Baca Artikel Ini Saja Tak Tuntas, Kok Berani Gertak Habaib Pakai Rumus DNA?
Kamis, 7 Agustus 2025
Faktakini.info
"Baca Artikel Ini Saja Tak Tuntas, Kok Berani Gertak Habaib Pakai Rumus DNA?"
Di era digital yang serba instan, banyak orang ingin menjadi pakar dalam semalam. Termasuk dalam urusan yang sangat kompleks seperti genetika. Belum selesai memahami rukun iman dan rukun Islam, tiba-tiba ramai mendadak ‘mengerti’ tentang tes DNA. Padahal, memahami DNA—apalagi menghubungkannya dengan silsilah 14 abad lalu—bukan seperti membaca komik atau buka silsilah kiai kampung.
Mari kita buka secara jujur: rumus-rumus dalam tes DNA itu bukan untuk ditafsirkan oleh orang yang baru buka FamilyTreeDNA dua hari. Sekadar satu kode misalnya, J1, itu saja sudah bercabang lagi menjadi J1a, J1b, bahkan lebih detail seperti J1-P58, J1-L859, dan seterusnya. Setiap cabang menunjukkan sejarah migrasi genetis yang berbeda. Misalnya, J1-P58 banyak ditemukan pada keturunan Arab Semitik, termasuk populasi Yaman dan Hijaz (wilayah leluhur Nabi Muhammad ﷺ). Tapi apakah cukup dengan dapat hasil “J1” lalu otomatis itu sayyid? Tidak juga. Karena ada J1 di kalangan Yahudi, bahkan juga Afrika.
Sebaliknya, jika seseorang mendapatkan hasil G-M201, seperti yang diklaim oleh sebagian pihak sebagai hasil dari 200 Ba’alawi yang dites DNA-nya, lalu serta-merta menyimpulkan bahwa "semua Ba'alawi bukan keturunan Nabi"—itu lebih mirip dagelan politik daripada kajian ilmiah.
Nyatanya, klaim 200 Ba’alawi yang dites DNA-nya dan seluruhnya hasilnya G-M201 adalah HOAX. Diakui sendiri oleh pihak yang mengkritisi hoaks itu, seperti Nyai Raden Linawati, yang bahkan menyertakan screenshot-screenshot hasil resmi dari Family Tree DNA, yang menunjukkan bahwa hanya segelintir orang dari kelompok tertentu yang pernah tes DNA, dan tidak semua dari mereka mewakili seluruh Ba’alawi. Bahkan beberapa dari mereka bukan murni Ba’alawi, ada yang dari jalur wanita atau hasil percampuran.
Selain itu, yang perlu digarisbawahi: profil DNA Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah ditentukan secara pasti secara ilmiah. Tidak ada sampel biologis Nabi yang dapat dijadikan patokan resmi. Maka, semua klaim bahwa “keturunan Nabi harus J1” pun bukan kebenaran mutlak, hanya hipotesis ilmiah berdasarkan sebaran genetika populasi saat ini.
Pertanyaannya: apakah akurat menguji nasab seseorang yang hidup 1.400 tahun lalu dengan tes DNA saat ini, sedangkan selama ribuan tahun terjadi kawin silang, migrasi, peperangan, hingga penjajahan? Bahkan dalam silsilah-silsilah lokal kita saja, kadang masih simpang siur, apalagi melacak kromosom Y dari abad ke-7?
Itu sebabnya banyak ahli genetika serius pun tidak berani menyimpulkan klaim garis nasab kuno hanya dari tes DNA. Apalagi bila sampel yang dibandingkan sangat terbatas, tidak terverifikasi, atau malah tidak berasal dari jalur nasab resmi.
Hal ini diperparah oleh kebiasaan sebagian orang—yang sayangnya mengaku pakar atau “ahli DNA” padahal latar belakangnya justru di bidang veteriner (ilmu genetika hewan/Ikan Nila)—yang melemparkan narasi besar tanpa dasar ilmiah yang sahih. Bahkan tidak menyertakan data primer, sekadar narasi “katanya” dan “saya punya datanya, tapi rahasia.”
Padahal, siapa pun bisa masuk website FTDNA dan melihat sendiri tidak ada 200 Ba’alawi yang tes DNA dan hasilnya G-M201. Yang ada, hanya beberapa sample yang tidak dapat mewakili jutaan Habaib dari Yaman sampai Indonesia. Di sisi lain, komunitas Y-DNA seperti Yfull atau YSEQ juga tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa garis keturunan Nabi Muhammad ﷺ bisa disimpulkan secara mutlak dari haplogroup tertentu.
Jadi, apakah tes DNA bisa berguna? Bisa, dalam konteks forensik dan pembuktian biologis kontemporer (ayah-anak sekarang). Tapi untuk nasab 14 abad lalu? Bukan mustahil, tapi sangat sulit—dan sangat rawan manipulasi dan politisasi.
Maka narasi yang menggiring opini bahwa semua Ba’alawi bukan keturunan Nabi karena sebagian hasil DNA yang tidak jelas itu tidak hanya salah kaprah, tapi juga mengandung unsur fitnah akademik.
Jika ada satu atau dua orang yang mengaku habib dan hasilnya G-M201, maka yang patut ditelusuri adalah jalur nasab personalnya, bukan langsung menyimpulkan semua Sayyid salah. Itu seperti melihat satu ustadz bermasalah, lalu menuduh semua ustadz sesat.
Akhirnya, mari bersikap adil. Ilmu pengetahuan bukan alat untuk menjustifikasi kebencian. Tidak semua hal bisa dijelaskan dengan data genetik, karena nasab bukan sekadar kromosom—tapi juga kejujuran, amanah, dan riwayat yang bersambung.
--------------------
✍️ Tamzilul Furqon ( Meragkai dari Beberapa Status Nyai Raden Linawati )