Dugaan Pelanggaran Hukum dalam Tragedi Firdaus Ahmad Fauzi di Gunung Binaiya

 



Senin, 19 Mei 2025

Faktakini.info

Dugaan Pelanggaran Hukum dalam Tragedi Firdaus Ahmad Fauzi di Gunung Binaiya 

Meninggalnya Firdaus Ahmad Fauzi, pendaki asal Bogor yang hilang selama 22 hari di Gunung Binaiya, membuka luka mendalam sekaligus memunculkan pertanyaan besar terkait pengelolaan keselamatan di kawasan konservasi oleh Balai Taman Nasional (BTN) Manusela. Tragedi ini bukan sekadar persoalan musibah, melainkan juga sinyal kuat dugaan kelalaian serius yang harus mendapatkan perhatian hukum dan evaluasi mendalam.

Firdaus dilaporkan hilang pada 26 April 2025 setelah terpisah dari rombongannya di jalur pendakian Gunung Binaiya. Operasi pencarian awal yang dilakukan oleh BTN Manusela dihentikan pada 4 Mei 2025, meskipun jejak terakhir korban ditemukan di sekitar Sungai Yahe. Setelah mendapat tekanan dari publik pencarian dilanjutkan pada 12 Mei 2025 oleh tim relawan yang akhirnya menemukan jasad Firdaus pada 17 Mei 2025 di lokasi yang sebelumnya telah diidentifikasi.

Sebagai otoritas pengelola kawasan konservasi, BTN Manusela memiliki tanggung jawab hukum berdasarkan: UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Kedua regulasi tersebut mewajibkan adanya sistem keselamatan dan prosedur penanganan darurat yang memadai bagi pengunjung.Penghentian pencarian oleh BTN Manusela, meskipun terdapat indikasi kuat mengenai lokasi korban, dapat ditafsirkan sebagai bentuk pelanggaran hukum. 

Pasal 359 KUHP: Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Dalam konteks ini, jika benar BTN Manusela menghentikan operasi pencarian saat korban masih memiliki kemungkinan untuk diselamatkan, maka unsur-unsur dalam pasal tersebut yakni kelalaian (culpa), hubungan tanggung jawab hukum, serta akibat berupa kematian telah terpenuhi.

Kelalaian dalam situasi darurat, terutama oleh otoritas yang memiliki tanggung jawab penyelamatan, bukan hanya pelanggaran etis tetapi juga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Penundaan atau penghentian operasi secara prematur patut didalami sebagai tindakan yang berpotensi melanggar asas perlindungan hukum terhadap hak hidup korban.

Selain pertanggungjawaban pidana, keluarga korban juga berhak menempuh gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Dalam hal ini, penghentian pencarian oleh BTN Manusela dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang menyebabkan kerugian materil dan immateril bagi keluarga korban.

Berdasarkan analisis di atas, terdapat dasar hukum yang kuat untuk:

1. Melaporkan Kepala BTN Manusela secara pidana atas dugaan kelalaian yang menyebabkan kematian Firdaus Ahmad Fauzi. 

2. Mengajukan gugatan perdata oleh pihak keluarga korban untuk menuntut ganti kerugian akibat kelalaian tersebut. 

3. Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mencopot Kepala BTN Manusela serta mengevaluasi secara menyeluruh sistem keselamatan dan tanggap darurat di seluruh kawasan konservasi nasional.

Kasus ini harus menjadi momentum bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk mencopot pejabat yang lalai dan memperbaiki sistem keselamatan di seluruh kawasan konservasi nasional. Keselamatan pengunjung bukan hanya soal tanggung jawab moral, tapi kewajiban hukum yang tak bisa ditawar.

Firdaus Ahmad Fauzi telah menjadi korban dari sebuah sistem yang gagal menjamin perlindungan dasar bagi para pencinta alam. Untuk itu, tidak cukup hanya berduka, tetapi harus ada langkah hukum tegas dan perbaikan menyeluruh agar tragedi serupa tidak terulang.