Yani “Hagler” Dokolamo: Dari Tukang Becak ke Ring Dunia – Kisah Petinju dengan Semangat Tak Pernah Padam
Jum'at, 7 November 2025
Faktakini.info
Yani “Hagler” Dokolamo: Dari Tukang Becak ke Ring Dunia – Kisah Petinju dengan Semangat Tak Pernah Padam
Yani “Hagler” Dokolamo bukan sekadar nama dalam dunia tinju Indonesia — ia adalah simbol perjuangan, keberanian, dan mimpi besar yang lahir dari jalanan. Terlahir dari kehidupan sederhana sebagai tukang becak dan musisi jalanan, Yani membuktikan bahwa tekad dan kerja keras bisa menembus batas nasib dan mengubah arah hidup seseorang.
Lahir di Jayapura, 14 April 1968, dan besar di Malang, Yani memiliki darah Maluku dari sang ayah dan Madura dari sang ibu. Sejak kecil, bakat olahraganya sudah terlihat — ia pernah menjadi juara bulutangkis di sekolah, sebelum akhirnya menemukan panggilan sejatinya di dunia tinju.
Perjalanan karier tinjunya dimulai ketika Didik Mulyadi, mantan juara Indonesia kelas bulu yunior tahun 1981, menemukan bakat besar dalam diri Yani. Ia kemudian diserahkan ke tangan pelatih legendaris almarhum Setijadi Laksono, dan melalui Sawunggaling Boxing Camp Surabaya, nama Yani Hagler mulai bersinar di kancah nasional.
Debutnya mencuri perhatian publik. Ia menumbangkan Iksan, petinju kawakan dari Srimulat Surabaya, dan langsung dinobatkan sebagai petinju harapan kelas terbang yunior 49 kilogram. Tak berhenti di situ, Yani membalas kekalahannya dari “Little Pono” dengan KO di ronde kelima, lalu menundukkan Bristol Simangunsong dari Garuda Jaya. Dari tujuh pertarungan awalnya, hanya satu yang berakhir imbang — menghadapi rekan sesama sasana, Wongso Indrajit, di Porong.
Bayarannya saat itu hanya Rp5.000 per ronde, namun semangatnya tak pernah padam. Ia tahu setiap pukulan, setiap ronde, adalah langkah menuju mimpi yang lebih besar: menjadi juara nasional, bahkan menembus kancah dunia.
Mimpi itu semakin dekat ketika promotor Boy Bolang bersama Dimas Wahab (tokoh sepak bola nasional) datang langsung ke Sawunggaling Boxing Camp, menawarkan kontrak pertandingan besar — kejuaraan dunia melawan juara IBF kelas terbang yunior, Dodie Boy Penalosa, asal Filipina.
Laga bersejarah itu digelar pada 12 Oktober 1985, dengan bayaran luar biasa untuk masa itu — Rp40 juta. Yani naik ring dengan kepala gundul, meniru idolanya Marvin Hagler, penuh semangat membawa harapan bangsa. Namun takdir berkata lain — tiga kali knockdown di ronde ketiga membuatnya harus menyerah TKO. Meski kalah, keberaniannya membuat publik Indonesia berdecak kagum.
Setelah itu, Yani sempat beberapa kali naik ring sebelum akhirnya gantung sarung tinju. Namun dedikasinya untuk dunia olahraga tak berhenti di situ. Ia beralih menjadi pelatih tinju, membimbing generasi muda hingga tahun 2019, menyalurkan semangat dan ilmu yang pernah menuntunnya dari jalanan ke panggung dunia.
Kini, Yani “Hagler” Dokolamo tetap berkarya dengan caranya sendiri — bukan lagi di ring tinju, tapi di bengkel kayu, merangkai gitar akustik dengan tangannya sendiri di Pujon, Malang, Jawa Timur.
Dari becak ke ring dunia, dari dentuman pukulan ke denting senar gitar, kisah hidup Yani Hagler Dokolamo adakah bukti nyata bahwa kehidupan bukan hanya tentang menang atau kalah, tapi tentang terus berjuang, beradaptasi, dan memberi makna pada setiap langkah.
