Haul Kiai Muhammad Cholil Tahun 1938: Jejak Tangan Seorang Baalawi di Bangkalan
Haul Kiai Muhammad Cholil Tahun 1938: Jejak Tangan Seorang Baalawi di Bangkalan
Oleh: Tamzilul Furqon
Semua bermula dari status Facebook Lora Muhammad Ismael Al Kholile yang saya tulis ulang karena saya merasa isinya penting untuk diketahui lebih luas. Status itu mengisahkan tentang rapat khusus pendiri dan pengurus awal Nahdlatul Ulama yang diadakan di kediaman menantu Syaikhona Kholil. Saya tulis ulang dan saya bagikan ke beberapa grup—bukan semata-mata untuk viral, tapi agar sejarah semacam ini tidak hilang begitu saja ditelan kabar-kabar receh.
Tak lama setelah itu, saya mendapat pesan pribadi via WhatsApp dari seseorang yang tak saya duga. Beliau adalah Ibu Anita Farida, cicit langsung dari salah seorang habaib Baalawi yang hadir dalam pertemuan khusus pendiri NU tersebut—kakeknya sendiri, yang menjadi saksi sejarah hidup. Kami pun berbincang cukup intens. Dari tangan beliaulah saya akhirnya menerima sebuah lembaran ketikan tua, yang ternyata merupakan dokumentasi asli Haul Kiai Muhammad Cholil Bangkalan tahun 1938.
Dokumen itu ternyata ditulis oleh salah seorang dzurriyah Baalawi yang tinggal di Bangkalan. Ia hadir langsung dalam acara haul itu dan mencatat seluruh peristiwa dengan cermat dan rapi, sesuai gaya penulisan resmi masa Hindia Belanda. Maka, tulisan ini adalah bentuk ikhtiar saya menghidupkan kembali catatan itu—mengubahnya ke ejaan modern, merangkum isi pentingnya, dan menuturkannya agar bisa dibaca siapa saja, khususnya generasi muda hari ini.
---
Apa yang Tertulis dalam Lembaran Itu?
Laporan resmi tersebut diberi judul:
“Verslag Haul Almarhum Kiai Muhammad Cholil pada malam Jumat, tanggal 16 Agustus 1357 H (17 Desember 1938 M), bertempat di Masjid Demak Bangkalan.”
Berikut adalah beberapa poin penting yang saya temukan:
1. Dihadiri Ribuan Jamaah dari Penjuru Madura
Lebih dari 3.000 orang menghadiri haul tersebut. Para peziarah datang dari Bangkalan, Pamekasan, Sampang, bahkan Sumenep. Ada yang naik mobil, sepeda motor, bahkan kapal dari pesisir. Rombongan dari Sampang berangkat sejak pukul 5 pagi dan tiba menjelang maghrib. Ini bukan acara kecil. Ini pertemuan akbar lintas daerah.
2. Diselenggarakan oleh Panitia Resmi (Comité Hoel)
Haul ini digelar oleh panitia resmi—Comité Hoel. Mereka mengundang tokoh-tokoh penting: bupati, ketua majelis, serta ulama dari berbagai daerah. Ini membuktikan bahwa haul saat itu bukan hanya urusan spiritual, tapi juga sosial-politik.
3. Peran Aktif Para Ulama dan Habaib
Tertulis nama-nama penting yang terlibat:
KH H. Achmad Djazuli yang membacakan manaqib.
H. Syaikh Achmad Djosoeri selaku wakil ketua panitia.
H. Siddiq dari Sampang yang hadir dan menyumbang kontribusi.
Dan inilah poin yang menggetarkan hati saya: salah satu penulis dan peserta haul adalah seorang Baalawi, keturunan Rasulullah, yang dengan tulus mencatat jalannya acara untuk disimpan dan diwariskan.
4. Kehadiran Tokoh Nasional dan Telegram dari Batavia
Laporan menyebut ada kiriman telegram dari organisasi besar di Batavia (Jakarta), yakni Hoofdbestuur Arrabittel-Alasrijah Batavi. Artinya, gaung haul ini terdengar hingga ke pusat kekuasaan kala itu.
5. Bukti Kecintaan dan Keteladanan
Yang paling mengharukan adalah semangat dokumentasi dari si penulis. Ia hadir, mencatat, dan menulis bukan untuk pujian, tapi untuk warisan. Hari ini, saya menjadi salah satu penerima manfaat dari dedikasi itu.
---
Kembali ke Status Lora Muhammad Ismael…
Saya merasa semua ini bukan kebetulan. Status Lora Muhammad Ismael yang saya tulis ulang ternyata membuka pintu tak terduga. Saya tidak hanya menuliskan ulang narasi sejarah, tapi juga dipertemukan langsung dengan cicit dari sosok Baalawi yang terlibat dalam sejarah NU dan haul Kiai Cholil. Saya mencatat ini bukan untuk menyombongkan pertemuan, tapi untuk menyampaikan bahwa—kadang sejarah hadir bukan di museum, tapi lewat percakapan hangat dan secarik kertas tua.
---
Pesan untuk Kita Hari Ini
Kalau generasi terdahulu bisa menghadiri haul naik perahu dari Sampang ke Bangkalan demi menghormati ulama, masa kita cuma bisa scroll dan skip begitu saja saat ada kisah tentang Syaikhona Kholil?
Kalau seorang habib Baalawi bisa mencatat haul secara lengkap dan teliti di tahun 1938, masa kita yang punya HP dan Google tak bisa menyimpan jejak sejarah dengan lebih layak?
Tulisan ini adalah undangan—bukan sekadar untuk mengenang, tapi untuk menyambung. Menyambung sanad perjuangan, menyambung silaturahmi, menyambung sejarah.
Dan mungkin, seperti saya, Anda juga akan menemukan lembaran tua yang membawa hikmah baru, jika kita mau membuka mata dan menyambut cerita.
---
> "Kadang yang paling kuat bukan suara, tapi tulisan. Dan tulisan tangan seorang Baalawi dari tahun 1938 ini, membuktikannya."