Dituduh Antek Belanda, Lalu Lupa Siapa yang Bela Islam dengan Pena: Membela Habib Usman bin Yahya

 



Sabtu, 2 Agustus 2025

Faktakini.info

🕌 ""Dituduh Antek Belanda, Lalu Lupa Siapa yang Bela Islam dengan Pena: Membela Habib Usman bin Yahya"

Di tengah upaya sebagian kalangan untuk menggugat keberadaan para Habaib dalam sejarah bangsa ini, nama-nama besar seperti Habib Usman bin Yahya pun tak luput dari serangan. “Bagaimana dengan Mufti Batavia itu? Bukankah dia antek Belanda?” Begitu kira-kira tudingan yang dilempar—tanpa nalar, tanpa konteks, dan seringkali tanpa literasi yang layak.

Pertanyaan seperti itu biasanya bukan muncul dari keingintahuan tulus, tapi dari dorongan membantah keberadaan sejarah kaum Ba’alawi—seolah kehadiran mereka dalam tubuh umat Islam Nusantara hanya bisa diterima jika dikaitkan dengan dosa kolonialisme. Ini bukan kritik objektif, tapi upaya pembunuhan karakter berbasis keturunan.

Padahal dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menegaskan:

Banyak peran besar habaib di bumi Nusantara yang memang tidak selalu tertulis di lembaran sejarah negara. Bukan karena mereka tak berbuat, melainkan karena mereka tak suka disanjung. Banyak dari mereka yang memilih jalan sunyi—berdakwah, membangun pesantren, menyebarkan Islam, menulis kitab—tanpa perlu kamera atau tepuk tangan.

Mereka bukan tak ada, mereka hanya tak mencatatkan dirinya dalam sejarah yang ditulis penguasa.

Lalu bagaimana dengan Habib Usman bin Yahya?

Beliau adalah mufti besar Betawi yang hidup pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Ya, beliau memang pernah diangkat secara resmi oleh pemerintah kolonial. Tapi apakah itu cukup untuk menyebutnya sebagai pengkhianat bangsa?

Mari kita ajak akal sehat berbicara.

📜 Mufti dalam Sistem Kolonial: Jabatan atau Perjuangan?

Habib Usman diangkat sebagai mufti oleh pemerintah Hindia Belanda bukan karena beliau minta, tapi karena memang kapasitas keilmuannya luar biasa. Pemerintah kolonial saat itu tahu, jika ingin mengontrol umat Islam, mereka harus mengakomodasi simbol-simbol agama agar tidak terjadi perlawanan terbuka. Tapi mengakomodasi tidak sama dengan mengendalikan.

Habib Usman menggunakan kedudukannya untuk membela Islam, bukan untuk menjilat penguasa. Karya-karyanya dalam bidang fikih, polemik melawan zending Kristen, dan pembelaannya terhadap syariat Islam menjadi bukti konkret bahwa ia bukan “alat Belanda”—justru ia bermanfaat untuk umat dalam sistem yang penuh tekanan.

Jika seseorang ditunjuk sebagai dokter di rumah sakit kolonial, lalu ia mengobati pasien pribumi dengan baik—apakah ia pengkhianat? Atau justru pejuang di medan yang tidak berdarah?

📚 Perlawanan Tak Selalu dengan Senjata

Sebagian orang menuntut setiap tokoh Islam masa kolonial untuk memegang bambu runcing agar layak disebut “pahlawan.” Ini adalah cara pandang sempit dan biner yang tak sesuai dengan keragaman strategi perjuangan.

Habib Usman memilih pena daripada senjata—dan itu bukan bentuk ketakutan, tapi strategi. Dalam situasi ketika umat Islam dikepung misi kristenisasi dan pembodohan massal, justru dakwah intelektual dan tulisan-tulisan beliau menjadi senjata paling tajam.

🔍 Yang Diserang Bukan Pribadi, Tapi Garis Nasab

Mengapa beliau yang diserang? Karena beliau seorang habaib. Seorang Ba’alawi. Dan bagi mereka yang getol meragukan legitimasi jalur nasab Habaib, semua yang bersambung ke Hadramaut akan dicurigai. Dianggap “Arab” dan karenanya “asing.” Padahal sejarah tak bisa dibantah: banyak ulama terbesar kita memang datang dari keturunan Rasulullah SAW.

Menyerang Habib Usman bin Yahya karena kedekatannya dengan struktur kolonial, tanpa melihat kontribusinya terhadap Islam dan umat, sama saja seperti menyerang Haji Agus Salim karena ia pernah jadi juru bahasa Belanda. Sama-sama ahistoris dan picik.

✊ Kesimpulan: Jangan Malas Baca, Jangan Cepat Menghakimi

Membaca sejarah tak cukup dari brosur propaganda atau potongan status Facebook. Apalagi jika tujuannya bukan memahami, tapi mencari-cari kesalahan. Habib Usman bin Yahya adalah satu dari banyak tokoh yang mewarisi tradisi ilmu dan keteguhan hati, di saat banyak orang lebih memilih diam atau berkompromi sepenuhnya.

Jangan karena beliau tidak pasang badan di medan perang, lalu kita butakan mata atas perjuangannya di medan ilmu. Jangan pula karena beliau bergelar habib, lantas setiap jasanya dicurigai sebagai akal-akalan Arab.

Karena sejatinya, bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai pahlawan bersenjata, tapi juga yang menghormati ulama yang menjaga akidah lewat pena—meski duduknya bersebelahan dengan kekuasaan.

Tamzilul Furqon Takmir Angkringan