KENAPA KHILAFAH SELALU DIPERSALAHKAN? APA DOSA KHILAFAH PADA NEGERI INI?

 



Ahad, 5 Oktober 2025

Faktakini.info

KENAPA KHILAFAH SELALU DIPERSALAHKAN? APA DOSA KHILAFAH PADA NEGERI INI?

_[Catatan Pembubaran Acara Pengajian Gus Nur, bersama Dr Roy Suryo, dr Tifa dan Ust Andri Kurniawan di Malang]_

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.

Advokat, sekaligus Pejuang Khilafah

Tulisan ini, tidak mewakili Roy Suryo dkk, yang merupakan klien penulis. Tidak pula, mewakili tim Advokasi, dimana penulis diberi amanah menjadi koordinator non litigasi.


Tulisan ini, adalah konfirmasi kegelisahan penulis yang selain berprofesi sebagai advokat, juga beragama Islam dan meyakini seluruh ajarannya akan memberikan kebaikan bagi negeri ini. Penulis, juga menegaskan adalah aktivis yang konsens memperjuangkan Khilafah dengan pendekatan penyadaran, dakwah, tanpa kekerasan.


Dalam konpers yang diunggah kanal Bang Edy Channel (5/10), Wartawan Edy Mulyadi memimpin konpers terkait pembubaran acara Gus Nur, Gus Nur, Dr Roy Suryo, dr Tifa dan Ust Andri Kurniawan di Kota Malang. Alasannya para pembicara dituduh pemecahbelah, penyebar fitnah dan teror, radikal, intoleransi, dan khusus untuk Gus Nur dituduh menyebarkan Khilafah.


Aneh, tidak nyambung, bahkan ini sebuah fitnah yang kurang ajar pada ajaran Islam, yang diturunkan oleh Allah SWT melalui perantaraan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Sebab, jika seseorang dipersekusi karena melakukan kejahatan, seperti para pezina yang diarak warga, pencuri yang ditelanjangi, koruptor yang dijarah rumahnya, mungkin agak sedikit mendapatkan pembenaran. Karena zina, mencuri dan korupsi adalah kejahatan.


Tapi Khilafah? Kenapa ada pembubaran pengajian berdalih Khilafah? Apakah Khilafah sebuah kejahatan? Apa dasar hukum Khilafah dianggap kejahatan?


Apa dosa Khilafah pada NEGERI ini? Berapa orang yang korup karena mendakwahkan Khilafah? Berapa kerugian keuangan negara karena ajaran Khilafah?


Adapun, jika dalihnya karena HTI yang konsen mendakwahkan Khilafah telah dicabut Badan Hukum Perkumpulannya (BHP), namun status ini tidak mengharamkan dakwah Khilafah. Tidak pernah ada keputusan hukum atau UU yang melarang mendakwahkan ajaran Islam Khilafah.


HTI memang telah dicabut Badan Hukumnya melalui SK Kemenkum HAM R.I. Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI. Namun, sebagai organisasi dakwah Islam bukan berarti HTI bubar atau dibubarkan, apalagi terlarang.


Konsekuensi terbitnya Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 hanya mencabut BHP (Badan Hukum Perkumpulan) HTI. *Karena BHP dicabut, maka konsekuensi logisnya BHP HTI bubar. HTI sebagai organisasi berbadan hukum bubar.*


*Namun, sebagai organisasi masa Islam tak berbadan hukum, HTI masih eksis, sah, legal dan konstitusional.* HTI memiliki hak konstitusional untuk berserikat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan:


_"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."_


Perlu dipahami bahwa ormas bisa didirikan oleh 3 (tiga) orang warga negara Indonesia atau lebih, kecuali ormas yang berbadan hukum baik berbentuk BHP yang berbasis anggota atau dalam bentuk yayasan (Pasal 9 UU Ormas). Ormas berbadan hukum yayasan didirikan dengan tidak berbasis anggota ( Pasal 11 ayat (3) UU Ormas). 


Dalam Pasal 33 ayat (1) UU Ormas disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak menjadi anggota ormas. *Karena itu, HTI tetap sah sebagai Ormas tak berbadan hukum, seluruh anggota HTI yang sebelumnya memiliki SK BHP juga berhak menjadi anggota HTI yang tak berbadan hukum.*


Pasca HTI dicabut BHP nya, maka HTI menjadi Ormas Tak Berbadan Hukum (Pasal 10 UU Ormas). Pasal 10 UU No 17 tahun 2013 ini tidak pernah dihapus atau dibatalkan oleh UU No 16 tahun 2017 tentang Perubahan UU Ormas melalui Perppu Ormas.


Konsekuensi hukumnya, *sebagai Ormas tak berbadan hukum, HTI tetap sah, legal dan konstitusional untuk menjelaskan hak konstitusi berdasarkan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.* Hanya saja, HTI tidak dapat memperoleh bantuan dari Negara, karena bantuan dari negara hanya diberikan kepada Ormas yang berbadan hukum.


Sebagai organisasi mandiri yang tak berbadan hukum, HTI berhak untuk berserikat dan menyampaikan pendapat, termasuk berdakwah ditengah masyarakat. Karena selain hak untuk berserikat dan berpendapat, HTI juga berhak menjalankan ibadat dalam bentuk dakwah, menyampaikan ajaran Islam Khilafah. 


Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, ditegaskan:


_"(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."_


Lagipula, *tidak ada satupun diktum SK Kemenkumham dan Amar Putusan Pengadilan, yang menyatakan HTI dibubarkan apalagi dinyatakan terlarang.*


Untuk memastikannya, mari kita simak kronologi pencabutan BHP HTI sebagai berikut:


*Pertama,* pada tanggal 2 Juli 2014, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar secara resmi menjadi Ormas Islam yang berbadan hukum perkumpulan dengan nomor registrasi AHU-00282.60.10.2014. Pendaftaran ini dilakukan setahun sejak terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).


*Kedua,* pada tanggal 10 Juli 2017, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).


*Ketiga,* pada hari Rabu tanggal 19 Agustus 2017, pemerintah melalui Kemenkum HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI.


*Keempat,* pada tanggal 13 Oktober 2017, HTI menggugat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum ke PTUN Jakarta, dengan registerasi gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT.


Adapun Petitum (tututan) gugatan HTI sebagai berikut:


1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;


2. Menyatakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat dengan segala akibat hukumnya;


3. Memerintahkan Tergugat Mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017;


4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara a quo.


*Kelima,* pada hari Senin, tanggal 7 Mei 2018, Majelis Hakim 

dengan susunan majelis :


1. Tri Cahya Indra Permana, SH., MH sebagai Ketua Majelis;



2. Nelvy Chiristin, SH., MH sebagai Hakim Anggota I;

3. Roni Erry Saputro, SH., MH sebagai Hakim Anggota II;

4. Kiswono, SH., MH selaku Panitera Pengganti;

Memutuskan perkara gugatan HTI Nomor bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT, dengan amar putusan:

M E N G A D I L I

DALAM PENUNDAAN

Menolak permohonan penundaan surat keputusan yang diajukan oleh Penggugat;

DALAM EKSEPSI

Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 455.000,- (empat ratus lima puluh lima ribu rupiah).

*Keenam,* pada tanggal 16 Mei 2018 HTI mengajukan Banding terhadap putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta (PTTUN Jakarta) dengan nomor perkara : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.


*Ketujuh,* pada tanggal 13 September 2018, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, mengeluarkan putusan nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT, dengan susunan Majelis Hakim:

DR Kadar Slamet, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Djoko Dwi Hartono, SH, MH, sebagai Hakim Anggota.

DR Slamet Supartono, SH MHum, sebagai Hakim Anggota.

Jarwo Liyanto, SH MH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amar putusannya:

MENGADILI

1. Menerima permohonan banding dari penggugat/pembanding;


2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, yang dimohonkan banding,


3. Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara pada ke dua tingkat pengadilan yang untuk tingkat pengadilan banding ditetapkan sejumlah Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

Kedelapan, pada tanggal 19 Oktober 2018, HTI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

Kesembilan, pada tanggal 14 Februari 2019, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor: K/KTUN/2019, dengan susunan majelis hakim:

DR H. Supandi, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Is Sudaryono, SH MH, sebagai Hakim Anggota.

Dr H M Hary Djatmiko, SH MS, sebagai Hakim Anggota.

Michael Renaldy, SH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amar putusannya:

MENGADILI:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PERKUMPULAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI).

2. Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara pada tingkat Kasasi sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dari 9 (sembilan) kronologi terkait HTI diatas, dari sejak pendaftaran BHP, pencabutan BHP, gugatan PTUN, banding hingga putusan Kasasi, tidak ada keputusan pembubaran HTI dan pernyataan HTI sebagai Organisasi Terlarang. Seluruh putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi hanya menolak gugatan HTI, yang maknanya HTI resmi dicabut Badan Hukumnya.

Dalam SK Menkum HAM Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 isinya hanya memuat tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI. Tak ada satupun diktum SK yang menyatakan HTI terlarang.

Alhasil, sebagai organisasi masa Islam tak berbadan hukum, HTI tetap eksis, sah, legal dan konstitusional. HTI dan seluruh anggotanya memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Begitu juga Khilafah. *Khilafah adalah ajaran Islam yang sah, legal dan konstitusional, berdasarkan Pasal 29 UUD 1945.* 

Memang benar, sejak status BHP HTI dicabut dakwah Khilafah meredup. Umat Islam, menjadi takut mendiskusikan Khilafah, karena tidak paham. Sementara yang paham, juga ikut menyembunyikan ide Khilafah dengan tidak mendakwahkannya secara terbuka. Seolah, Khilafah barang haram yang tidak boleh disampaikan secara terbuka. [].