JPU dapat menolak menuntut 12 Terlapor "Ijazah Jokowi Palsu" merujuk Prinsip Oportunitas

 




Senin, 11 Agustus 2025

Faktakini.info

JPU dapat menolak menuntut 12 Terlapor "Ijazah Jokowi Palsu" merujuk Prinsip Oportunitas

Damai Hari Lubis

Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Terhadap kasus tuduhan *_Jokowi ijazah S 1 palsu Fakultas Kehutanan UGM"_* yang merupakan delik aduan (klacht delict) yang kategori unsur-unsurnya mengandung delik pencemaran, hasut atau fitnah, Maka Jaksa yang ditunjuk selaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang memiliki alas hak Oportunitas (opportuniteit) dapat "peluang merusak" hasil penyidikan Pihak Penyidik Reskrimum Polda Metro Jaya dengan pola menolak hasil penyidikan, hak peluang ini dapat dilakukan JPU pasca penetapan Tersangka/ TSK atau sebelum P-21 atau bahkan justru saat berjalannya persidangan oleh sebab data dan fakta kebenaran yang publis datang belakangan sehingga mematahkan dakwaan atau oleh sebab Permohonan Papid atau Putusan Sela.

Adapun kesan bakal penetapan TSK bakal realitas terhadap 12 (dua belas) orang Terlapor karena pokok persolan adanya tuduhan *_Ijazah S 1 Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM adalah Palsu"_* atau intinya berhubungan dan terkait pernyataan pendapat beberapa aktivis dan youtuber yang tersebar melalui video yutub (media mainstream) dan terkait _laporan publik (TPUA) di Dumas Bareskrim Mabes Polri pada tanggal 9 Desember 2024._

Terlepas dari persepsi dan debatebel, atas peluang pengamatan penulis terhadap 'narasi' terkait status TSK terhadap ke 12 orang Terlapor sesuatu yang relatif, namun realitas melalui data "jejak pola kinerja 'oknum' aparat pada *orde Jokowi'*, hal ini ditandai juga, adanya faktor "keanehan" karena oleh Kahumas Polda awalnya secara resmi mengumumkan hanya ada 5 orang Terlapor.

Terkait hak oportunitas JPU selain berdasarkan pasal 108 KUHAP selebihnya dalam didasari Hak Asasi Manusia bagi setiap warga negara (demokrasi) dan menyangkut Hak Kebebasan Menyampaikan Pendapat serta Hak Peran Serta Masyarakat yang dimintakan oleh salah satu pasal yang ada pada seluruh undang-undang serta khusus prinsipnya ada pada Pasal 35 UU. RI No. 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang kedua pasal pada kedua sistim hukum UU KEJARI dan KUHAP memberikan kewenangan kepada JPU untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum.

Namun nota bene, hak oportunitas ini relatif dapat digunakan andai saja JPU melaksanakan Tupoksinya secara objektif, dalam arti "tidak terlibat atau dilibatkan dan atau melibatkan diri" sebelumnya dengan oknum Penyidik Polri untuk menentukan pasal-pasal tuduhan kepada ke 12 Terlapor, dan memang idealnya Anggota Polri dalam melaksanakan Tupoksi harus objektif, mandiri bebas intervensi, profesional dan proporsional.

Oleh sebab hak-hak yang berdasarkan asas legalitas ini lah, akhirnya bisa melahirkan hal alternatif peristiwa hukum akibat kondisi 'relatif'.

Oleh karenanya demi mengantisipasi Pelanggaran Hukum dan HAM kedepannya, Penyidik dan atau JPU. diharapkan tidak melakukan penahanan terhadap Para TSK (hak subjektif Penyidik). Harapan ini tentunya berkesesuaian dengan asas presumption of innocence (Praduga tak bersalah Jo. KUHAP), karena segala akhir dari peristiwa hukum a quo dalam praktik proses hukumnya tendensi kerap kental dengan nuansa politik kekuasaan, sementara pertimbangan dari sisi hukum, terkait perkara *_Jokowi Ijazah S- 1 Palsu_* ini serba relatif penyelesaiannya termasuk bakal putusan hakim kelak. Tentu tidak mustahil Majelis Hakim demi hukum memutus vonis bebas (onslag) atau oleh sebab lahirnya diskresi prerogatif "penguasa republik" akibat munculnya gejala-gejala dinamika dengan berbagai perkembangan sosial politik ditengah kehidupan masyarakat di tanah air.