FPI, GNPF Ulama, dan Persada 212 Desak Pemerintah Cabut Permendagri yang Ancam Kedaulatan Aceh
Sabtu, 14 Juni 2025
Faktakini.info, Jakarta - Tiga organisasi besar yakni Front Persaudaraan Islam (FPI), GNPF Ulama, dan Persada 212 menyampaikan pernyataan bersama terkait polemik pengalihan empat pulau milik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) ke wilayah administratif Sumatera Utara melalui Permendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Mereka menilai kebijakan ini merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap integritas wilayah dan ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam resolusi yang ditandatangani oleh Habib Muhammad Alattas (Ketua Umum FPI), Ust. Yusuf M Martak (Ketua Umum GNPF-U), dan KH. Ahmad Shobri Lubis (Ketua Umum Persada 212), terdapat sejumlah poin penting yang menjadi dasar penolakan mereka.
Empat Pulau Diklaim Tanpa Legitimasi
Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan—yang secara historis, sosiologis, dan yuridis merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil—disebut telah dialihkan ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, melalui Permendagri tersebut. Padahal, kesepakatan antara Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 1992 dengan tegas menyatakan bahwa keempat pulau itu adalah milik Provinsi NAD dan tidak boleh diklaim atau dikelola oleh pihak lain selain Aceh.
Desak Presiden Prabowo Rombak Kabinet
Selain mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera mencabut Permendagri tersebut berdasarkan prinsip Contrarius Actus, ketiga ormas ini juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk merombak kabinet. Mereka menuding bahwa masih ada aktor-aktor politik dari rezim lama yang menyusup ke pemerintahan saat ini dan berupaya merusak kredibilitas Presiden dengan kebijakan yang memicu keresahan dan konflik horizontal maupun vertikal.
Beberapa nama yang disebutkan secara eksplisit sebagai “biang kerok” dalam kisruh ini antara lain Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Tito Karnavian (TK), yang dituding bermain dalam skenario eksploitasi ekonomi dan politik dengan menjadikan pulau-pulau tersebut sebagai ladang investasi asing.
Motif Politik dan Ekonomi Dinilai Jadi Dalang
Dalam dokumen resolusi tersebut juga disoroti motif kapitalistik yang mengeksploitasi sumber daya alam pulau-pulau itu (perikanan, wisata, migas), serta kepentingan politik identitas untuk memperluas pengaruh kekuasaan hingga ke wilayah Sumatera. Mereka menyebut bahwa pengalihan pulau-pulau ini membuka peluang raksasa ekonomi dan oligarki untuk menguasai potensi alam Aceh dengan mengorbankan kedaulatan daerah.
Seruan Bangkit Bela NKRI dan Aceh
Dalam penutup resolusinya, ketiga pimpinan ormas tersebut menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk bersatu menyelamatkan Aceh dari ancaman pemaksaan administratif dan kebijakan yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Kami mendukung sikap rakyat Aceh yang menolak keras Permendagri ini. Aceh adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI, dan integritas wilayahnya harus dihormati oleh siapa pun yang memerintah,” tegas Habib Muhammad Alattas.
Berikut adalah transkrip lengkap dari isi dokumen Resolusi Integral NKRI yang dikeluarkan oleh FPI, GNPF Ulama, dan Persada 212.
FPI – GNPF Ulama – PERSADA 212
RESOLUSI INTEGRAL NKRI DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA NEGARA ATAS DIRAMPASNYA 4 PULAU DARI KEDAULATAN ACEH DARUSSALAM
Nomor: 02/TPS/VI/2025
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Kegaduhan dan polemik yang ditimbulkan atas dirampasnya 4 pulau milik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam oleh Pemerintah Pusat, adalah merupakan ancaman terhadap keutuhan NKRI dikarenakan penyelenggara negara di tingkat pusat tidak memiliki integritas.
Melalui Resolusi ini, kami FPI, GNPF Ulama, Persada 212, menyampaikan pandangan sekaligus menyerukan dan mengajak semua elemen bangsa untuk segera memperbaiki kondisi yang membahayakan keutuhan wilayah NKRI secara keseluruhan.
Pertama:
Bahwa secara historis, sosiologis maupun dokumen yuridis, permasalahan atas empat pulau di wilayah Singkil:
1. Pulau Panjang
2. Pulau Mangkir Gadang
3. Pulau Mangkir Ketek
4. Pulau Lipan
Telah tuntas diselesaikan baik secara politik maupun secara yuridis pada tahun 1992, oleh Menteri Dalam Negeri Rudini pada saat itu, bersama-sama dengan Gubernur Sumatera Utara (Raja Inal Siregar) dan Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan).
Adapun isi pokok dokumen Kesepakatan 1992 tersebut menegaskan:
1. Keempat pulau diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh.
2. Sumut tidak boleh lagi mengklaim kedaulatan atau mengeluarkan izin usaha di wilayah tersebut.
3. Pengelolaan sumber daya alam (perikanan, pariwisata, dll.) menjadi hak penuh Aceh.
4. Hanya kerja sama teknis (seperti konservasi laut lintas batas) yang boleh dibahas bersama.
Kesepakatan ini ditandatangani di Jakarta, dan merupakan dokumen yang bersifat final dan mengikat atas permasalahan ke-4 pulau tersebut.
Kedua:
Posisi historis, politis dan yuridis Provinsi NAD sebagai pemilik sah ke-4 pulau tersebut, telah juga diperkuat melalui dokumen Perjanjian Damai Helsinki, UU Nomor 24 Tahun 1956 yang mengatur pemisahan Aceh dari Sumut, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 246, yang menyatakan bahwa wilayah Aceh mengacu pada peraturan sebelumnya).
Dikuatkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 01.P/HUM/2013 yang menolak gugatan Sumut atas klaim ke-4 pulau tersebut.
Ketiga:
Ternyata walaupun telah ada kesepakatan yang bersifat final pada tahun 1992, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Sumut di era sekarang ini, diketahui aktor politik oportunis dan serakah termasuk di dalamnya Luhut Binsar Pandjaitan, Tito Karnavian, rezim Jokowi dan menantunya yang saat ini menjadi Gubernur Sumut yaitu Bobby Nasution, terus mencoba mengabaikannya dengan motif:
1. Potensi ekonomi besar (ikan, wisata, migas).
2. Adanya pengusaha dari luar negeri yang ingin berinvestasi di pulau-pulau tersebut. Sebagaimana yang beredar dalam video, bahwa LBP merasakan kesulitan membawa investasi ke Kabupaten Singkil, karena investor mengeluhkan layanan oleh Pemkab Singkil.
3. Politik identitas untuk memperluas pengaruh Sumut.
Keempat:
Melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, Pemerintah Pusat menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Kepmendagri tersebut jelas-jelas bertentangan dan melanggar per-UU-an yang kedudukannya lebih tinggi secara yuridis formal dan politis, yaitu UU No. 24 Tahun 1956 dan UU No. 11 Tahun 2006, Putusan MA No.01.P/HUM/2013, maupun Perjanjian Damai Helsinki.
Sehingga HARUS DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM, tanpa perlu adanya gugatan pembatalan, baik melalui PTUN maupun mekanisme peradilan lainnya.
Berdasarkan prinsip Hukum Administrasi Negara, yaitu Asas Contrarius Actus, maka Menteri Dalam Negeri WAJIB mencabut keputusan yang telah melanggar seluruh Asas Umum Pemerintahan yang Baik tersebut.
Kelima:
Bahwa patut diduga kuat motif ekonomi kapitalistik dengan tujuan mengeksploitasi sumber daya alam, mengeruk keuntungan rente ekonomi dengan tujuan memperkaya oknum-oknum tertentu dan oligarki, maupun korporasi asing dan aseng adalah agenda tersembunyi yang menjadi latar belakang dari kepmendagri tersebut.
Keenam:
Bahwa selain motif ekonomi sebagaimana poin kelima di atas, patut juga diduga kuat, adanya agenda politik sebagai aksi memprovokasi secara yuridis dan politis dari Kementerian Pusat melalui aktor politik tertentu yang masih menjadi bagian dari rezim lama pemerintahan Jokowi, dengan tujuan untuk memancing reaksi seluruh elemen masyarakat Aceh agar berejoelaki dan bertindak emosi.
Tujuan akhirnya adalah provokasi tersebut sebagai bagian dari skenario cipta kondisi yang diarahkan untuk mengembalikan Aceh pada situasi kondisi darurat militer sebagaimana pada masa lalu, sehingga aktor-aktor politik yang menjadi bagian dari rezim lama Jokowi dapat mengambil keuntungan berlipat ganda dan memainkan politik busuk dan drama.
Yaitu memancing kemarahan rakyat Aceh sekaligus menghancurkan kredibilitas Pemerintahan Presiden Prabowo dan juga memberikan keuntungan rente ekonomi bagi dinasti politik rezim zombie Jokowi.
Ketujuh:
Penghormatan Terhadap Kontribusi Aceh untuk NKRI
Kita semua memahami sejarah Aceh yang merupakan wilayah yang menjadi modal politik, sosial, maupun ekonomi dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia.
Kegigihan perlawanan rakyat Aceh dalam melawan kolonialisme Belanda ketika banyak wilayah lain nusantara telah takluk dalam penjajahan, begitu juga secara ekonomi dan simbolik ketika Indonesia membutuhkan simbol kesatuan wilayah, Aceh menyumbangkan sepenuh hati wilayah dan kekayaannya untuk Indonesia.
Pemerintah Pusat seharusnya lebih menghormati Aceh sebagai simbol kultural, ekonomi, dan politik bagi keutuhan Republik Indonesia, yang menjadi bagian integral baik secara wilayah teritorial, ekonomi, maupun politik.
Pada tahun 1948, saat penjajah Belanda di PBB mengklaim seluruh wilayah Indonesia sudah dikuasainya dan resmi menjadi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda, justru Aceh melalui siaran Radio Rimba Raya menyatakan bahwa seluruh wilayah Aceh sebagai bagian wilayah Indonesia belum ditaklukkan.
Radio Rimba Raya, yang terletak di Dataran Tinggi Gayo – Bener Meriah, Aceh, mengudara mulai 20 Desember 1948 hingga 2 November 1949, menyuarakan pesan mini “Indonesia masih ada!” dalam berbagai bahasa dunia: Melayu, India, Urdu, Inggris, Arab, dan Belanda.
Ketika terjadi Agresi Militer Belanda ke-2 mulai tahun 1947 yang telah berhasil merebut dan menguasai kembali wilayah Indonesia, sampai ibu kota negara saat itu dipindahkan ke Aceh dan Bireuen, pesan dari Radio Rimba Raya inilah yang menggagalkan upaya Belanda mengembalikan Indonesia menjadi wilayah Hindia Belanda.
Kedelapan:
Aktor-aktor politik tunak integritas yang menjadi bagian dari agenda tersembunyi rezim lama Jokowi, yang saat ini terus menggerogoti pemerintahan Presiden Prabowo seharusnya segera dievaluasi keberadaannya di dalam tubuh Pemerintahan Prabowo.
Mereka selama ini sudah terbukti seringkali menimbulkan konflik horizontal dan vertikal yang memicu ketidakstabilan sosial politik dan ekonomi.