"Haji di Tarim”, Sindiran Cerdas Lora Ismael, dan Otak yang Diperbudak Kebencian

 


Selasa, 5 Agustus 2025

Faktakini.info

“Haji di Tarim”, Sindiran Cerdas Lora Ismael, dan Otak yang Diperbudak Kebencian

Tafsir Status: Lora Muhammad Ismael Al Kholilie 

Saya membaca satu status pendek tapi memukul—menohok, bahkan menertawakan—tanpa kehilangan santun. Ditulis oleh Lora Muhammad Ismael Al-Kholile, cucu ulama besar dari Kholil Bangkalan, seorang muda Nahdliyyin yang sedang belajar di Yaman. Status itu berbunyi seperti ini:

"Haji di Tarim, Thowaf di Makam Nabi Hud dll adalah narasi-framing yang biasa digunakan oleh para Salafi-Wahhabi Yaman untuk menyerang tradisi Ziarah kubur Awliya’ dan Anbiya’ yang dilakukan Aswaja di sana..."

Kalimat pembukanya saja sudah bikin saya tersenyum kecut—sekaligus bangga. Karena dalam satu tarikan napas, ia berhasil menyindir dua pihak sekaligus: kaum Wahhabi di Yaman dan “ustaz lokal” yang ikut-ikutan menjelekkan Ba’alawi dengan mencomot potongan narasi itu tanpa tahu asal-muasalnya.

Antara Narasi dan Paranoia

Di Status status saya yang menulis soal pembelaan terhadap Sadaah Ba’alawi. Komentar yang masuk beragam, mulai dari yang mengapresiasi, membantah, sampai yang menyentil hal-hal aneh: seperti tuduhan bahwa para Habaib itu tidak pernah haji ke Makkah tapi cukup “haji di Tarim”, bahkan “thowaf di kuburan Nabi Hud”. Saya kira saya sedang membaca parodi, ternyata itu serius disampaikan oleh orang yang mengaku berilmu.

Status Lora Ismael ini menjawab sekaligus menyentil, bahwa di Yaman sendiri tuduhan semacam itu hanyalah framing murahan dari kelompok Salafi yang memusuhi para peziarah. Dan lucunya, di Indonesia, framing murahan itu malah didaur ulang oleh beberapa orang yang berpakaian seperti kiai dan bertutur layaknya ustaz, tapi tak pernah menyempatkan diri untuk tabayyun.

Logika yang Hancur oleh Kebencian

Lora Ismael menulis dengan nada sarkasme halus:

"...siapapun yang mau berpikir (dikiittt aja, jangan banyak-banyak) akan paham bahwa itu adalah paket Umroh plus Ziarah ke Tarim, tapi begitulah otak yang sudah tertutup dengan kebencian..."

Saya tak bisa menahan tawa. Karena memang, begitu banyak orang di negeri ini yang membaca brosur "Umroh + Ziarah ke Tarim" lalu menyimpulkan "berarti umrohnya ke Tarim dong, bukan ke Makkah?"

Astaga. Kalau logika seperti ini dipertahankan, maka besok-besok akan ada tuduhan:

“Haji di Jawa”,

“Thowaf di makam Sunan Ampel”,

“Sa’i dari makam Sunan Kalijaga ke makam Sunan Bonang...”

Dan semua itu tentu salah siapa? Salah akal yang tak diberi kerja.

Mendaur Ulang Hoaks dan Menggadaikan Akal

Yang menyedihkan, narasi-narasi ngawur ini digunakan oleh sebagian oknum sebagai bahan serangan terhadap Ba’alawi. Padahal Ba’alawi itu bukan sekte asing yang ingin menguasai Nusantara. Mereka bagian dari sejarah penyebaran Islam di Indonesia, sejak abad ke-13, jauh sebelum penjajah menjejakkan kaki.

Tapi karena mereka tidak “sejalan politik” dengan kelompok tertentu, atau tidak menguntungkan “narasi pasar sertifikat nasab”, maka dibuatlah tuduhan demi tuduhan. Dan bila tak laku dengan nalar, dijual pakai bumbu dusta.

Seperti kata Lora Ismael, “Allahul Musta’an.”

Terakhir: Cerdaslah Sebelum Membenci

Boleh saja berbeda pendapat, boleh tidak suka. Tapi jangan bodoh karena benci. Kalau ingin bantah Ba’alawi, silakan. Tapi siapkan ilmu, bukan emosi. Kalau ingin meluruskan sejarah, mari duduk bersama, bukan mengarang narasi.

Dan sebelum ikut menyebar cerita “Haji di Tarim” atau “Towaf di kuburan”, cobalah belajar geografi sedikit. Tarim itu kota di Yaman, bukan Makkah. Yang ke sana itu peziarah, bukan jamaah haji pengganti.

Tapi ya, seperti kata Lora Ismael: berpikir dikit aja, jangan banyak-banyak.