(Video) Wajib Nonton! Di ILC Marwan Batubara Bongkar Habis Dugaan Korupsi Ahok



Rabu 27 November 2019

Faktakini.net, Jakarta - Sungguh luar biasa! Tampil di acara ILC di stasiun televisi tvOne, Marwan Batubara membongkar dan menguliti habis rentetan dugaan korupsi Ahok.
Marwan menegaskan dengan rentetan kasus dugaan korupsi Ahok yang begitu banyak ini jelas Ahok tidak qualified untuk menjadi pejabat di BUMN!
Statemen-statemen dan fakta yang dipaparkan oleh Marwan tak mampu dibantah oleh para pembela Ahok.

Beberapa hari sebelumnya Marwan memang telah mengeluarkan press release terkait rencana Rezim penguasa di Indonesia untuk menjadikan Ahok sebagai pejabat tinggi BUMN.

*Press Release*                             

Minggu, 24 November 2019

*Batalkan Rencana Pengangkatan Ahok Sebagai Komisaris Utama Pertamina!*
Oleh: Marwan Batubara, IRESS

Menteri BUMN Erick Thohir telah resmi menunjuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama (Komut) Pertamina (22/11/2019). Ahok akan didampingi Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin selaku Wakil Komisaris Utama Pertamina. Selain Ahok dan Budi Gunadi, Pertamina juga akan memiliki pimpinan baru, yakni Emma Sri Martini selaku Direktur Keuangan Pertamina.

Ahok ditunjuk menjadi  Komut Pertamina sesuai permintaan Presiden Jokowi kepada Menteri BUMN. Penunjukan ini telah menjadi sikap resmi pemerintah sejak Kamis 21 November 2019. Namun sebelum resmi menjadi pejabat penting perusahaan milik negara dan rakyat tersebut, maka sesuai Pasal 27 UU BUMN No.19/2003, pengangkatan Ahok harus disahkan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina.

Berdasarkan pertimbangan aspek-aspek legal-konstitusional, sosial-politik, finansial-ekonomi, dan berbagai kepentingan strategis nasional, rakyat meminta dengan tegas agar Presiden Jokowi segera *membatalkan* rencana pengangkatan Ahok. Dibanding bersikap memaksakan kehendak, pemerintah diminta konsisten menegakkan hukum dan keadilan, menjalankan undang-undang, prinsip-prinsip demokrasi, serta martabat dan harga diri bangsa.

Secara legal-konsitusional, Pertamina adalah perusahaan yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945 untuk mengelola sektor migas dan energi nasional bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Manajemen pengelola BUMN, termasuk komisaris, harus dipilih sesuai kriteria dan kualifikasi yang dipersyaratkan UU BUMN No.19/2003. Pelanggaran terhadap undang-undang ini dapat menggiring Presiden Jokowi diproses sesuai Pasal 7 UUD 1945 tentang pemakzulan!

Pasal 28 UU BUMN No.19/2003 antara lain mensyaratkan komisaris BUMN harus memenuhi kriteria integritas, dedikasi dan pemahaman bidang bisnis BUMN. Faktanya, selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta integritas Ahok sangat bermasalah, terutama karena tersangkut sejumlah kasus dugaan korupsi. Ahok juga tidak layak memimpin BUMN karena telah melanggar prinsip-prinsip good governance, sebab telah menjalankan berbagai program off-budget dalam berbagai proyek Pemprov DKI Jakarta. Sedangkan pengalaman dan pemahaman yang dimiliki sangat tidak memadai untuk menajalankan fungsi sebagai pimpinan di BUMN strategis seperti Pertamina.
*Tegakkan Hukum dan Keadilan*

Pasal 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sedangkan Pasal 27 UUD 1945 menyatakan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tanpa kecuali. Dengan memberi jabatan komisaris kepada Ahok yang tersangkut berbagai kasus dugaan korupsi dan melanggar prinsip GCG, maka pemerintahan Jokowi telah memberi perlakuan istimewa kepada Ahok. Artinya, pemerintah telah melanggar Pasal 1 dan Pasal 27 UUD 1945!

Kasus-kasus dugaan korupsi yang telah dilakukan Ahok, berikut berbagai peraturan yang dilanggar, seperti telah dilaporkan kepada KPK pada 17 Juli 2017, adalah sebagai berikut:

1. *Kasus Rumah Sakit Sumber Waras:* melanggar Pasal 20 Ayat 1 UU BPK No.15/2004; Pasal 13 UU Pengadaan Tanah No.2/2012; UU Keuangan Negara No.17/2003; PP Pengelolaan Barang Negara/Daerah No.27/2014, Perpres Pengadaan Tanah No.71/2012; dan Permendagri Pengelolaan Milik Daerah No.17/2007. Menurut BPK, dugaan kasus korupsi ini berpotensi merugikan negara Rp 191 miliar. Bahkan kerugian negara tersebut bertambah Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sedangkan sisanya telah digelapkan.

2. *Kasus Lahan Taman BMW* : Tanah BMW diklaim Agung Podomoro (AP) yang akan diserahkan pada Pemda DKI sebagai kewajiban, bukanlah milik AP. Lahan berstatus bodong, tidak ada satu dokumen yang secara hukum sah kalau lahan BMW menjadi milik Pemda DKI. Terjadi pemalsuan tandatangan dalam proses pemilikan lahan oleh AP. Pemda DKI telah membuat sertifikat sebagian lahan BMW dengan melanggar hukum, dan telah berperan menjalankan tugas yang harusnya dilakukan oleh AP. Terjadi manipulasi pembuatan sertifikat atas sebagian lahan. Hal ini melanggar PP No.24/1997 dan PMNA No.3/1997, karena tanah yang sedang sengketa tidak bisa disertifikatkan. Berpotensi merugikan Pemda DKI puluhan miliar rupiah.

3. *Kasus Lahan Cengkareng Barat*: Sesuai hasil audit BPK, Pempda DKI Jakarta membeli lahan milik Pemda sendiri dari Toeti Noezlar Soekarno. Kejahatan ini melanggar UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Negara berpotensi dirugikan Rp 668 miliar.

4. *Kasus Dana CSR* : Kasus ini melibatkan Ahok Centre yang dipimpin dan dikelola Ahok bersama tim sukses. Dana CSR diperoleh dari puluhan perusahaan bernilai ratusan miliar Rp, namun tidak dimasukkan dalam APBD DKI Jakarta. Pengelolaan dana CSR ini antara lain melanggar UU No.40/2007 tentang PT, PP No.47/2012 tentang TJSL, Pemern BUMN N0.5/2007 tentang Kemitraan BUMN, PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

5. *Kasus Reklamasi Teluk Jakarta:* melibatkan Ahok sebagai salah satu pelaku utama yang melanggar Pasal 12 UU No.20/2001 tentang Tipikor; Pasal 22 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; melanggar UU No.1/2014 berupa perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir; PP No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;  Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dicabut melalui PP No. 54/2008; melanggar UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan proyek reklamasi dapat merugikan negara puluhan-ratusan triliun rupiah. Ternyata Agus dan KPK double standard. Meskipun fakta-fakta persidangan terhadap M. Sanusi dan Ariesman Wijaya telah membuktikan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, ternyata KPK tidak melanjutkan proses hukum ketiga terduga kruptor tersebut! KPK telah takluk pada tekanan para pendukung Ahok dan oknum-oknum penguasa & taipan.

6. *Kasus Dana*Non Budgeter* :  Praktik dana non-budgeter dilakukan Ahok pada banyak kasus untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dengan dalih memiliki hak diskresi, Ahok membarter pembangunan fasilitas umum dengan penerbitan izin dan penetapan nilai kontribusi proyek reklamasi. Ahok pun menggunakan dana denda pelanggaran proyek properti tertentu guna membangun Simpang Susun Semanggi secara off-budget tanpa keterlibatan DPRD DKI Jakarta. Pembangunan sejumlah sarana di DKI dengan dana non-budgeter ini sering diklaim sebagai langkah inovatif dan keberhasilan Ahok. Namun dibalik klaim dan pencitraan tersebut tersembunyi berbagai tindakan berbau KKN, karena penerapan skema dana non-budgeter melanggar hukum dan prinsip-prinsip good governance. Tindakan serampangan dan sarat KKN ini minimal melanggar ketentuan dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

7. *Kasus Penggusuran Brutal*: Ahok dapat dikategorikan sebagai pejabat publik penggusur paksa paling brutal sepanjang sejarah Indonesia. Ahok menggusur puluhan kampung di Jakarta dengan tiga pola sistemik berupa stigmatisasi, menyatakan tanah yang akan digusur adalah tanah negara, justifikasi menyatakan bahwa penggusuran dilakukan demi pembangunan dan kepentingan umum, dan langkah pamungkas: hancurkan, tanpa musyawarah, ganti rugi, dll. Motif dibalik sebagian besar penggusuran adalah kepentingan bisnis para pengembang. Dengan pembersihan dan penguasaan kawasan kumuh, maka nilai jual properti meningkat. Hasil gusuran dirubah menjadi hunian, ruko atau jalan akses atau taman terbuka. Jalan akses dan ruang terbuka menuju kawasan hunian, apartemen dan area reklamasi akan membuat nilai jual properti meningkat untuk dinikmati para pengembang. Beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok dalam menjalankan kebijakan penggusuran paksa rakyat adalah: Pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28E (1), 28G (1&2) dan 28H (1) UUD 1945; UU No.11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya; UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM; Pasal 13 UU No.2/2002 tentang Kepolisian Negara dan Pasal 6 UU No.34/2004 tentang TNI, yang melibatkan aparat TNI/Polri dalam menggusur rakyat; Melanggar sejumlah UU dan peraturan yang terkait dengan penerapan skema dana non-budgeter seperti diuraikan sebelumnya pada butir 6 di atas.

Selain kasus-kasus KKN yang disebutkan di atas, Ahok juga terlibat kasus-kasus dugaan korupsi sesuai Laporan Audit BPK tanggal 31 Mei 2016. BPK menemukan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sebanyak 15 temuan dengan nilai Rp 374 miliar. 

Ahok juga terlibat kasus pengadaan bus transjakarta senilai Rp 1,2 triliun yang terbukti merugikan negara ratusan miliar rupiah. Bus-bus yang belum sebulan didatangkan dari Cina, sebagian besar berkarat dan rusak, sehingga tidak bisa digunakan. Diduga dalam upaya menghilangkan barang bukti, 18 buah bus telah “dibakar” di pool Rawa Buaya pada September 2015 dan berikutnya pada September 2019, 26 buah bus transjakarta kembali “dibakar” di pool Pondok Cabe.

Ahok juga diduga kasus korupsi pengadaan UPS yang menurut perkiraan Bareskrim Polri negara telah dirugikan sebesar Rp 50 miliar. Polri telah menetapkan dua orang pejabat kepala dinas dan satu orang perusahaan rekanan sebagai tersangka. Ahok telah “dipanggil sebagai saksi” oleh Polri dan mengaku ditanya seputar tanda tangan Sekretaris Daerah DKI Jaya dalam pengadaan UPS. Sangat tidak mungkin jika proyek Pemrov DKI ratusan miliar tanpa sepengetahuan dan persetujuan Ahok!

Dengan banyaknya pelanggaran hukum dan besarnya potensi kerugian negara akibat dugaan korupsi Ahok seperti diuraikan di atas, maka sangat pantas jika Ahok segera ditangkap dan diadili. Pemerintah dan DPR harus mendorong dan menjamin terlaksananya proses hukum dan pengadilan terhadap Ahok. Ahok bukan warga negara istimewa di hadapan hukum untuk dibebaskan dari jerat hukum atas berbagai kasus dugaan korupsi. 

Apalagi malah dipromosi menjadi pimpinan BUMN dengan alasan seperti disampaikan oleh Presiden bahwa Ahok telah teruji dan pekerja keras. Atau seperti diungkap Erick Thohir bahwa Ahok mempunyai track record pendobrak, sosok yang konsisten dan memiliki rekam jejak yang baik. Omong kosong manipulatif ini harus dihentikan.

*Alasan Absurd Lembaga Sesat KPK: Mens Rea!*

Pemerintah pun harus berhenti mengkampanyekan Ahok sebagai orang bersih dengan bersndar pada sikap dan putusan sesat KPK yang menyatakan Ahok tidak terbukti bersalah dalam kasus dugaan korupsi RS Sumber Waras. Faktanya, untuk melindungi Ahok, KPK telah menyatakan Ahok tidak mempunyai niat jahat (mens rea). Padahal bukti-bukti permulaan untuk mengadili Ahok sudah lebih dari cukup, seperti kerugian negara sebesar Rp 191 triliun seusuai laporan audit BPK pada 31 Mei 2016.

Menurut UU No.3/1971 sebuah kasus korupsi harus dilanjutkan ke proses pengadilan jika telah tersedia dua bukti permulaan, yakni misalnya yang pertama ada uang hilang, dan kedua ada orang yang menerima uang tersebut. Bahkan persyaratan tersebut telah lebih dari cukup dengan adanya pelanggaran sekian banyak undang-undang dan peraturan, seperti pembayaran dilakukan pada malam hari, pembayaran dilakukan secara cash, yang menurut aturan berlaku harus melalui transfer, dll. Bagaimana mungkin KPK menyebutkan tidak ditemukan niat jahat? Jelas sekali bahwa KPK telah berperan aktif melindungu Ahok dari jerat hukum.

Pada sisi lain, dikampanyekan pula bahwa audit BPK salah, dan akhirnya auditor kasus RS Sumber Waras tersebut diperiksa oleh aparat hukum. Ternyata demi membela Ahok sang manusia istimewa, pranata dan proses hukum nasional dapat terbolak balik dengan mudah. Padahal selama ini belum pernah ada orang mempersoalkan audit BPK. Jika ada, maka dapat dilakukan uji kebenaran atas data yang dimiliki BPK dengan yang dimiliki Ahok. Namun hal tersebut tidak berani dilakukan!

Menurut ilmu hukum, kalau isu mens rea ingin dicari dan dibuktikan secara objektif, bukanlah dicari pada pikiran/otak atau pada perasaan/hati yang bersangkutan. Hal ini tidak akan ditemukan. Pencarian dan pembuktian tersebut harus dicari pada actus reus. Actus maksudnya acting, tindakan atau delik, sedangkan reus maksudnya rea, yakni jahat atau tindakan jahat. Jika tetap ingin menggunakan alasan mens rea ini, maka KPK hanya bisa menerapkannya kepada *BALITA*  anak di bawah umur 5 tahun, bukan kepada manusia dewasa seperti Ahok! Kalau KPK ingin menipu, dan membohongi rakyat demi melindungi Ahok, pakailah cara yang lebih cerdas dan relevan. Jika alasan memang tidak tersedia, maka segeralah tangkap dan adili Ahok!

Belakangan malah disebar informasi secara sistemik bahwa lembaga dan auditor BPK korup! Ahok dan para pendukungnya menyerang BPK. Kemudian BPK pun akhirnya terjebak pada wacana dan upaya menangkis serangan tentang isu korupnya lembaga tersebut. Bahkan sejumlah pimpinan BPK pun telah mengalami kriminalisasi dan beberapa masalah hukumnya diungkap ke publik.

IRESS pun memperoleh informasi lain bahwa ada petinggi pemerintah yang memanggil pimpinan BPK dan meminta agar kasus dugaan korupsi RS Sumber Waras tersebut tidak dilanjutkan, agar dipeti-eskan, dan dengan begitu, Ahok harus bebas dari proses kasus korupsiRS Sumber Waras. Padahal, berdasar audit BPK, pimpinan BPK tersebut mengatakan bahwa bukti-bukti adanya korupsi kasus RS Sumber Waras sangat valid dan material!

Rakyat, mahasiswa dan ribuan guru besar dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia sangat mengagumi dan telah mendukung KPK secara massif dalam proses perubahan UU KPK No. No.20/2001 tentang Tipikor. Hal tersebut wajar dan dapat dimaklumi. Namun mereka seolah tutup mata karena tertipu atau tidak paham terhadap sikap dan kelakuan KPK dalam melindungi Ahok. 

Padahal, minimal ada 3 komisoner KPK yang mengagumi Ahok. Ahok dianggap seperti utusan Tuhan. Faktanya, ada komisioner KPK, yaitu Laode M Syarif,  yang keluar negeri dan sangat bangga makan bersama dan berfoto bersama Ahok. Bandingkan dengan kasus yang dialami Direktur Penyidikan KPK, Firli Bahuri, bertemu TGB di suatu di tempat umum pada acara GP Anshor. Dia dianggap bersalah secara etika, dan kemudian dihukum. Belakangan Firli terpilih sebagai Ketua KPK.

Kesimpulannya KPK telah melindungi Ahok dengan dalih tidak ada niat jahat. BPK dan auditornya telah dikriminalisasi sebagai kembaga korup yang mempekerjakan auditor korup. Oknum yang sangat tinggi di NKRI telah “memanggil” seorang pimpinan KPK untuk menetralisir kasus korupsi Ahok. Maka KPK dengan resmi dapat menyatakan bahwa Ahok adalah orang bersih. Pernyataan resmi KPK ini lalu disampaikan oleh pemerintah dan para pendukungnya kepada rakyat dan orang-orang di seluruh dunia: bahwa Ahok adalah orang bersih yang tidak mempunyai masalah hukum.

Setelah itu, rakyat diminta untuk menerima kebohongan dan informasi sesat tersebut. Ahok adalah salah satu putra terbaik bangsa yang bersih dan berpresatasi dan sangat layak untuk menduduki posisi pimpinan di BUMN. Siapa saja yang menolak atau mengkritik Ahok dan menolak pengangkatan Ahok, dapat diberi label sebagai orang atau kelompok yang memiliki dendam pribadi terhadap Ahok, berlatar belakang pendukung Aksi 212, gagal move-on, anti keberagaman, intoleran, dsb, dan belakangan bias saja dikriminalisasi dan ditangkap!

Inilah yang terjadi di NKRI tercinta dalam 3-4 tahun terakhir. Gara-gara Ahok dan kepentingan melindungi dan mengunggulkan, serta memberi “tempat yang layak bagi Ahok” (entah karena apa), maka negara dan bangsa yang sebelumnya damai dan tenteram, menjadi saling curiga dan nyaris terbelah. Mengapa pemerintah membiarkan hal ini terus terjadi dan menjadikan NKRI tersandra oleh Ahok dan kepentingan sempit? Pengangkatan Ahok menjadi petinggi BUMN ini kita protes karena menjadi simbol kesewenangwenangan tata kelola BUMN dan tata kelola negara. Karena itu Ahok bukan dipromosi, tetapi harus segera diadili!

Pada awal kasus penistaan agama oleh Ahok mulai membesar sekitar 2016-2017, dalam sebuah video yang IRESS terima, Ketua MUI Pof. Ma’ruf Amin pernah mengatakan bahwa Ahok adalah orang bermasalah yang perlu dihabisi. Kita tidak tahu maksud kata dihabisi yang diucapkan dan juga disaksikan oleh Ustad Yusuf Mansur tersebut. Hal ini dapat diklarifikasi langsung kepada Wapres. Namun yang pasti, Wapres pernah mengatakan secara gamblang siapa Ahok sebenarnya.


Akhirnya keputusan ada di tangan Presiden Jokowi. Presiden tinggal memilih apakah ingin menjadikan negara ini berjalan sesuai hukum, berkeadilan, bermartabat, bebas gonjang-ganjing, damai, demokratis, bersatu, kondusif, saling menghargai atau *berjalan sebaliknya*. Allah SWT dan seluruh rakyat akan menyaksikan. Selain tidak konstitusional, tidak layak secara GCG, pernah dipenjara, terduga terlibat berbagai kasus KKN, Ahok pun merupakan orang yang sarat kontroversi. Ahok telah pernah menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan dan upaya perlindungan terhadap pelanggaran hukum. Kami harap pemerintah tidak memaksakan kehendak dengan tetap melantik Ahok, sehingga dapat menjadi pemicu bagi timbulnya masalah baru bagi NKRI dan Bangsa Indonesia. *Batalkan rencara pengangkatan Ahok sebagai Komut Pertamina SEGERA!* []

 Klik video:



Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel