Menyusuri Jejak Muktamar VIII NU di Batavia, Gratis di Rumah Sayyid Ismail bin Abdullah bin Alwi Al-Athas.

 


Rabu, 14 Mei 2025

Faktakini.info

Ayung Notonegoro

Menyusuri Jejak Muktamar VIII NU di Batavia

Dalam sejumlah catatan sejarah, Nahdlatul Ulama pernah menggelar muktamarnya di Batavia (Jakarta). Muktamar ke-8 itu diselenggarakan pada 6-11 Mei 1933. Namun, di manakah momen bersejarah itu digelar? Dalam sejumlah literatur populer tak disebutkan.

Dalam penulusuran penulis, ternyata lokasi muktamar itu, bertempat di gedung yang kini menjadi Museum Tekstil Jakarta yang terletak di Jalan KS. Tubun, Palmerah, Jakarta Barat. Tak jauh dari Pasar Tanahabang.

Gedung ini awalnya dibangun oleh orang Perancis Justinus Vinck. Kemudian, dibeli oleh seorang konsul Turki, Abdul Aziz Al-Mussawi Al-Katiri. Lalu, dibeli lagi oleh menantu sang konsul, seorang saudagar dan filantropi berkebangsaan Hadrami, Sayid Abdullah bin Alwi Al-Athas.

Sepeninggal Sayid Abdullah Al-Athas ini, gedung tersebut ditempati oleh putranya, Sayid Ismail bin Abdullah bin Alwi Al-Athas. Nama terakhir inilah yang mempersilakan pelaksanaan muktamar di tempat tersebut secara gratis.

PBNU dalam laporannya yang dimuat di SNO, No. 3 Tahun IV, Rabiul Awal 1349 H menulis demikian:

“Nahdlah bertempat kongres di situ tidak dengan sewa setengah sen pun. Hanya dari kedermawanannya yang mulia tuan rumah tahadi. Padahal, umpama Nahdlah menyewa sampai lebih dari empat ratus rupiah, maka masih berasa murah.”

Sebagai sebuah perbandingan, saat NU menggelar muktamar di Hotel Muslimin Surabaya dikenakan sewa sebesar 189 rupiah (Laporan keuangan NU. Lihat SNO, No. 3 Tahun II, Rabiul Awal 1347 H). Atau dengan Hotel Arabistan saat Muktamar keempat (1929) di Semarang yang seharga 150 rupiah (Laporan Keuangan Muktamar, lihat SNO. No. 10 Tahun II, Syawal 1347 H).

Dengan perbandingan demikian, memang sangat mewah lokasi muktamar tersebut. Mampu menampung 162 orang utusan cabang NU dan 373 tamu undangan (Daftar hadir Muktamar VIII NU, lihat SNO, No. 5 Tahun IV, Jumadil Awal 1349 H).

SNO, No. 3 Tahun IV, Rabiul Awal 1349 H menggambarkan tempat tersebut sebagaimana berikut ini:

“… itu rumah tidak main-main besarnya dan eloknya, bermarmer yang muka dan bertegel yang belakang, tanah lapang mukanya itu rumah ada telalu lebarnya yang patut sekali dipakai tempat kongres jamiyah kita, Nahdlatul Ulama, yang mana itu tanah lapang berhias dengan beberapa tanaman bunga-bunga yang menyenangkan hati publik.

Rumah tersebut panjangnya 60 meter, lebarnya 35 meter. Sebelah kirinya ada paviliun (rumah sisir) lebar delapan meter, panjang 75 meter. Adapun tanah lapang mukanya rumah 55 meter, panjang 65 meter.”

Beberapa saat yang lalu, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Museum Tektsil. Memastikan deskripsi yang disebut dalam sumber di atas.

Meski telah berlalu puluhan tahun silam, ternyata deskripsi tersebut masih sesuai. Kebesaran dan kemegahannya tak berubah. Wajar jika redaktur SNO - saat itu sedang dipimpin oleh KH. Dachlan Abdul Qahar - memberikan pujian yang istimewa. Lebih dari 500 muktamirin yang terdaftar bisa ditampung di tempat tersebut.

Lebih dari itu, penentuan lokasi muktamar ini juga dapat jadi saksi bagaimana hubungan baik NU dan kalangan habaib. Sejak dulu, banyak habaib yang terlibat dalam kepengurusan NU. Tak sedikit pula yang jadi donatur sebagaimana Sayid Ismail di atas.

Jika ditelisik lebih jauh, muktamar tersebut juga mencatat kehadiran sejumlah habaib. Baik sebagai utusan Cabang NU, maupun yang berbondong-bondong menjadi tamu. 

Yang dari utusan cabang NU antara lain Sayid Muhammad Al-Magribi (Bangil), Sayid Alwi bin Muhammad Bafaqih (Kudus), Sayid Umar bin Ali bin Yahya (Menes, Banten), serta sejumlah habaib yang jadi utusan resmi Cabang NU Batavia. Antara lain Sayid Abu Bakar al-Habsy, Sayid Idrus Al-Habsy, Sayid Ahmad Ats-Tsaqaf, dan Sayid Salim Al-Habsy.

Adapula sejumlah habaib yang mengikuti muktamar, meski tidak menjadi utusan resmi dari Cabang NU asal daerahnya. Seperti Sayid Abdullah bin Yahya (Surabaya), Sayid Muhammad bin Ali bin Yahya (Bogor), Sayid Yahya (Tanah Abang, Batavia), dan Sayid Ali Al-Habsyi (Kwitang, Batavia). Nama terakhir inilah, sebagaimana disinggung di atas, yang menjadi tokoh utama keterlibatan habaib di NU. (*)

Rumail Abbas

Sayid Yahya yang disebut sebelum terakhir ini adalah Yahya bin Ustman Bin Yahya, anak dari Mufti Batavia. Sedangkan Ali Al-Habsyi di nama terakhir adalah Habib Ali Kwitang, satu-satunya tokoh yang layak dipanggil "Habib" di masa itu.

Pembeli Museum Tekstil, yaitu Habib Abdullah bin Alwi Alatas, punya keturunan lain, di antara adalah Mas Aji (Ismail Fajri Alatas) dan Ustaz Hanif Alatas (menantu HRS). Untuk Ismail, pemilik sekaligus tuan rumah Muktamar NU 1933, keturunannya sekarang di Belanda dan Abu Dhabi, dua di antaranya pernah saya hubungi.

Dari mereka saya diberi tahu bahwa Ismail adalah seorang birokrat dan anggota Volksraad (semacam DPR) yang sekaligus kawan HOS Tjokroaminoto.

Untuk konsul yang ditulis, kemungkinan adalah "Al-Musawi Al-Kadzimi", bukan "Al-Katiri".

Wallau a'lam