Benarkah Bendera Merah Putih Warisan Majapahit? Mari Kita Bicara Jujur.
Ahad, 3 Agustus 2025
Faktakini.info
Benarkah Bendera Merah Putih Warisan Majapahit? Mari Kita Bicara Jujur.
Selama ini kita sering dengar:
“Merah putih sudah dipakai sejak zaman Majapahit.”
“Bendera kita ini warisan leluhur. Bahkan sudah ada sejak 6.000 tahun yang lalu.”
Klaim ini sudah sering muncul di buku pelajaran sejarah, diucapkan dalam pidato-pidato resmi, bahkan disuarakan oleh sejarawan nasionalis seperti Mohammad Yamin, tokoh penting perumus sejarah Indonesia modern.
Tapi pertanyaannya:
Apakah itu benar? Atau hanya mitos yang terus diulang-ulang?
Melacak Akar Klaim: Prasasti Kudadu (1294 M)
Klaim “merah putih sejak Majapahit” biasanya mengacu pada Prasasti Kudadu, peninggalan tahun 1294 M.
Prasasti ini berisi kisah pelarian Raden Wijaya, pendiri Majapahit, saat dikejar oleh pasukan Jayakatwang dari Kediri.
Di salah satu bagiannya disebut:
“Han tumuli atur sang patih, ing panji-panji abrit saha petak tumekeng Daha.”
“Kemudian sang patih memberi laporan bahwa panji-panji merah dan putih telah sampai ke Daha (Kediri).”
Lalu, dari kalimat ini disimpulkan oleh sebagian pihak:
“Nah, ini bukti! Majapahit sudah memakai bendera merah putih seperti Indonesia sekarang!”
Tapi… apakah betul seperti itu?
Faktanya Tidak Sesederhana Itu
Penelitian yang lebih teliti, seperti yang dijelaskan oleh Dr. Jarrah Sastrawan, seorang ahli prasasti Jawa Kuno, justru membongkar kesalahpahaman besar soal klaim merah putih dari Majapahit.
Ada tiga poin penting yang sering diabaikan:
Pertama, panji (bendera) merah dan putih yang disebut dalam prasasti bukan milik Raden Wijaya,
tapi justru dibawa oleh musuhnya, yaitu pasukan dari Kediri yang sedang mengejarnya.
Kedua, kejadian itu terjadi pada tahun 1292 Masehi,
padahal kerajaan Majapahit baru berdiri satu tahun kemudian, yakni 1293 Masehi.
Artinya, bagaimana mungkin bendera itu dikaitkan dengan kerajaan yang belum ada?
Ketiga, dalam prasasti itu disebut “panji-panji merah dan putih” secara terpisah,
dalam bahasa Jawa Kuno ditulis: abrit saha petak yang artinya merah dan putih,
bukan “merah-putih” sebagai satu kesatuan warna seperti bendera Indonesia sekarang.
Dengan kata lain, bisa saja panjinya ada yang berwarna merah sendiri, dan yang putih sendiri.
Tidak ada bukti bahwa keduanya disusun bersama dalam satu desain seperti bendera kita sekarang.
Jadi Mengapa Narasi Ini Tetap Disebar?
Jawabannya sederhana:
Untuk menyakralkan simbol nasional.
Agar bendera merah putih tampak agung, kuno, dan seolah-olah suci sejak zaman nenek moyang.
Dengan narasi itu, siapa pun yang mengkritik negara bisa langsung dituduh:
“Kau menghina leluhur!”
“Kau menghina simbol perjuangan ribuan tahun!”
Padahal yang sedang terjadi adalah:
Dongeng dijadikan sejarah.
Legenda dijadikan landasan ideologi.
Sama seperti orang jual keris palsu.
Kalau dibilang keris biasa, siapa yang mau beli?
Tapi kalau dibilang “ini keris warisan Majapahit”, harganya langsung melambung.
Padahal… tidak ada buktinya.
Masalahnya bukan soal benderanya.
Kita semua menghormati merah putih sebagai simbol negara.
Tapi yang kita pertanyakan adalah:
Kejujuran terhadap sejarah.
Kalau sejarah saja dimanipulasi,
bagaimana mungkin kita bisa percaya pada arah bangsa ini dibawa?
Kalau cerita nasional kita dibangun dari tafsir yang dilebih-lebihkan, bagaimana mungkin generasi muda bisa belajar berpikir kritis?
Dari semua yang kita bongkar, satu hal menjadi terang:
Sejarah versi nasionalis-sekuler ternyata rapuh. Kosong dasar. Berdiri di atas tafsir yang dipaksakan.
Mereka berkata:
“Bendera kita warisan ribuan tahun.”
Padahal tak satu pun bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan prasasti yang mereka andalkan pun ternyata memuat kisah yang berkebalikan dengan klaim mereka sendiri.
Mohammad Yamin dan Soekarno telah menjual narasi besar:
“Majapahit pernah menguasai Asia Tenggara bahkan hingga ke daratan Asia.”
Mereka menciptakan mitos agar simbol modern tampak kuno, dan agar nasionalisme dipandang lebih tua dari agama. Tapi faktanya tak satu pun kerajaan besar di Nusantara ini lahir dari nasionalisme.
Justru semua kekuatan yang menyatukan wilayah ini, yang melahirkan peradaban dan hukum, adalah Islam.
Refrensi:
-Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah-Putih (Jakarta: Balai Pustaka, 1958).
-Status Dr. Jarrah Sastrawan di Twitter.
- Wawancara dengan Sejarawan Senior, Heri Purwanto.