COCOKOLOGI SERI 3: TESIS ATAU SUGESTI?

 


Kamis, 7 Agustus 2025

Faktakini.info

"COCOKOLOGI SERI 3: TESIS ATAU SUGESTI?"

✍️ Tamzilul Furqon 

Jika memang benar tulisan-tulisan Imaduddin bin Sarman itu adalah "tesis yang tak terbantahkan", pertanyaan mendasarnya sederhana: siapa yang menyebutnya tesis? Siapa yang menguji? Di mana? Dan kapan dibela dalam forum akademik?

Perlu dicatat: tesis secara akademik bukan sekadar opini panjang. Ia adalah hasil riset ilmiah, diuji di hadapan para penguji yang kompeten, memiliki metodologi, bibliografi, serta diuji otentikasinya. Tidak bisa sekadar klaim "ini fakta" lalu tiba-tiba minta umat Islam percaya begitu saja.

Lucunya, di tengah semangatnya menantang debat siapa saja di mana saja sampai “tiga hari tiga malam”, ketika diundang untuk forum resmi, justru tak pernah hadir. Menolak debat ilmiah tapi rajin membuat konten naratif? Itu bukan peneliti, tapi pesilat kata—lebih cocok jadi tokoh TikTok dibanding pengkaji silsilah.

Banyak pengikut Imad mengira isi tulisannya tidak terbantahkan. Tapi sebenarnya, mereka hanya tidak tahu bahwa tulisannya sudah terbantahkan—dan bukan oleh orang sembarangan. Lora Muhammad Ismael Al Kholilie menguliti hoax kutipan-kutipan kitab yang disalahsangkakan abad 4 padahal abad 13. Gus Rumail Abbas menelanjangi kerancuan narasi sejarah, sementara Raden Linawati mempermalukan klaim sains mereka lewat ulasan DNA yang logikanya terjungkal.

Dan andai benar klaim mereka bahwa para Wali Songo bukan dari Ba’alawi—maka catatan silsilah resmi di papan-papan makam wali harusnya sudah diganti sesuai jalur Uzbekistan, Yunan, pasai atau China yang mereka yakini. Tapi nyatanya, nama Ba’alawi tetap kokoh tertulis di sana. Tak pernah diganti. Bahkan pada haul utama para wali pun, yang diundang tetap sebagian dari jalur dzurriyah Ba’alawi. Imad CS? Tak hanya tidak diberi panggung, diundang pun tidak.

Inikah yang mereka sebut “wakil Walisongo sejati”? Mengaku sebagai penjaga nasab, tapi tak diakui oleh para pewaris maqbarah?

Lebih aneh lagi, mereka menuduh Ba’alawi “memindah jalur nasab”, padahal manuskrip dan literasi mereka sendiri minim, tidak ada sanad yang nyambung, tidak ada ijazah yang turun-temurun, tidak pernah muncul dalam syajarat klasik para ulama besar. Justru mereka sendirilah yang secara diam-diam memindah jalur, mencomot sana-sini, tanpa rujukan kuat. Dan itu pun baru digembar-gemborkan belakangan ini—bukan dari dulu.

Di sisi lain, Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran—tokoh ulama dan wali besar abad ke-9/10 H, guru dari para wali dan sultan di Hadhramaut, justru menjadi rujukan para ulama lintas generasi soal silsilah. Kitabnya Syamsuzh Zhahirah, menjadi rujukan sanad oleh ulama besar semacam Imam al-Mu’allimi, al-Haddad, bahkan Syekh Zubaidi penulis Tajul ‘Arus. Jadi, cocokologi siapa yang lebih logis? Mereka yang baru muncul belakangan dan tidak diakui dunia Islam, atau para wali yang literasinya terbukti ribuan sanad dan manuskrip?

--

Catatan Penutup: Seri "Cocokologi" ini ditutup bukan karena lawan debat sudah selesai dibantah. Tapi karena kita tidak bisa terus menerus mengabiskan waktu meladeni narasi yang dibangun di atas fatamorgana. Sudah cukup bukti, cukup logika, cukup data, dan cukup malu seharusnya bagi mereka yang menamakan diri akademisi tapi alergi pada forum terbuka.

Biarkan publik yang menilai, dan semoga mereka yang masih mencari kebenaran diberi taufiq untuk menelusuri bukan hanya kata—tapi juga sanad.

#Cocokologi3

#DebatNasab

#HabibAliAlSakran

#ImaduddinDanIlmuSetengahMalam

#SyajarahBukanSajadah