Menjaga Martabat Nasab: Pandangan Ulama tentang Kafā’ah dalam Pernikahan Syarifah
Rabu, 24 September 2025
Faktakini.info
Menjaga Martabat Nasab: Pandangan Ulama tentang Kafā’ah dalam Pernikahan Syarifah
Di tengah khazanah fiqih Islam, persoalan kafā’ah (kesepadanan) dalam pernikahan senantiasa menjadi tema penting. Tidak hanya menyangkut sah atau tidaknya akad, tetapi juga menyentuh persoalan kehormatan keluarga, ketentraman rumah tangga, hingga nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi.
Salah satu isu yang sering menjadi perhatian adalah pernikahan seorang Syarifah, keturunan dari Nabi Muhammad ﷺ. Apakah ia hanya boleh menikah dengan sesama Syarif, atau boleh menikah dengan laki-laki Muslim non-Syarif?
*Pandangan Imam Syafi‘i dan Pengikutnya*
Imam Syafi‘i menegaskan bahwa kafā’ah memiliki lima aspek: agama, nasab, profesi, status merdeka, dan terbebas dari aib. Dalam pandangan ini, nasab termasuk unsur penting yang harus dipertimbangkan. Dengan kata lain, seorang Syarifah lebih utama menikah dengan laki-laki dari kalangan Syarif pula.
Pendapat ini lahir bukan semata-mata karena fanatisme keturunan, melainkan karena menjaga hurmah (kehormatan) nasab Rasulullah ﷺ adalah bagian dari menjaga kemuliaan syariat. Jika nasab dijaga, maka potensi fitnah sosial berkurang, dan hak-hak wali dalam pernikahan juga lebih terlindungi.
Sebagian besar fuqaha Syafi‘iyyah bahkan memandang, bila seorang Syarifah dinikahkan dengan laki-laki non-Syarif tanpa kerelaan wali, maka akadnya tidak sah. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya posisi nasab dalam mazhab Syafi‘i.
*Menghormati Pandangan Mazhab Lain*
Meski demikian, ulama mazhab lain memiliki pandangan berbeda. Imam Malik misalnya lebih menekankan kafā’ah pada aspek agama. Abu Hanifah lebih longgar, membolehkan pernikahan semacam itu selama para wali tidak menolak. Dari sini tampak keluasan fiqih Islam yang memberi ruang pilihan sesuai kebutuhan umat.
Namun, perlu dicatat bahwa perbedaan ini bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dipahami sebagai rahmat. Setiap mazhab berangkat dari dalil, realitas sosial, dan metode ijtihad yang berbeda.
*Menutup dengan Kearifan*
Jika ditilik dari kerangka Imam Syafi‘i, maka jelaslah bahwa menjaga kesepadanan nasab adalah jalan yang lebih hati-hati (ahwath). Pernikahan seorang Syarifah dengan sesama Syarif tidak hanya menjaga kehormatan nasab Rasulullah ﷺ, tetapi juga menutup pintu perselisihan di tengah masyarakat.
Bukan berarti pandangan lain tidak bernilai, tetapi mengikuti garis yang ditekankan oleh Imam Syafi‘i dan jumhur Syafi‘iyyah adalah bentuk ihtiyāth (kehati-hatian) dalam agama. Karena pernikahan bukan hanya penyatuan dua individu, melainkan juga penyatuan dua keluarga, dua kehormatan, dan dalam kasus Syarifah: penyambung kemuliaan nasab Rasulullah ﷺ.
Maka, menghormati perbedaan adalah keharusan, tetapi menjaga kemuliaan nasab adalah sebuah keutamaan.
*Ditulis oleh UFN (Ustadz Fahri Nusantara)*