Damai Lubis: Kacamata Hukum Hasil Penyelidikan Pengaduan TPUA Ijazah Jokowi Asli Palsu

 



Ahad, 15 Juni 2025

Faktakini.info

*_Kacamata Hukum Hasil Penyelidikan Pengaduan TPUA Ijazah Jokowi Asli Palsu_*

Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dsn Politik)

Bereskrim Mabes Polri dan Reskrimum Poda Metro Jaya merupakan satu atap di lembaga Polri dan Kepala Bareskrimum (Kabareskrim Polri) berpangkat Komjen (Perwira Tinggi) dan bertanggung jawab dan dibawah kendali langsung Kapolri. 

Sementara Direktur Reskrimum, berpangkat Kombes (Perwira Menengah) dan bertanggung jawab kepada Kapolda, namun Direskrimum dibawah kendali Wakapolda, sehingga eksistensi hirarkis antara keduanya tentu lebih tinggi status serta lebih luas jangkauan kewenangan Bareskrimum dari pada Direkrimum, ini hal yang absolut.

Perihal kinerja antara keduanya yang satu atap dan harus sinergi dibawah komando Kapolri, bagimana tentang hubungan hukum terkait pengaduan TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis), akankah overlapping antara metode penyelidikan antara kedua fihak yang satu atap, antara Bareskrimum dengan Direskrimum?

Didalam sistim hukum dan perundang-undang tentang KUHAP Jo. UU. Polri Jo. Perkappolri, tidak didapati ketetuan pasal yang melarang antara dua orang yang saling melapor dalam objek perkara yang sama, dan antara keduanya dilarang saling intervensi.

Walau masing-masing diatas kertas, tidak boleh ada saling intervensi, namun keabsolutan keduanya bareskrimum dan direskrimum mutlak dibawah arahan Kapolri, tentu logikanya Kapolri akan lebih serius mendengar informasi bawahan yang intens bertemu dan langsung dibawah kendalinya yakni Kabareskrim Mabes Polri.

Terhadap kasus a quo, jika diamati secara seksama TPUA melaporkan (mengadu di DUMAS) kasus dugaan Jokowi menggunakan ijazah S-1 palsu UGM pada 9 Desember 2024. Lalu mulai diproses investgasi pada pertengahan April 2025 lalu setelahnya pada akhir bulan April (30/4/2025) Jokowi melaporkan Roy Cs di Polda Metro Jaya, namun durasi proses klarifikasi (investigasi) amat 'kilat', sehingga publik merasakan ada keganjilan.

_Kok_ bisa terhadap objek perkara yang sama dan diadukan dibawah atap yang sama (polri) namun TPUA melaporkannya diruang kekuasaan dan jangkauan yang jauh lebih tinggi (Bareskrim Polri), namun Polda yang berada dibawah level Bareskrim Mabes Polri, berani "secepat kilat" melanjutkan perkara yang sedang diproses oleh pejabat Polri dengan jenjang kepangkatan yang lebih tinggi dan ruang wilayah pertanggungjawaban yang lebih dekat serta lebih erat dengan orang nomor satu ditubuh Polri? Terlebih fasilitas Bareskrim lebih memadai dan kompleks, oleh karenanya gambaran realitas daripada fungsi dan yuridiksi dalam kasus penanganan dugaan Ijazah Jokowi palsu ditandai dengan fenomena kontraproduktif sistim hukum.

Diluar daripada pola penyelidikan yang katanya dilakukan secara komperensip, walau dari sisi sistimatika KUHAP tidak berkesesuaian, karena jelas-jelas penyelidikan tidak kongkrit, namun nyatanya hasil penyelidikan yang diumumkan Kabareskrim (22/5/2025): "Ijazah S-1 Jokowi a quo in casu adalah identik dengan yang asli". 

Entah dengan komparasi ijazah asli yang mana, gelap tidak sesuai mekanis asas transparansi yang merupakan salah satu prinsip yang tidak boleh dilanggar oleh setiap Anggota Polri, jo. UU. Polri, Jo, vide Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019. 

Sehingga oleh sebab hukum dikarenakan pola penyelidikan yang dilakukan oleh Barskrimum melenceng atau tidak berkesesuaian dengan ketentuan hukum, maka publik *_'halal'_* meragukan hasil penyelidikan termasuk kelak hasil penyidikan dari Pihak Penyidik Reskrimum Polda, jika reskrimum bersandar dan atau menggunakan hasil dari penyelidikan Bareskrimum.

Apa argumentasi hukum sehingga menjadi dalil bahwa pola kinerja penyelidik bareskrim tidak transparan dan melanggar sistim hukum?

Diantara alasan hukumnya adalah:

1. Tidak jelas apakah hasil temuan hukum bareskrim tentang analisa Ijazah Asli Jokowi menggunakan perlengkapan laboratorium forensik digital?;

2. Ijazah asli milik siapa yang menjadi pembanding? Apakah si pemilik ijazah objek pembanding merupakan asli lulusan UGM;

3. Bahwa kedua pakar IT (Dr. Roy Suryo dan Dr Rismon Sianipar), tidak dimintakan klarifikasi atau diinvestigasi oleh Bareskrim atas temuan hasil analisa IT yang baru sekedar dari foto copi ijazah dan analisa terhadap skripsi sebagai pendukung lazimnya mahasiswa yang lulus yang publis menyebut melalui media OL dan video yutub, bahwa Ijazah Jokowi 100 % palsu dan estimasi skripsi dibuat baru pada tahun 2018;

4. Bahwa, pengaduan yang dilakukan oleh pihak TPUA sebagai Pengadu, dilampirkan beberapa hasil analisis (scientific) dua orang pakar IT (telematika dan forensik digital) dimaksud (Dr. Roy dan Dr. Rismon) yang memastikan, *_"bahwa Ijazah S-1 Jokowi adalah 100 % palsu" dan skripsi baru dibuat dengan font yang bukan tahun 1985_* namun kedua pakar tidak dilibatkan atau setidak-tidaknya tidak diumumkan apa hasil analisis mereka benar atau tidak;

5. Anak mantan dekan Prof Dr. Sumitro Ir. Aida Greenbury yang menyatakan nama orang tuanya adalah Sumitro bukan gunakan *_Soe_* seperti nama yang tertulis pada skripsi Jokowi, ternyata Ir. Aida Greenbury juga tidak dijadikan saksi oleh Penyelidik/penyidik bareskrim?

Pengamat teringat lalu mendasari adagium hukum "andai sejak bergulirnya proses untuk mencari kebenaran (materiele wàrheeid) melanggar ketentuan hukum, maka keadilan tidak bakal didapatkan". Untuk itu pengamat tidak percaya atau setidak-tidaknya meragukan apapun hasil dari pihak penyelidik dan Penyidik yang mengatakan Ijazah S-1 Asli.

Dan akibat ketidak tranparansian pihak Bareskrim dan Reskrimum Polda Metro Jaya, dalam melakukan fungsi tugas kewenangannya, menjadikan publik sebagian besar bertambah yakin, *_bahwasanya Ijazah S-1 Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM dan skripsinya diduga Palsu_*, terlebih publik mengenal karakter Jokowi 'kategori' asas hukum "notoire feiten" yang notorius, karena Jokowi pecandu dusta.