Ayah Korban: Sidang KM 50 Manipulasi! Harusnya Fadil dan Dudung yang Diadili di Pengadilan HAM!

 




Kamis, 21 Oktober 2021

Faktakini.info, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggekar sidang kasus pembunuhan di luar proses hukum atau unlawfull killing terhadap enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di tol Jakarta-Cikampek KM 50 digelar hari Senin (18/10/2021). 

Enam umat Islam pengawal Habib Rizieq Shihab yang tewas dibunuh polisi itu adalah Andi Oktiawan, Ahmad Sofiyan (Ambon), Faiz Ahmad Syukur, Muhammad Reza, Lutfi Hakim dan Muhammad Suci Khadavi. 

Namun persidangan ini dinilai hanya manipulasi dan dagelan belaka, sehingga keluarga korban dan tim kuasa hukumnya tidak tertarik untuk hadir di PN Jaksel. 

"Sidang manipulasi. Sidang abal-abal itu tdk akan sedikitpun memenuhi rasa keadilan rakyat, malah justru sebaliknya, semakin menambah kezaliman kalian di mata rakyat. Kalau Mau Adil, Mestinya yg disidang itu fadhil & dudung. Sidangnya bukan di pengadilan negeri, tapi di pengadilan HAM. Sidangnya pun harus sidang atas penyiksaan & pembunuhan di luar hukum terhadap 6 (enam) laskar FPl, bukan terhadap 4 (empat). Karena 6 laskar yg disiksa & dibantai, bukan empat. Ingat terus #6SyuhadaFPI", ujar Ustadz Suhada ayah dari almarhum Faiz di akunnya 

Menurut kuasa hukum keluarga enam laskar FPI, Azis Yanuar SH, sidang tersebut merupakan dagelan para penegak hukum semata.

Karena, lanjut Azis, sejak peristiwa pembunuhan terhadap enam anggota laskar FPI, para tersangka tidak ditangkap maupun dipenjara. 

Dua anggota polisi berinisial FR dan MYO yang diduga menembak enam laskar FPI pengawal Rizieq Shihab di Tol Jakarta-Cikampek tersebut tetap aktif bekerja sebagai anggota polisi Polda Metro Jaya.

"Para pelaku penembakan tidak ditangkap dan ditahan. Menurut Komnas HAM dalam surveilans itu ada surat perintahnya. Jika itu benar, siapa yang memerintahkan? Mengapa yang memerintah tidak diungkap dan tidak ditahan juga. Hal tersebut membuktikan kemungkinan diduga sidang dan proses itu hanya dagelan," kata Azis saat dikonfirmasi, Senin (18/10/2021).

Karenanya, baik Azis maupun pengacara lain yang mewakili keluarga korban, menganggap bahwa sidang dan proses hukum yang menjerat dua tersangka yang merupakan anggota polisi tersebut hanyalah formalitas belaka. Azis mengaku bahkan tidak tertarik untuk mengikuti semua proses dagelan tersebut. 

"Kami tidak tertarik pada dagelan, kami tidak akan (hadir di persidangan)," kata Azis.

Kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI mulai disidang di PN Jaksel pada Senin (18/10). Dua anggota kepolisian aktif, yakni Ipda M Yusmin Ohorella (MYO) dan Briptu Fikri Ramadhan (FR) akan dihadirkan sebagai terdakwa.

Dari hasil investigasi Komnas HAM, pembunuhan enam nyawa tersebut sebagai pelanggaran HAM berupa unlawfull killing atau pembunuhan yang terorganisir tanpa ada dasar hukum. Akan tetapi, dari enam korban pembunuhan tersebut, hanya empat kasus yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan Enam Pengawal HRS (TP3) sebelumnya juga telah menyatakan persidangan ini seolah-olah merupakan proses hukum acara pidana yang wajar, namun sebenarnya merupakan suatu upaya manipulasi untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya.

“Peristiwa yang sesungguhnya terjadi adalah bahwa aparat negara yang terlibat dalam kejahatan telah melakukan “crime against humanity”, atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat,” ujar Ketua TP3 Abdullah Hehamahua dalam pernyataan tertulisnya pada Jumat (8/10/2021).

Dengan adanya rencana persidangan tersebut, TP3 menilai ada upaya dari pemilik otoritas untuk memuaskan tuntutan keadilan masyarakat atas kasus ini.

“Padahal yang terjadi justru rezim sedang berusaha melindungi dan menutupiy pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut. Inilah yang dimasud oleh Buku Putih TP3 sebagai “operation cover up”, jelas Abdullah.

TP3 menilai, pembunuhan yang menurut UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan prinsip-prinsip keadilan yang berlaku, seharusnya diproses melalui Pengadilan HAM.

“Terlihat jelas sedang direkayasa sedemikian rupa, sehingga kejahatan kemanusian yang sistematik dan brutal tersebut hanya dikategorikan sebagai kejahatan biasa, dan diproses oleh PN Jakarta Selatan,” ungkap Abdullah.

Hal ini, kata dia, merupakan bukti bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari rencana sistematis, upaya cover-up, menutup-nutupi kejahatan sebenarnya, paska pembunuhan sadis dan melawan hukum (extrajudicial killing).

Bertolak dari fakta bahwa ternyata tersangka pada perkara pembunuhan tidak ada yang ditahan, bagi TP3 dan pemilik akal sehat, sudah merupakan bukti tersendiri bahwa perkara ini adalah perkara yang direkayasa atau difabrikasi seperti halnya sebuah sinetron atau drama misteri.

Sidang itu sendiri hari ini dimulai pukul 10.30 WIB dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum.

Persidangan dipimpin Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara terdiri atas M Arif Nuryanta selaku hakim ketua serta dua hakim anggota masing-masing Haruno dan Elfian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel