Empat Tahun Menggempur Nasab Habaib, PWI-LS Ambruk oleh Klaimnya Sendiri
Rabu, 31 Desember 2025
Faktakini.info, Jakarta - Empat tahun bukan waktu singkat. Namun setelah rentang panjang itu, satu kesimpulan kian tak terbantahkan: serangan PWI-LS terhadap nasab habaib berakhir sebagai kegagalan telak. Tidak satu pilar nasab runtuh, tidak satu pengakuan ulama diraih, dan tidak satu legitimasi ilmiah berhasil dikunci. Yang tersisa hanyalah kebisingan.
Kelompok yang dipimpin oleh Abbas Tompel dan Imaduddin bin Sarmana bin Arsa sejak awal memosisikan diri sebagai “pembongkar”. Namun seiring waktu, publik melihat pola yang sama: tuduhan berulang, argumen berputar, dan klaim tanpa pengesahan. Di ruang wacana, mereka bukan menembus tembok, melainkan menabrak tembok yang sama berulang kali.
Aktivitas media sosial para pendukung PWI-LS yang kian intens justru dibaca publik sebagai upaya menutup kekosongan hasil. Konten yang diproduksi nyaris setiap hari tidak berbanding lurus dengan dampak. Sebaliknya, konten tandingan dari pihak yang membela nasab habaib tampil lebih rapi: rujukan jelas, sanad disebut, manuskrip dikemukakan. Perbandingan itu telanjang.
Fakta paling keras adalah ini: hingga hari ini tidak ada satu pun lembaga keilmuan kredibel, ulama mu’tabar, atau otoritas nasab yang mengesahkan klaim PWI-LS. Nol. Nihil. Tanpa pengakuan, klaim tinggal opini; tanpa sanad, teriakan tinggal gema.
Gelar Sayyid, Syarif, dan Habaib—yang hendak direbut, dipreteli, atau dipatahkan—tetap berdiri di atas tradisi keilmuan berabad-abad. Ia tidak hidup dari viral, tapi dari sanad. Ia tidak bertahan karena bising, tapi karena ilmu. Dan di titik ini, PWI-LS kehabisan keduanya.
PWI-LS kini terperangkap dalam lingkaran kelelahan naratif: semakin keras menyerang, semakin tipis pengaruh; semakin sering bicara, semakin jelas kebuntuan. Klaim “ilmiah” yang dikumandangkan sejak awal runtuh oleh satu pertanyaan sederhana: di mana pengesahannya?
Pesan bagi publik kian terang: nasab tidak bisa dijatuhkan dengan framing, tidak bisa direbut dengan kanal, dan tidak bisa dibatalkan oleh opini sepihak. Tanpa pengakuan ulama dan bukti yang disepakati disiplin ilmu, semua serangan akan berakhir sebagai catatan kegaduhan—bukan sejarah.
Akhirnya, polemik ini menelanjangi realitas pahit: yang diserang tetap kokoh; yang menyerang kehabisan amunisi. Dalam pertarungan wacana, ilmu menang—bising tumbang.