Dari KH. Hasyim Asy’ari ke Ribut Nasab: Jangan Bikin Musuh Tepuk Tangan
"Dari KH. Hasyim Asy’ari ke Ribut Nasab: Jangan Bikin Musuh Tepuk Tangan"
✍️ Tamzilul Furqon
Belakangan ini, saya lihat di media sosial, isu nasab lagi naik daun. Grup WA rame, status Facebook memanas, komentar di TikTok penuh debat. Bahkan ada yang sampai blokir temannya sendiri gara-gara beda pandangan. Kadang saya cuma bisa senyum miris — ini seperti dua orang rebutan sajadah di masjid, saling tarik sampai ujungnya sobek, dan shalatnya malah nggak jadi.
Coba kita mundur ke tahun 1945. Waktu itu Indonesia baru saja merdeka, tapi belum benar-benar aman. Sekutu datang, NICA ikut numpang, dan aroma mesiu sudah tercium sampai kampung-kampung. Di tengah situasi genting itu, KH. Hasyim Asy’ari — ulama kharismatik, pendiri Nahdlatul Ulama — mengeluarkan Resolusi Jihad. Fatwanya jelas: membela tanah air dari penjajah hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim di sekitar medan perang.
Yang menarik, beliau tidak berkata, “Lihat dulu nasabmu siapa,” atau “Kalau bukan dari garis ini, minggir.” Tidak. Yang ada justru ajakan untuk bersatu. Ulama, santri, pedagang, rakyat jelata — semua diminta berdiri di barisan yang sama. Perbedaan mazhab, ormas, bahkan adat daerah, ditahan dulu. Sebab beliau tahu, saat itu kita hanya punya dua pilihan: bersatu atau hancur.
Sekarang bandingkan dengan hari ini. Dulu para ulama memutar otak untuk menyatukan umat demi kemerdekaan. Sekarang, sebagian kita justru memisahkan umat demi memenangkan debat garis keturunan. Padahal kalau kita mau jujur, perpecahan ini tidak akan membuat kita lebih mulia di mata Allah, tapi malah membuka celah untuk pihak yang senang melihat umat tercerai-berai.
Bayangkan kalau KH. Hasyim Asy’ari hadir di tengah kita hari ini, melihat perdebatan yang tak kunjung selesai. Mungkin beliau akan memandang kita dengan tatapan teduh, lalu berkata pelan tapi tegas:
> “Nak… dulu kami bertaruh nyawa untuk membuat kalian bisa duduk bersama seperti ini. Jangan habiskan kemerdekaan itu hanya untuk saling menjatuhkan.”
Karena pada akhirnya, garis keturunan tidak akan berarti banyak jika kita kehilangan persaudaraan. Kita ini satu shaf di hadapan Allah, bukan satu barisan di hadapan algoritma media sosial. Perbedaan itu wajar, tapi kalau perbedaan membuat kita lupa saling menghormati, berarti ada yang salah — bukan pada nasab kita, tapi pada hati kita.
Kalau dulu KH. Hasyim Asy’ari bisa menahan ego demi satu tujuan besar, masa kita yang hidup di zaman kopi susu dan internet cepat ini kalah dewasa? Mari kita warisi bukan cuma cerita perjuangannya, tapi juga kebijaksanaan beliau menjaga persatuan.