Reformasi Peradilan Militer: Urgensi Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia Oleh : Zainudin Firdaus, S.H. (Public Defender – LBH STREET LAWYER)
Kamis, 27 Maret 2025
Faktakini.info
Reformasi Peradilan Militer:
Urgensi Penegakan Supremasi Hukum di Indonesia
Oleh : Zainudin Firdaus, S.H.
(Public Defender – LBH STREET LAWYER)
Fiat Justitia Ruat Caelum - Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit runtuh.
Prinsip ini menegaskan bahwa hukum harus berlaku adil bagi semua, tanpa kecuali, termasuk
bagi prajurit aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, realitas di Indonesia
menunjukkan adanya ketimpangan dalam sistem peradilan militer yang berpotensi
melemahkan prinsip keadilan tersebut.
Kasus Penembakan oleh Anggota TNI: Alarm bagi Sistem Peradilan
Beberapa insiden terbaru yang melibatkan anggota TNI menyoroti perlunya reformasi
peradilan militer:
1. Penembakan Bos Rental di Tangerang : Tiga anggota TNI Angkatan Laut didakwa atas
kasus penembakan seorang pemilik usaha rental mobil di rest area KM 45 Tol Tangerang-
Merak. Para terdakwa, yaitu KLK Bambang Apri, Sertu Akbar Adli, dan Sertu Rafsin
Hermawan, menghadapi proses hukum atas tindakan mereka.
2. Penembakan Tiga Polisi di Lampung : Dalam sebuah operasi penggerebekan judi sabung
ayam di Way Kanan, Lampung, tiga anggota polisi tewas ditembak oleh oknum anggota
TNI. Insiden ini menambah daftar panjang kasus penyalahgunaan senjata api oleh prajurit
TNI.
Rentetan kasus ini menimbulkan kekhawatiran publik terhadap penegakan hukum dan
akuntabilitas anggota militer yang terlibat dalam tindak pidana umum.
Kritik terhadap Sistem Peradilan Militer
Para pakar hukum dan aktivis hak asasi manusia telah lama menyuarakan pentingnya reformasi
peradilan militer di Indonesia:
- Amnesty International Indonesia menyoroti insiden di Way Kanan, menekankan bahwa
peristiwa tersebut menunjukkan dampak negatif dari keterlibatan TNI dalam urusan sipil
dan mendesak revisi Undang-Undang Peradilan Militer.
- Imparsial menyerukan pengawasan yang lebih ketat dan evaluasi menyeluruh terhadap
penggunaan senjata api oleh anggota TNI untuk mencegah penyalahgunaan yang berujung
pada tragedi.
- M. Kamil Pasha, S.H., M.H., Praktisi Hukum, Senior/Founder SL Law Office,
menjelaskan bahwa saat ini prajurit TNI yang terlibat dalam tindak pidana umum masih
diadili di peradilan militer karena UU Peradilan Militer yang baru belum disahkan. Hal ini
menjadi masalah bagi masyarakat sipil, karena peradilan militer dianggap kurang
transparan.
Ketidaksinkronan UU TNI dan UU Peradilan Militer
Pengesahan Rancangan Undang-Undang TNI (RUU TNI) seharusnya diiringi dengan revisi
Undang-Undang Peradilan Militer (UU No. 31 Tahun 1997). Namun, hingga kini, peradilan
militer masih menjadi benteng impunitas bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana
umum.
Ketidaksinkronan ini terlihat dalam Pasal 75 UU TNI yang menyatakan bahwa ketentuan
mengenai peradilan bagi prajurit TNI akan berlaku setelah adanya undang-undang peradilan
militer yang baru. Pasal ini bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang menegaskan
bahwa prajurit tunduk pada peradilan sipil jika melakukan tindak pidana umum. Sementara itu,
UU Peradilan Militer dalam Pasal 9 ayat (1) masih memberikan yurisdiksi penuh kepada
peradilan militer untuk mengadili prajurit, termasuk dalam kasus pidana umum.
Ketidaksesuaian ini menciptakan celah hukum yang memungkinkan anggota TNI yang
melakukan tindak pidana umum tetap diadili di peradilan militer, yang sering kali dinilai
kurang transparan dan cenderung memberikan hukuman lebih ringan.
Prinsip Kesetaraan di Hadapan Hukum
Salah satu prinsip fundamental dalam negara hukum ( rechtsstaat ) adalah equality before the
law - semua warga negara harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Prinsip ini ditegaskan
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Namun, praktik saat ini menunjukkan bahwa sistem peradilan militer menciptakan
ketimpangan dalam penerapan hukum. Seorang warga sipil yang melakukan tindak pidana
diadili di pengadilan umum dengan ancaman hukuman maksimal, sementara anggota TNI yang
melakukan kejahatan serupa berpotensi mendapatkan perlakuan berbeda di peradilan militer.
Urgensi Reformasi Peradilan Militer
Reformasi peradilan militer harus segera dilakukan untuk memastikan bahwa:
1. Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan sipil, sesuai
amanat Pasal 65 ayat (2) UU TNI.
2. Revisi UU Peradilan Militer segera disahkan untuk menghilangkan ketimpangan
hukum dan memastikan akuntabilitas yang transparan.
3. Supremasi hukum ditegakkan, menghapus kesan impunitas atau perlindungan hukum
bagi anggota militer yang melanggar hukum.
4. Kepercayaan publik terhadap sistem peradilan meningkat, melalui transparansi dan
akuntabilitas dalam penanganan kasus yang melibatkan prajurit TNI.
Penutup: Demi Keadilan yang Sejati
Reformasi peradilan militer bukan sekadar kebutuhan teknis dalam sistem hukum, tetapi
langkah krusial menuju negara hukum yang lebih adil dan demokratis. Jika sistem hukum terus
dibiarkan timpang, keadilan hanya akan menjadi milik segelintir orang, bukan hak setiap warga
negara.
Seperti yang dikatakan oleh Cicero, "Kita semua adalah hamba hukum agar kita bisa
merdeka." Jika hukum tidak ditegakkan dengan adil, maka kebebasan dan keadilan sejati tak
akan pernah terwujud.
Saatnya Reformasi Peradilan Militer menjadi prioritas!