Rumail Jelaskan Konflik Rabithah di Masa Lalu dan Bantah Tuduhan Sekte Imad bin Sarman

 


Ahad, 18 Agustus 2024

Faktakini.info

Rumail Abbas

Saya tadi membuka YouTube, dan ada live-nya Mas Sugeng Sugiharto mengundang beberapa orang sambil membahas surat-surat Snouck Hurgronje, dan tentu saja suratnya yang berkaitan dengan keraguan pada nasab Baalawi.

Di antara narasumbernya ialah:

- Kiai Imaduddin Utsman,

- Tubagus Mogi,

- Gus Fuad Plered,

- Gus Aziz Jazuli ,

- Kiai Ubaidillah Tamam ,

- Rifky Zulkarnaen (co-host, yang magang jadi narsum).

Di Twitter (X) Mas Sugeng bicara tentang kredensi Fikri Shahab yang diklaim Nabawi TV sebagai saintis yang membicarakan sains (baca: yDNA), bahkan meledek karena gak ada jejaknya di Google Scholar, Scopus, dan lainnya.

Pesan dari tweetnya: jika tidak punya kredensi, gausah belagak jadi pakar suatu bidang tertentu, deh!

Uniknya, seluruh tamu undangannya malam ini tidak ada satupun yang saya lihat punya kredensi atau preseden sebagai historian--namun kenapa justru diberi ruang membicarakan sejarah?

😊

Saya bisa mengulasnya lebih dalam, tapi tidak sempat menulis panjang karena masih punya banyak urusan. Singkatnya begini...

Pertikaian Rabithah Alawiyah dan Al-Irsyad sebenarnya terjadi jauh sebelum surat Snouck Hurgronje, dan berpusat pada minimal dua tema: gelar Sayid-Syarif, dan pernikahan Syarifah-Akhwal.

Untuk gelar Sayid-Syarif, pihak Rabithah Alawiyah mengusulkan otoritas Belanda membuat regulasi: hanya diperuntukkan bagi asyraf saja (alawiyin), selain itu diberi hukuman/sanksi.

Otoritas tidak sampai memberikan keputusan, tapi Nahdlatul Ulama dalam Muktamar sudah memberikan jawaban: Sayid-Syarif hanya boleh diberikan kepada keturunan Baginda Nabi lewat Sayidah Fahtimah (tapi tidak ada keputusan soal takzir).

Untuk pernikahan Syarifah-Akhwal, Soerkati (Al-Irsyad) berfatwa tentang kebolehannya, sekaligus menantang debat terang-terangan pihak Rabithah Alawiyah jika tidak setuju dengan fatwanya.

Tak mau meladeni Baalawi kelas teri, Soerkati mengajukan syarat pihak kontra harus dari tokoh yang selevel dengan Muhammad Al-Muhdlar, Muhammad Baagil, Abdurrahman Al-Habsyi, Muhammad Bin Shahab, hingga Salim Bin Jindan yang terbilang akabir al-habaib di masa-masa itu untuk satu tema:

Bolehkah perempuan Baalawi dinikahi Hadlrami Non-Sadah atau akhwal?

Soerkati berani melakukan debat karena bisa membuktikan sebaliknya, bahwa perempuan Syarifah boleh menikahi siapa saja.

(Coba lihat baik-baik tantangan debat Soerkati tahun 1919 di bawah ini)

Pada dasarnya, Soerkati tidak meragukan Baalawi sebagai wangsa Asyraf. Itulah kenapa ia berdebat tentang bolehnya pernikahan Syarifah dengan Non-Syarif, ya, karena perempuan Baalawi adalah zuriah Imam Ali dan Sayidah Fathimah Al-Zahra.

Begitupun Snouck Hurgronje dalam suratnya tidak sedang membahas tentang keraguannya pada Baalawi, tapi kondisi orang-orang Hadlrami yang meyakini Baalawi sebagai Asyraf di sana yang sebenarnya agak ganjil jika diragukan (kendatipun sah-sah saja jika mau membuktikan sebaliknya, toh, argumentasi Baalawi tidak begitu meyakinkan, dan hanya diterima begitu saja).

Tadi saya diledek Gus Fuad, dia bilang saya mengajukan proposal untuk menjadi "pembela Baalawi". Padahal, orang paling awal yang mengetahui siapa sponsor saya adalah dia, dia pun tahu motif saya, dan saksinya adalah KRT Faqih dan Mas Sugeng.

Apakah saya bisa disebut pembela Baalawi?

Dibandingkan Imam Sakhawi, Ibn Hajar Al-Haitami, Malik Al-Afdlal Al-Rasuli (Raja Yaman Dinasti Rasuli), Al-Khazraji, Usamah Al-Azhari, Ali Jumah, Mahdi Roja'i, Ibrahim Manshur Al-Hasyimi, dan lain sebagainya, tentu saja saya tidak layak menyandang atribusi sekeren itu.

Jika sekarang saya ngoceh tentang kesahihan nasab Baalawi, sebenarnya saya tidak sedang membela Baalawi, tapi saya sedang membela argumentasi saya yang mendapati bukti-bukti dokumen tentang kesahihannya.

Itulah kenapa saya datang ke komal-komal TikTok yang membatalkan Baalawi (bahkan dikeroyok), hanya untuk memfalsifikasi argumentasi saya dengan pihak kontra.

"Coba kita adu, argumentasi siapa yang lebih jitu?" begitulah motif saya mendatangi komal-komal itu.

Untuk duit sponsornya saya pakai untuk belanja manuskrip-manuskrip kuno yang tidak bisa diraih hanya bermodal Google saja, Gus Fuad. Seperti yang pernah saya tunjukkan, ada satu naskah berjudul Tuhfatu Al-Murid karya Muhammad bin Ali Bathahan (tokoh Oman abad ketujuh Hijriyah), jumlahnya sekitar 40 lembar, dan harganya sekitar 600 Real.

Jadi untuk satu naskah, harus mengocek ongkos sekitar 2,8jt!

Itu baru satu naskah, bagaimana jika saya butuh lebih dari itu? Sementara manuskrip yang belum pernah dipublikasi itu harus didapatkan dengan cara membeli?

Katanya, Anda mau mencari kebenaran? Kenapa meledek orang yang membutuhkan operasional belanja manuskrip untuk mencari kebenaran?

Seperti manuskrip Soerkati di bawah ini. Jika Abu Daud tidak sedang berada di Leiden, mungkin saya tidak akan pernah melihatnya. Jika tidak punya teman di Belanda, ya, minimal punya modal untuk beli tiket sampai ke sana dan mengakses manuskrip tersebut di Leiden University, kan?

Apakah semua itu gratis? Gratis gundulmu~

Salam,

Rumail Abbas