Dr Habib Hanif Alatas: Pemicu Banjir di Sumatera: Hujan yang Ekstrem atau Kerakusan yang Ekstrem?

 




Ahad, 14 Desember 2025

Faktakini.info

Pemicu Banjir di Sumatera: Hujan yang Ekstrem atau Kerakusan yang Ekstrem?

Oleh : Dr. Muhammad Hanif Alathas, Lc, M.Pd*

Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menelan korban jiwa yang sangat besar. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan jumlah korban jiwa akibat bencana ini mencapai 1.006 jiwa hingga Sabtu (13/12/2025). Rinciannya adalah di Aceh sebanyak 414 orang, Provinsi Sumatera Utara sebanyak 349 orang, dan Provinsi Sumatera Barat sebanyak 242 jiwa.

"Untuk data hilang kini menjadi 217 nama dari 226 nama. Data kebencanaan tersebut ada yang berkurang dan ada yang bertambah. Dinamika data tersebut karena ada validasi dan identifikasi di lapangan," kata Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari di Jakarta, dikutip dari Antara, Minggu (14/12/2025). Sedangkan jumlah pengungsi korban banjir dan longsor di Provinsi Aceh terus berkurang, dari 817 ribu orang menjadi 586 ribu orang.

Narasi yang Menyesatkan: Menyalahkan Hujan

Menyikapi bencana dahsyat ini, sebagian pejabat dengan mudahnya menyalahkan curah hujan yang tinggi sebagai penyebab utama. Narasi "hujan ekstrem" pun menjadi kambing hitam yang mengalihkan perhatian dari akar permasalahan yang sebenarnya. Bahkan BMKG mencatat curah hujan di beberapa wilayah Sumatra Utara mencapai lebih dari 300 mm per hari, dipengaruhi oleh Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka. Namun, benarkah hujan yang harus dipersalahkan?

Al-Quran Membantah: Hujan Menghidupkan bukan Mematikan

Al-Quran dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Allah Ta'ala berfirman:

**﴿وَٱلَّذِی نَزَّلَ مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءَۢ بِقَدَرࣲ فَأَنشَرۡنَا بِهِۦ بَلۡدَةࣰ مَّیۡتࣰاۚ كَذَٰلِكَ تُخۡرَجُونَ﴾** [الزخرف: ١١]

"Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur)."

Para ulama menjelaskan makna "بِقَدَرٍ" (menurut kadar) dalam ayat ini dengan sangat jelas. Tafsir Jalalain menyebutkan bahwa air diturunkan sesuai kadar kebutuhan manusia, bukan sebagai banjir besar yang menghancurkan. Tafsir Al-Qurtubi menegaskan bahwa takaran tersebut adalah ukuran yang membawa kemaslahatan, karena jika berlebihan justru akan membinasakan. Sementara Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa takaran hujan tersebut memastikan manusia selamat dari bahaya dan mendapat manfaat untuk bercocok tanam, menanam pohon, dan memenuhi kebutuhan air.

Allah juga berfirman:

**﴿وَأَنزَلۡنَا مِنَ ٱلسَّمَاۤءِ مَاۤءَۢ بِقَدَرࣲ فَأَسۡكَنَّـٰهُ فِی ٱلۡأَرۡضِۖ وَإِنَّا عَلَىٰ ذَهَابِۭ بِهِۦ لَقَـٰدِرُونَ﴾** [المؤمنون: ١٨]

"Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa menghilangkannya."

Tafsir At-Tahrir wat-Tanwir menjelaskan bahwa air hujan yang diturunkan Allah tersimpan di bumi dalam dua bentuk: penyimpanan jangka pendek di permukaan tanah yang menumbuhkan tanaman dan diserap akar pepohonan, serta penyimpanan jangka panjang yang meresap ke dalam tanah dan menjadi mata air serta sumur. Ini adalah sistem sempurna yang dirancang Allah untuk keberlangsungan kehidupan.

Jelas sekali bahwa karakteristik hujan yang diturunkan Allah adalah untuk menghidupkan negeri yang mati, bukan untuk mematikan yang hidup. Hujan adalah presisi ilahi, rahmat yang terukur dengan sempurna.

Pakar Membenarkan: Hujan Hanya Pemicu, Bukan Penyebab Utama

Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS Universitas Gadjah Mada (UGM), menegaskan bahwa Cuaca ekstrem hanyalah pemicu. Kerusakan hutan di hulu membuat dampaknya jauh lebih merusak, ujarnya di Kampus UGM, Senin (1/12).

Hatma menjelaskan bahwa hutan di wilayah hulu DAS berfungsi seperti spons raksasa. Tajuk dan vegetasi hutan mampu menahan 15–35 persen air hujan (intersepsi), sementara tanah hutan yang sehat dapat menyerap hingga 55 persen air melalui infiltrasi. Dengan demikian, limpasan permukaan yang langsung mengalir ke sungai hanya sekitar 10–20 persen. Selain itu, proses evapotranspirasi hutan dapat mengembalikan 25–40 persen air hujan ke atmosfer, sehingga keseimbangan siklus air tetap terjaga.

"Hutan mencegah banjir saat musim hujan dan menjaga ketersediaan air saat musim kemarau. Jika hutan rusak, seluruh fungsi ini berpotensi hilang," tegasnya. 

Inil selaras dengan yang dijelaskan oleh para ulama ketika menafsirkan bahwa Allah menjadikan air hujan "menetap di bumi" sebagai sistem penyimpanan alami yang diciptakan Allah melalui hutan dan tanah yang sehat.

Lalu Mengapa Hujan Kini Mematikan?

Jika memang hujan yang Allah turunkan adalah rahmat yang terukur, lalu mengapa kini justru mematikan ribuan jiwa? Jawabannya ada pada firman Allah Ta'ala:

**﴿ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِی ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَیۡدِی ٱلنَّاسِ لِیُذِیقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِی عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمۡ یَرۡجِعُونَ﴾** [الروم: ٤١]

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

Pakar UGM menegaskan: "Banjir bandang Sumatra adalah akumulasi 'dosa ekologis' di hulu DAS. Cuaca ekstrem hanya pemicu, sementara kerusakan lingkungan menjadi faktor utama yang memperbesar dampaknya."

Fakta-fakta kerusakan hutan di Sumatra sungguh mengejutkan. Di Aceh, meski sekitar 59 persen wilayahnya masih berupa hutan alam pada 2020, provinsi ini kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan dalam periode 1990–2020.

Kondisi lebih memprihatinkan terjadi di Sumatra Utara. Tutupan hutan tersisa hanya sekitar 29 persen dari luas daratan. Hutan-hutan tersebut terfragmentasi di Pegunungan Bukit Barisan dan kawasan konservasi seperti Batang Toru, yang kini tertekan oleh penebangan liar, pembukaan kebun, serta pertambangan.

Sementara itu, Sumatra Barat masih memiliki sekitar 54 persen tutupan hutan, namun laju deforestasinya termasuk tinggi. Dalam periode 2001–2024, provinsi ini kehilangan sekitar 740 ribu hektare tutupan pohon. Banyak sisa hutan berada di lereng curam Bukit Barisan, sehingga pengurangannya meningkatkan risiko longsor dan banjir bandang.

Pemandangan yang paling menelanjangi kebenaran adalah jutaan kubik kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir. Kayu-kayu besar ini adalah bukti nyata bahwa musibah ini bukan diakibatkan oleh "hujan yang ekstrem", tetapi penyebab utamanya adalah kerakusan yang ekstrem dari sebagian pengusaha yang memperkaya diri dengan cara menggunduli hutan, sehingga berdampak buruk kepada jutaan warga.

Hutan yang seharusnya menjadi benteng alami penahan air hujan, kini telah lenyap karena eksploitasi berlebihan. Tanah yang seharusnya menyerap air seperti spons raksasa, kini menjadi permukaan keras yang langsung mengalirkan air ke pemukiman. Inilah kerusakan di darat yang dimaksud dalam ayat Al-Quran di atas—kerusakan yang diciptakan oleh tangan-tangan manusia yang serakah.

Solusi: Kembali ke Petunjuk Rasulullah ﷺ

Solusi dari bencana ini sejatinya sudah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ lebih dari 14 abad yang lalu. Nabi kita ﷺ mendorong kita untuk memakmurkan bumi dengan menanam, bukan dengan merusak tanaman :

**"مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا، أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا، فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلاَّ كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ"** (متفق عليه)

"Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menanam pohon, lalu burung atau manusia atau binatang memakannya, melainkan ia mendapat pahala sedekah karenanya."

Bahkan dalam situasi kiamat sekalipun, Rasulullah ﷺ tetap memerintahkan penanaman pohon:

**"إِنْ قَامَتْ عَلَى أَحَدِكُمُ الْقِيَامَةُ، وَفِي يَدِهِ فَسِيلَةٌ فَلْيَغْرِسْهَا"** (رواه الإمام أحمد بإسناد صحيح)

"Jika hari kiamat telah tegak, sedangkan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon kurma, maka hendaklah ia menanamnya."

Sebaliknya, Rasulullah ﷺ memperingatkan keras terhadap perusakan pohon. Pengrusakan pohon-pohon umum adalah pengrusakan terhadap kepemilikan publik dan termasuk dalam ancaman hadits:

**"مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ"** (رواه أبوداود)

"Barangsiapa menebang pohon bidara (tanpa hak), Allah akan menjungkirkan kepalanya ke dalam neraka."

Kesimpulan

Sudah saatnya kita jujur pada diri sendiri. Bencana di Sumatera bukan karena hujan yang ekstrem, tetapi karena kerakusan yang ekstrem. Allah telah menurunkan hujan dengan takaran yang sempurna, tetapi tangan-tangan manusia yang serakah telah merusak sistem alami yang Allah ciptakan, sistem yang bahkan dikonfirmasi oleh sains modern melalui penelitian hidrologi hutan.

Dalam 30 tahun terakhir, Sumatra telah kehilangan jutaan hektare hutan. Aceh kehilangan 700 ribu hektare (1990–2020), Sumatra Barat kehilangan 740 ribu hektare (2001–2024), dan Sumatra Utara kini hanya memiliki 29 persen tutupan hutan. Angka-angka ini adalah catatan "dosa ekologis" yang kini ditagih dengan nyawa ribuan jiwa.

Solusinya bukan hanya infrastruktur fisik atau teknologi canggih, tetapi kembali kepada petunjuk Allah dan Rasul-Nya: memakmurkan bumi dengan menanam, bukan menggundulinya. Hanya dengan kembali ke jalan yang benar, kita bisa berharap bencana serupa tidak terulang di masa depan. Jika penggundulan terus menggila dan kita tidak berebenah diri, lantas bagaimana nasib anak cucu kita di masa mendatang ? Wallahu Ta'ala a'lam.

*Penulis adalah Ketua Umum HRS Center dan Sekertasi Majlis Syuro DPP FPI