Jejak Ghirah "Revolusi Putih" Habib Rizieq Shihab

 




Ahad, 28 November 2021

Faktakini.info, Jakarta- Sungguh sangat mengherankan jika HRS berada di dekaman kamar prodeo Bareskrim Polri sekarang. Salah apa yang telah HRS perbuat?

Jika secara jujur dan fakta hukum kita runtun, teliti, bahkan di transparasi, diuji ilmiah hukum, kemudian diacarakan dengan “by objective of the law”, tak ada satu pun perbuatan beliau mengandung unsur pidana, bertentangan dengan dan atau melawan hukum.

Baik ketika beliau masih berada di Indonesia, kemudian “hijrah” ke Saudi Arabia semata-mata hanya untuk menyelamatkan diri dan keluarga, fatalnya dari percobaan pembunuhan hingga 11 kali melalui sniper — kejadian ini tidak pernah “diributkan” oleh publik dan media.

Maupun saat beliau kembali ke Indonesia yang justru menjebloskannya ke penjara akibat ulah rekayasa hukum rezim zalim di situasi pandemi yang selayaknyalah—di negara-negara bagian belahan dunia mana pun masih bisa menghargai hak-hak hukum privasi kemanusiaan. Apalagi, terkait hak dasar hakiki kesehatannya, terbukti hingga saat ini beliau di penjara, tidak pernah sakit seperti apa yang dituduhkan.

Kemudian, dalam perkembangan konteks politik HRS mampu mengakomodir aksi “revolusioner akhlak dan moral” menghimpun jutaan umat hadir di Monas dalam serangkaian acara PA 212, jejak ghirah apa yang dilakukannya, adalah sesungguhnya tetap “Revolusi Putih”: Tanpa aksi anarkis, tanpa aksi radikal-brutal yang merusak, atau tanpa aksi terorisme yang menimbulkan korban jiwa satu pun.

Kebalikannya, akan boleh jadi disebut sebagai: “Revolusi Hitam” manakala tindakan beliau itu menabur dan menuai benih-benih dan unsur-unsur pidana kriminal yang bertentangan dengan hukum sipil.

Malah, yang justru dihembuskan sebagaimana dituduhkan dan atau difitnahkan kepada beliau oleh musuh-musuhnya: fitnah keji kasus chat porno, empat kali dituduhkan melanggar ujaran kebencian UU ITE dengan pelbagai rekayasa thema kebencian.

Apalagi, bahkan melakukan pelanggaran hukum tata negara, sampai HRS menyasar upaya dan atau melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah, misalkan. Itu nonsen, semua omong kosong!!

Jangankan pelanggaran hukum yang berat-berat seperti disebutkan di atas, contoh seperti setelah setiap usai acara PA 212 di rangkaian serial periode tahun telah berjalan semenjak awal November 2017 itu, malah sungguh telah mendapatkan apresiasi, simpatik, empati dan mengundang decak kagum dunia:

Tak ada satu pun rumput-rumput di taman yang ada di Monas diinjak dan dirusak; tak ada spot-spot tempat di Monas jadi tempat kotor akibat bertumpuknya dan berserakan sampah yang biasanya ditinggal kan para aksi pengunjuk rasa ; atau apalagi merusak sarana dan prasarana infrastruktur yang ada di Monas.

dari awalnya “Revolusi Putih” yang dicanangkan oleh HRS dari Saudi Arabia, itu pun lahir karena murni menyuarakan ghirahnya untuk menjunjung tinggi dan menegakkan Islam, ketika seorang Gubernur Ahok menistakannya.

Baca artikel “Revolusi Putih” ditulis oleh penulis yang sama di situs Panjimas, 2017 silam: “Substansi ‘Revolusi Putih’ itu manifestasi menjaga dan menguji kesabaran. Baru dicanangkan oleh HRS dari Saudi Arabia, semula bak menggelar sajadah panjang perjuangan, sebagaimana ruh puisi Taufik Ismail fatwakan: sesungguhnya ghirahnya ditaburkan semenjak seluruh Aksi-Aksi Bela Islam dikerahkan. Tak ada kekerasan, anarki atau pun chaos. Justru, ditunjukkan Islam itu cinta damai dan toleran….”

Jika kemudian revolusi itu disebut sebagai gerakan politik, itu pun terjadi hanya sebagai suatu kebetulan keterperangkapan politik, “political traping” belaka.

Artinya, itu serta merta, bukanlah dirancang dan dibuat oleh HRS sebagai kesengajaan, tapi itu dikarenakan penistaan itu dilakukan oleh seorang Gubernur yang memiliki jabatan publik dan politik.

Boleh jadi karena sakit hati dikalahkan, bahkan Ahok kemudian masuk penjara, entah itu perasaan dan prasangka pribadi atau komunitas pengikutnya, aksi gerakan yang ber seberangan bersifat amoral itu justru didengungkan atau dilontarkan oleh “pesakit hati” alias dendam musuh-musuhnya dengan secara masif, terstruktur dan sistematis di semua lini media massa dan sosial.

Lantas, gerakan politik HRS didengungkan oleh mereka sebagai gerakan Islam populisme radikal, intoleran, berbau SARA pengungkit politik identitas, issue kebangkitan penyesatan Khilafah, isu terorisme, dsb.

Karena peristiwa tersebut bersamaan momentumnya dengan Pilkada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang saat itu sebagai lawan calon kebagian terkena getahnya: Anies secara signifikan memang didukung oleh gerakan kelompok HRS yang dinafikan membawa paham-paham radikal tersebut, yang sudah pasti oleh sebagian publik Jakarta masih ditanggapi dengan nada miring dan pandangan negatif, dikuatirkan bakal menggembos perolehan suara Anies. Tapi, toh di pemilihan bilik suara Anies tetap lolos dan memenangkannya.

Menjadi Imam Besar Islam Indonesia

Demikian juga dengan HRS, justru momentum ketika beliau “pindah” bermukim di Saudi Arabia, meski HRS tak berada di Indonesia, semakin mengokohkan beliau kemudian menjadikan dan dijadikan oleh umat pengikutnya sebagai Imam Besar Islam di Indonesia.

Dalam catatan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, ini sungguh menandai suatu fase baru munculnya regenerasi baru kepemimpinan Islam yang menyentuh gerakan politik informal untuk ikut dalam mewarnai dan menengarai percaturan politik nasional.

Setelah sekian puluhan tahun direpresentasikan oleh partai-partai politik Islam yang sungguh masih belum menemukan sosok berpengaruh di politik kepemimpinan nasional secara signifikan. Padahal, umat Islam berstatus mayoritas di Indonesia.

Karena seorang HRS, adalah seorang Habibana, dalam tradisi Islam sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw, juga Ulama dan Kiai besar di Indonesia, bahkan secara informal sudah disebut sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia, maka sesuai syar’i dan tradisi kepemimpinan Islam di Indonesia, maka beliau sudah diakui dan mumpuni sebagai pemimpin secara informal umat Islam seluruhnya di Indonesia.

Bersama MUI, HRS pernah memimpin Ulama berkumpul memberikan putusan fatwa dan Ij’tima ketika mendukung Prabowo-Sandi menjadi calon Presiden 2019-2024, meskipun kemudian kandas namun diindikasi bahwa Pilpres kontroversial itu dinodai penuh kecurangan, “The Elections of Fraud”.

Makanya, mendekamnya HRS dipenjara itu dengan tuntutan empat tahun penjara —meski baru saja MA memberikan putusan hukum pengurangan dua tahun, menunjukkan adanya kekuatiran dan ketakutan besar kelompok rezim yang sedang berkuasa saat ini dengan terus mengintimidasinya dengan propaganda-propaganda yang bersifat Islam phobiaisme: Islam intoleran, radikal dan terorisme.

Mondialisme Islam

Sesungguhnya, saat ini propaganda-propaganda Islamofobia itu sudah basi, tak bernilai, dan kehilangan kontekstualnya —yang tengah dan telah banyak diakui dan disadari oleh banyak negara, baik AS maupun di Eropa sendiri.

Seperti ditunjukkan oleh HRS denga semangat ghirahnya “Revolusi Putih” itu, dunia Islam kepada Islam dunia kini itu mencerahkan, Islam itu membawa ke perubahan menuju harapan baru, bahkan Islam itu satu-satunya alternatif solusi ketika ideologi lain tengah dihadapkan jalan buntu menengarai problematika dikotomi perseteruan antara kapitalisme dan komunisme yang ternyata “bermuka dan bertabiat sama” dalam pacuan keserakahan dan kerakusan berebut penguasaan ekonomi dunia.

Justru, hanya Islamlah yang selalu membawa dan melekatkan kesetaraan dan keadilan sampai kapan pun, di mana pun dan untuk apa pun. Kenapa?

Dikarenakan itu hanya satu alasan, adalah suatu syariat, kewajiban ibadah dalam naungan ruang semesta sebesar-besarnya atas kekuasaan Allah SWT, termaktublah di Al-Qur’an “rahmatan lil alamin”, Islam berada dan bertindak untuk kesejahteraan umat manusia bersama di dunia maupun di akhirat kelak.

Sedangkan, untuk kepentingan umat Islam di Indonesia, semangat dan ghirah “Revolusi Putih”, sesungguhnya telah ada dan tertulis dalam sejarah penting semasa mencapai puncaknya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, telah mewujud menjadi dasar negara, yaitu lahirnya Pancasila. Setelah para tokoh politik Islam pejuang kemerdekaan (KH. Ahmad Dahlan, KH Agus Salim, KH Hasyim Azhari, KH. Wahid Hasyim, M. Natsir, Sutan Sjahrir, Moh. Yamin, dll), ribuan Ulama, ribuan Kiai pemimpin pondok-pondok pesantren di seluruh Indonesia telah bersepakat dengan tulus dan iklas menjadikan Piagam Jakarta, dengan menghapus sila “…. dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya”. Namun, akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Pancasila yang asli, murni, geniun dan sakti.

Itulah warisan utama jejak ghirahnya “Revolusi Putih”, Islamlah yang mewujudkan kemurnian Pancasila sebagai dasar negara.

Dan luara biasanya, itulah pula yang dijadikan kajian disertasi doktornya di Universitas Malaysia: membuktikan seorang Habibana merepresentasikan keputusan final atas persetujuannya dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara murni NKRI. Beliaulah Pancasilais sejati, namun justru oleh musuh-musuhnya dianggap intoleran, radikal dan terorisme yang seolah mempertentangkan dan bertentangan dengan makna nilai-nilai Pancasila, yang sesungguhnya sudah bersenyawa dan menjadi bagian dari nilai-nilai universal Islam itu sendiri.

Meluruskan Jalan Bengkok

Maka, HRS itu sesungguhnya ingin mengubah dan meluruskan jalan bengkok yang selama Indonesia membangun dikuasai oleh dua kekuatan kelompok nasional-liberal-kapitalis dengan berganti kemudian kemunculan kelompok nasional-liberal-komunis.

HRS dengan ghirah “Revolusi Putih” itu ingin mewujudkan NKRI berdasar ideologi Nasional Religiusitas Islam-Pancasila untuk menuju kemakmuran Indonesia yang setara dan seadil-adilnya bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, Habibana yang legendaris itu sebagai Imam Besar Islam Indonesia, ironisnya tengah mendekam di penjara namun tanpa tahu, tanpa ada alasan salah di mata tajam pedang hukum yang justru sedang menyayat tubuhnya perih keluar darah berasa ketidakadilan dan ketidakberadaan.

Jika rezim tak tahu malu ini tetap akan menodai ghirah “Revolusi Putih” itu, kelak bak pendulum menggulung bola salju dari langit, bukannya menghancurkan dirinya, bahkan akan menumbuhkan dukungan yang semakin besar dan kuar biasa bagi perjuangan dirinya menggerakkan perubahan bagi kemajuan Indonesia ke depan.

Akhirnya, dengan jejak ghirahnya “Revolusi Putih”, HRS-lah sesungguhnya yang akan mengarsiteki perubahan kemajuan Indonesia dengan dua cara: pertama, HRS yang akan memimpinnya sendiri dan atau kedua, nakhoda kepemimpinannya akan diserahkan kepada orang lain.

Pekerjaaan yang sesungguhnya sangat amat berat namun mulia bagi HRS itu tidak menghalanginya jika sampaikan kapanpun dia penjara.

Termasuk, nanti ketika 2024 Indonesia menandai transisi perubahan kepemimpinan Jokowi yang sungguh telah menyengsarakan dan menyesakkan rakyat karena belitan keras kekuasaannya. Waallahu a’lam Bisshawwab

Dairy Sudarman, Pemerhati Politik

Sumber: suaraislam.id 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel