Luthfi Hakim, Pelatih Bola, Dibunuh Aparat Negara

 

Rabu, 14 Juli 2021

Faktakini.info

LUTFI HAKIM, PELATIH BOLA, DIBUNUH APARAT NEGARA

Salah seorang korban yang dibunuh aparat negara adalah Lutfi Hakim. Sama dengan kelima korban lainnya, tidak ada lahan parkir di lingkungan rumah Lutfi Hakim. Satu-satunya tempat parkir yang ada adalah di halaman masjid “Assolihul Hamidiyah”, Jakarta Barat. Rumah milik orangtua Lutfi Hakim tampak sederhana, namun cukup baik dibandingkan rumah korban pembunuhan yang lima orang lainnya. Ada ruang tamu yang luasnya sembilan meter persegi. Tidak ada perabot dan gambar di dinding ruang tamu.

Daenuri (49) sang ayah adalah seorang tukang. Hasilnya, Daenuri dapat “oprak aprik” rumahnya sendiri. Namun, statusnya hanya sebagai buruh harian lepas di proyek bangunan. Daenuri, menerima Rp 130 ribu per-hari bila ada yang mengajaknya bekerja di proyek tertentu. Daenuri, satu dari jutaan buruh lepas di Indonesia.

Pertanyaan yang mengusik, apakah dalam keadaan pandemik Covid 19, pengangguran, dan tiada penghasilan rutin, Daenuri mampu memberikan uang ke Lutfi Hakim untuk membeli pistol? Bagaimana dengan Khadavi yang untuk membeli gorengan saja, kongsi dengan kawannya?

Begitu pula Muhammad Sofiyan, pemilik ijazah paket C SMP--yang ibunya adalah janda--, penjual gorengan, bisa punya pistol? Bagaimana dengan Faiz yang cita-citanya mau membiayai sekolah kedua adiknya, berpikir untuk membeli pistol? Apakah Andi Oktavian, pekerja serabutan yang lebih banyak berperilaku sebagai pekerja sosial sementara ibunya seorang janda, penjaga anak tetangga, mampu membeli pistol? Apalagi Reza, hansip yang tinggal di “kandang burung” dengan ibu seorang janda, penjual nasi, mampu memiliki pistol?

Di sinilah pentingnya Petisi Rakyat yang diterbitkan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam pengawal HRS di KM50 harus dijadikan rujukan Presiden dalam pengambilan kebijakan selanjutnya.

Lutfi Hakim adalah tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Umurnya 25 tahun. Calon istri pun belum ada. Maklum, untuk menghidupi diri sendiri pun, masih belum mampu. Adiknya, Abdul Wahab (17) masih duduk di SMA. Ibunya, Neneng Hayati (47) hanya seorang ibu rumah tangga. Lutfi Hakim biasa menjadi pengemudi ojek online.

Menurut ayahnya, dalam sepekan, paling dua atau tiga kali dapat pelanggan. Hasilnya, tidak seberapa. Apalagi, musim virus Covid 19, hasil ojek online digunakan untuk servis motornya dan keperluan sehari-hari. Pasti jauh dari cukup. Namun, Lutfi Hakim cukup kreatif. Dia mencari tambahan penghasilan yang halal dan thayyiban (baik). 

Dia kreatif dengan cara melatih remaja di lingkungannya untuk main bola. Dia melatih remaja yang berusia 10-15 tahun, dua kali sepekan. Honornya Rp 50 ribu per-latihan. Penghasilan Lutfi Hakim Rp 100 ribu per-pekan atau Rp 400 ribu sebulan. Profesinya ini menjadikan Lutfi Hakim pernah ikut dalam pertandingan bola tingkat kelurahan, kecamatan, bahkan sampai DKI Jakarta Liga lokal.

Pertanyaan serius, apakah pemuda yang aktif di masyarakat serta mendukung program pemerintah di bidang olahraga, dapat menjadi seorang teroris? Apakah dengan penghasilan Rp 400 ribu sebulan, Lutfi dapat membeli pistol seperti yang dituduhkan polisi?

Lutfi Hakim, menurut Daenuri, rajin shalat. Dia juga sopan serta ramah terhadap kawan-kawan dan tetangganya. Daenuri membanggakan perilaku Lutfi Hakim sebagai hasil gemblengannya selama 25 tahun. Daenuri paham, menurut Nabi Muhammad SAW, senyum dan ramah terhadap orang lain adalah ibadah. Berlaku baik dan ramah terhadap tetangga juga merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Maklum, Daenuri pernah mondok di pesantren selama enam tahun. Daenuri, selain tamatan pesantren, aktif di kepengurusan RT. Wajar jika Daenuri memahami hakikat Pancasila dan UUD 45. Daenuri menyadari, sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menunjukkan, Indonesia adalah negara tauhid. Bukan negara kapitalis, apalagi komunis. Daenuri mendidik anak-anaknya rajin shalat dan berperilaku baik karena pasal 29 ayat (2) UUD 45 menyebutkan negara menjamin warga negara untuk memeluk agama dan melaksanakan syariat agamanya.

Daenuri masih ingat WA terakhirnya Lutfi Hakim. Anaknya itu menulis saat berada di markas DPP FPI Jln. Petamburan, yang meminta dirinya selaku orangtua untuk bersikap ridha dan ikhlas. Itulah pesan terakhir Lutfi Hakim sebelum dibunuh aparat negara, 7 Desember 2020, diihari di tol Jakarta-Cikampek, KM50.

Sumber: Buku Putih TP3

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel