Standar Ganda Klaim Nasab: Imad bin Sarman Tak Berani Tes DNA Tapi Wajibkan Habaib Tes DNA

 





Sabtu, 31 Mei 2025

Faktakini.info, Jakarta - Dalam beberapa waktu terakhir, sosok Imaduddin bin Sarmana bin Arsa menjadi sorotan publik, terutama karena klaim-klaim garis keturunan (nasab) yang ia sampaikan ke khalayak. Imaduddin secara terbuka mengaku sebagai keturunan dari tokoh-tokoh besar Islam di Nusantara maupun dunia, seperti Sultan Hasanuddin Banten, Sunan Gunung Jati, para wali dari Walisongo, Sayyidina Hasan bin Ali, hingga Nabi Muhammad SAW.

Namun, banyak pihak mempertanyakan dasar klaim tersebut. Berdasarkan sejumlah penelusuran, Imaduddin diketahui merupakan anak kandung dari Sarmana bin Arsa, seorang warga asal Lampung yang kemudian hijrah ke Banten. Tidak ditemukan bukti valid yang menunjukkan keterkaitan nasabnya dengan trah kesultanan Banten, para wali, apalagi Rasulullah SAW.

Yang menjadi sorotan lebih jauh adalah inkonsistensi dalam sikap Imaduddin terhadap pembuktian nasab. Ia diketahui seringkali mendesak pihak lain – khususnya kalangan Habaib – untuk melakukan tes DNA guna membuktikan keterhubungan nasab mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Ia bahkan menyatakan bahwa haplogroup DNA di luar J1 bukanlah keturunan Rasulullah SAW, sebuah klaim kontroversial yang tidak memiliki landasan kuat dalam ilmu nasab maupun fiqih.

Padahal, mayoritas lembaga fatwa dan otoritas ulama di dunia Islam, termasuk Rabithah Alawiyah dan para Naqib (penjaga nasab) telah menyepakati bahwa tes DNA bukanlah alat yang sah untuk penetapan nasab jarak jauh. Hal ini disebabkan karena akurasi tes DNA sangat terbatas untuk nasab yang sudah melewati banyak generasi dan rentang waktu berabad-abad. Oleh karena itu, isbat nasab tetap mengandalkan sanad (rantai silsilah) tertulis dan pengakuan resmi dari ahli nasab.

Ironisnya, Imaduddin sendiri tidak pernah melakukan tes DNA untuk membuktikan klaim garis keturunannya. Ia justru menuntut validitas dari pihak lain, sementara klaim nasabnya sendiri—yang jauh lebih besar dan menyentuh figur-figur penting dalam sejarah Islam—tidak dibuktikan dengan metode yang sama. Hal ini menimbulkan dugaan adanya standar ganda dalam sikapnya, serta membuka ruang bagi tuduhan bahwa dorongan tersebut lebih bersifat emosional dan personal daripada akademik atau spiritual.

Konsistensi adalah kunci dalam setiap perjuangan kebenaran. Jika Imaduddin meyakini bahwa tes DNA adalah satu-satunya cara membuktikan nasab, seharusnya ia menjadi yang pertama memberi contoh dengan melakukan tes terhadap dirinya sendiri. Jika tidak, maka desakannya kepada pihak lain menjadi tidak relevan, bahkan bisa dianggap sebagai bentuk kedengkian terhadap nasab-nasab yang telah sah dan diakui secara ilmiah maupun syar’i.

Penetapan nasab bukanlah perkara ringan dalam Islam. Ia menyangkut kehormatan, identitas, dan warisan spiritual umat. Maka, semestinya setiap klaim diikuti dengan tanggung jawab ilmiah dan etika dakwah, bukan sekadar opini sepihak tanpa landasan.