Mengapa Anak Ulama, Santri Memilih Komunisme? Sebuah Kajian Politik Islam
Sabtu, 4 Oktober 2025
Faktakini.info
Mengapa Anak Ulama, Santri Memilih Komunisme? Sebuah Kajian Politik Islam
oleh: Nunung Kaniawati
Fenomena tokoh-tokoh komunis Indonesia yang justru berasal dari keluarga Ulama, santri atau lulusan sekolah pendidikan Al Qur’an, sering dipahami secara simplistis: seolah mereka murtad dari ajaran agama. Padahal faktanya lebih kompleks dan ideologis. Mereka tidak meninggalkan Islam karena membencinya, tetapi karena tidak menemukan Islam hadir sebagai kekuatan perjuangan sosial, ekonomi, dan politik bernegara atau bentuk kekecewaan terhadap praktik keagamaan yang dianggap tidak menjawab realitas sosial dan politik dan praktek bernegara.
Pada masa kolonial dan awal abad ke-20, Islam lebih sering diajarkan sebagai ritual dan akhlak pribadi, bukan sebagai sistem perjuangan. Di ruang kosong inilah ideologi kiri, khususnya sosialisme dan komunisme, mendapat tempat. Mereka datang dengan bahasa yang konkret: soal penindasan, kapitalisme, kemiskinan, dan revolusi sosial.
Islam Ditinggalkan Bukan Karena Ajarannya, Tapi Karena Ketidakhadiran Politiknya
Banyak anak ulama dan lulusan pesantren yang hafal Qur’an, tetapi:
1. Tidak melihat ulama bicara struktur negara dan ekonomi,
2. Tidak menemukan keberanian politik dalam dakwah,
3. Tidak diperkenalkan pada Islam sebagai sistem kekuasaan dan keadilan.
Islam dipahami sebagai amal individu, bukan gerakan sosial. Sementara komunisme menawarkan:
√ Analisis penderitaan rakyat,
√ Program perjuangan kelas,
√ Organisasi massa,
√ Semangat anti-penjajahan.
Karena itu, mereka melihat logika perjuangan lebih hidup di ideologi kiri dibanding di mimbar-mimbar keagamaan.
Taklid, Formalisme, dan Absennya Visi Gerakan
Realitas umat saat itu memperkuat kekecewaan:
1. Taklid tanpa pemikiran: Banyak pengikut ulama yang hanya menerima tanpa mengkritisi, tanpa visi politik.
2. Ulama apolitis: Sebagian ulama menolak bicara negara, kekuasaan, atau ekonomi karena dianggap “urusan dunia”.
3. Dakwah tanpa struktur kekuasaan: Islam berhenti pada syiar, tapi tidak menyentuh strategi membangun negara.
Di titik inilah, Islam tampak tidak siap menjadi ideologi perjuangan, meskipun Al-Qur’an sarat ayat keadilan sosial, pembelaan terhadap mustadh’afin, dan perintah melawan kezhaliman.
Cokroaminoto Membaca Masalah Ini Lebih Awal
H.O.S. Cokroaminoto, guru besar dari Soekarno, Musso, Alimin, Tan Malaka, dan SM. Kartosuwiryo, melihat bahaya besar jika Islam menjauh dari politik. Ia mengingatkan:
“Barang siapa hendak membangun negara tanpa politik, sama saja ingin membuat tubuh tanpa kepala.”
Pernyataan ini adalah kritik langsung terhadap:
√ Ulama yang hanya mengurus ibadah tanpa strategi kekuasaan,
√ Umat yang hanya sibuk mengaji tanpa menyusun perlawanan,
√ Gerakan Islam yang tidak menguasai negara, ekonomi, dan organisasi.
Cokroaminoto sadar: jika Islam tidak memimpin arah perjuangan, ideologi lain akan mengisinya
Itulah yang terjadi saat sebagian santri dan anak ulama hijrah ke komunisme. Mereka mencari “kepala perjuangan”, karena tubuh umat Islam saat itu hanya berisi massa, bukan kepemimpinan politik.
Tokoh Komunis dari Latar Islam: Paradoks yang Bisa Dijelaskan
Sejumlah nama besar komunis berasal dari kultur Islam:
Haji Misbach (santri Solo) yang awalnya membela Islam melawan kapitalisme, lalu bergabung dalam PKI karena melihat Islam tidak diorganisir secara revolusioner.
Tan Malaka, anak keluarga religius, yang kecewa Islam tidak tampil sebagai kekuatan politik pembebas.
Semaun, Darsono, Musso, Alimin, banyak yang pernah mengenyam pendidikan Islam.
begitupula DN. Aidit, anak ulama, santri mengaji, menjadi tokoh revolusioner 1965
Mereka bukan berpindah karena Islam kurang ajaran, tetapi karena umat gagal menerjemahkan Islam sebagai ide pembebasan.
Politik sebagai Jalan Iman, Bukan Pengkhianatan
Cokroaminoto tidak melihat politik sebagai kekotoran, tapi sebagai instrumen dakwah dan pembebasan. Bersama Sarekat Islam, ia membangun Islam:
√ sebagai kekuatan massa,
√ sebagai kekuatan ekonomi,
√ dan sebagai pelaku yang bertanggungjawab dalam perebutan kekuasaan kolonial.
Baginya, agama tanpa politik adalah tubuh tanpa kepala—hidup tapi lumpuh.
Jalan Keluar: Islam Harus Menjadi Ideologi Perjuangan
Agar umat tidak kehilangan generasi kritis ke ideologi lain, maka Islam harus:
✅ menampilkan diri sebagai gerakan pembebasan sosial;
✅ melahirkan ulama yang berpikir negara, bukan hanya ibadah;
✅ mengorganisasi umat dengan strategi kekuasaan;
✅ menghidupkan ayat-ayat keadilan dan perjuangan secara praksis.
Karena itu, betapa relevannya peringatan Cokroaminoto:
Barang siapa ingin mendirikan negara tanpa politik, sama saja ingin membuat tubuh tanpa kepala.”
jika Islam tidak punya kepala politik, maka tubuhnya akan dipimipin ideologi lain.
