sekadar papan.
Ia adalah simbol darah, keringat, dan air mata umat.
“Al Ihsan” bukan sekadar label administratif. Ia maqam,
satu tingkat di atas iman dan Islam.
Kami hanya mengingatkan:
Ketika identitas agama mulai dihapus atas nama budaya, maka yang datang berikutnya bukan kearifan, tapi keterasingan.
*Penutup:*
Tulisan ini bukan sekadar tentang rumah sakit. Tapi tentang perlawanan terhadap pelan-pelan hilangnya ruh Islam dari ruang publik.
Dan seperti sejarah telah membuktikan, semuanya dimulai dari hal yang “kecil”.
Ingat Jawa Barat itu adalah Daerah yang banyak didirikan Pesantren dan Ulama ISLAM jangan mentang mentang jadi *Gubernur/Pemimpin* di Jawa Barat buat ulah yang Islamophobia, Baca Tulisan Penulis terkait Pesantren di Jawa Barat:
https://www.faktakini.info/2024/10/sejarah-berdirinya-pondok-pesantren-di.html?m=1#gsc.tab=0
Mari Kita Ganyang Islamophobia walaupun dia itu Penguasa Sekalipun, Salam Ahadun Ahad ☝️ Allohu Akbar ✊ Isy Kariman Aw Mut Syahidan (Hidup Mulia atau Mati Syahid)
Hasbunalloh wani'mal wakil ni'mal Maula wa'niman natsir.
Kp. Pintu, Babelan City, Kab. BEKASI-Jawa Barat, 03 Juli 2025,
Oleh : *UAF/Ustadz Abu Fayadh Muhammad Faisal* (Warga Bekasi Timur Kota Bekasi, Dewan Syuro'/Penasehat DPC JAJAKA/Jawara Jaga Kampung Bekasi Timur Kota Bekasi)