Dedi Mulyadi dan Otoritarianisme Gaya Baru di Jawa Barat
Senin, 19 Mei 2025
Faktakini.info
Dedi Mulyadi dan Otoritarianisme Gaya Baru di Jawa Barat
Oleh: [ - AMin Jabbar - ]
Sejak dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat pada awal 2025, Dedi Mulyadi langsung mencuri perhatian publik.
Gaya komunikasinya yang luwes, bahasanya yang membumi, dan keaktifannya di media sosial membuatnya cepat melejit sebagai pemimpin “rakyat”.
Namun di balik narasi populisme digital itu, ada pola kepemimpinan yang patut dikritisi secara serius: gaya otoritarian yang menggerus demokrasi lokal.
- Gubernur atau Bos Besar? -
Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan bahwa gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Tugasnya mengoordinasikan, bukan menginstruksikan secara sepihak. Namun dalam praktik, Dedi Mulyadi cenderung melampaui batas itu. Ia tampil seperti “Bos Jawa Barat” yang merasa berhak memberi perintah langsung kepada bupati dan wali kota, bahkan dalam urusan internal pemerintahan mereka.
Instruksi soal pengiriman anak-anak yang dianggap nakal ke barak militer, misalnya, diberlakukan secara seragam tanpa diskusi publik atau pelibatan daerah.
Wacana vasektomi sebagai syarat bantuan sosial pun dilontarkan tanpa kajian hukum, etika, atau partisipasi.
Semua dilakukan dengan gaya tunggal: perintah dari atas, didorong oleh opini media sosial.
- Populisme yang Menyandera Otonomi -
Gaya ini memperlihatkan paradoks besar dalam demokrasi Indonesia: populisme yang justru membungkam demokrasi lokal. Ketika seorang pemimpin menggunakan popularitasnya untuk mendikte kebijakan lintas daerah, maka kepala daerah lain tidak lagi menjadi pemimpin konstitusional, tetapi hanya eksekutor dari narasi yang viral.
Situasi ini membuat banyak kepala daerah segan menyuarakan perbedaan pandangan.
Mereka takut menjadi bahan konten, takut dicitrakan buruk, takut dilabeli “tidak pro-rakyat”.
Padahal, dalam demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan dan otonomi kebijakan adalah tanda kedewasaan sistem, bukan ancaman.
- Bahaya Sistem Satu Orang -
Masalah terbesar dari pola ini bukan pada niat personal Dedi Mulyadi, tapi pada dampaknya terhadap sistem pemerintahan. Ketika semua kebijakan bergantung pada satu figur, maka birokrasi menjadi lemah, ruang publik menjadi sunyi, dan prinsip check and balance menjadi tak relevan.
Jawa Barat tidak butuh satu orang kuat. Jawa Barat butuh sistem kuat. Sistem yang memungkinkan bupati dan wali kota berdiskusi terbuka tanpa takut dibungkam oleh kekuatan populis.
Sistem yang menempatkan rakyat bukan sebagai penonton konten, tapi sebagai pemilik suara yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
- Penutup: Demokrasi Tidak Bisa Dibikin Viral -
Demokrasi bukan sekadar kemampuan berkomunikasi di media sosial. Demokrasi adalah kesediaan mendengar, menghormati otonomi, dan memberi ruang untuk berpikir berbeda.
Gaya Dedi Mulyadi mungkin efektif untuk membangun citra dan menjaring simpati, tapi ketika kekuasaan terpusat di satu figur dan daerah-daerah dibungkam dengan tekanan moral, maka yang sedang dibangun bukan kemajuan, melainkan rezim komando berbalut budaya.
Dan ketika demokrasi lokal dikorbankan demi konten viral, kita harus bertanya:
Apakah kita sedang membangun masa depan, atau hanya menonton masa lalu dalam format yang lebih modern?