Gimana Rasanya Jadi Londo Ireng ?

 


Sabtu, 16 Agustus 2025

Faktakini.info

Gimana Rasanya Jadi Londo Ireng ? 

Bagi sebagian pribumi di masa kolonial, menjadi Londo Ireng pribumi berseragam Belanda adalah pilihan yang dianggap aman dan menguntungkan. Gaji lancar, makan terjamin, seragam rapi, dan keluarga hidup tanpa kekurangan. Lawan yang mereka hadapi? Ironisnya, rakyat mereka sendiri. Tugas mereka memadamkan perlawanan, menjaga “ketertiban” yang sesungguhnya berarti memastikan rakyat tetap tunduk pada tuannya di Batavia atau Den Haag.

Di sisi lain, ada jalan yang jauh berbeda: menjadi pejuang kemerdekaan. Tak ada gaji, tak ada jaminan hidup, tidur di hutan, makan seadanya, diburu tiap hari. Risiko mati lebih besar daripada peluang menang. Tapi di hati mereka ada api keyakinan bahwa kemerdekaan layak dibayar dengan nyawa.

Selama lebih dari seabad, Belanda terus merekrut pribumi untuk mengisi pasukan kolonialnya. KNIL dipenuhi wajah-wajah dari Maluku, Manado, Timor, Jawa, Bugis semua saudara sebangsa. Mereka dikerahkan dalam Perang Aceh, Perang Banjar, Perang Bone, sampai Perang Diponegoro. Faktanya, di banyak pertempuran, lebih banyak pribumi yang menembak pribumi daripada orang Belanda yang turun tangan langsung. 

Pada bulan Desember 1941, pasukan Belanda di Indonesia berjumlah sekitar 85.000 personel: 28.000 orang di antaranya adalah pribumi.

Yang aneh, ketika Jepang kalah dan kabar kemerdekaan RI bergema, sebagian mantan KNIL mendadak ikut arus. Mereka “fomo” kemerdekaan. Seragam kolonial dilepas, lambang Belanda ditanggalkan, dan tiba-tiba mereka mengaku sebagai pejuang Republik. Ada yang bahkan kelak diangkat sebagai pahlawan, meski jejak mereka di masa lalu pernah menjadi tangan besi kolonial.

Ironinya, para santri dan pemuda Islam yang dulu tergabung dalam Laskar Sabilillah atau Hizbullah yang berjuang mati-matian demi tegaknya kemerdekaan di kemudian hari justru sering dicap ekstremis, radikal, bahkan teroris. Padahal darah merekalah yang mengalir di tanah kemerdekaan ini.

Terlepas dari semua ironi sejarah itu, pola yang sama masih kita lihat hari ini.

Ada rakyat yang rela mati-matian melindungi pejabat, menjaga kursi kekuasaan, bahkan memukul rakyat lain yang hanya menuntut haknya.

Bedanya, dulu mereka mengenakan seragam Belanda, sekarang seragamnya buatan dalam negeri.

Benderanya berubah, tuannya berganti, tapi wataknya sama: menggebuk rakyat demi kekuasaan.

Sejarah ternyata bukan sekadar pelajaran di buku sekolah ia adalah cermin.

Dan cermin itu sedang menunjukkan bahwa kita sedang mengulang bab yang sama, hanya dengan kostum dan tokoh berbeda.