Jawaban untuk Tuduhan terhadap Habib Usman bin Yahya: Antara Dusta, Dendam, dan Data
Sabtu, 2 Agustus 2025
Faktakini.info
π "Jawaban untuk Tuduhan terhadap Habib Usman bin Yahya: Antara Dusta, Dendam, dan Data"
Menjawab Nyinyiran Rahmat Rara Hidayat
Tuduhan bahwa Habib Usman bin Yahya adalah antek Belanda yang didatangkan VOC untuk melemahkan perjuangan pribumi adalah contoh sempurna bagaimana kebencian menumpulkan akal dan melemahkan adab ilmiah.
Mari kita urai satu per satu, agar tidak semua yang berteriak paling keras dikira paling benar.
1. Habib Usman bin Yahya tidak “didatangkan” oleh VOC atau Belanda
Fakta sejarah menunjukkan bahwa beliau lahir di Batavia tahun 1822, bukan “impor” dari Hadramaut atas permintaan kolonial. Beliau menempuh pendidikan agama selama lebih dari dua dekade di Makkah, Hadramaut, dan kota-kota pusat ilmu lainnya. Setelah kembali ke Batavia pada 1862, barulah ia dikenal luas sebagai ulama terkemuka, dan diangkat sebagai Mufti.
Tuduhan bahwa ia didatangkan VOC adalah kebohongan terang-terangan. Tidak ada satu dokumen pun yang membuktikan klaim ini—dan tentu saja, VOC sendiri sudah dibubarkan sejak tahun 1799, 23 tahun sebelum Habib Usman lahir.
Jadi kalau tuduhan itu dilontarkan, tapi tak bisa dibuktikan secara ilmiah, kita tak sedang berdialog—kita sedang menghadapi dongeng propaganda yang dibungkus kebencian.
2. Soal Fatwa Melawan Penjajah? Mari Jangan Potong Konteks
Habib Usman pernah menulis dalam kitab Manhaj al-Istiqamah fid-Din bis-SalΔmah (hlm. 22), bahwa perlawanan bersenjata pada peristiwa Geger Cilegon 1888 tidak memenuhi syarat jihad syar’i. Itu bukan berarti beliau pro-penjajah, tapi karena ia tahu: menyuruh umat Islam yang tidak siap untuk berperang melawan senjata modern tanpa persiapan matang, adalah mengantar mereka pada kehancuran sia-sia.
Beliau memilih peran intelektual—bukan frontal, dan menilai perjuangan harus ditimbang dengan syarat-syarat syariat, bukan sekadar semangat membara tanpa perhitungan.
Dan mari kita jujur: berani berijtihad dalam tekanan kolonial bukan hal mudah. Mereka yang hanya bisa mengutuk dari jauh, mungkin belum pernah tahu bagaimana rumitnya menjadi pemimpin umat dalam kekuasaan yang menindas.
3. Menyeret-nyeret nasab Ba’alawi sebagai “pengaku-ngaku” adalah kebodohan sejarah
Ketika kritik mulai menyerempet ke arah “Habib Ba’alawi bukan keturunan Nabi”, di sinilah tercium aroma bukan sekadar debat sejarah, tapi dendam nasab. Di titik ini, pembahasan sudah keluar dari nalar akademik, masuk ke wilayah kebencian keturunan.
Padahal, jalur Ba’alawi tercatat dalam ribuan manuskrip, sanad, dan tradisi ilmu yang disaksikan ulama besar dunia Islam. Tidak mungkin jalur ini bertahan lebih dari 13 abad jika hanya berdasarkan “pengaku-ngaku.” Tuduhan semacam ini lebih cocok disebut hasutan berbalut ilusi, bukan riset sejarah.
4. Yang bersuara keras, bukan berarti benar. Yang tak bisa menunjukkan bukti, tak punya nilai ilmiah.
Ucapan seperti:
"Silakan browsing sendiri fatwanya."
Ini bukan metode ilmiah. Kalau seseorang menuduh dengan serius, ia wajib menyebut:
Nama kitabnya
Tahun terbitnya
Halaman berapa kutipan fatwa yang dimaksud
Tanpa itu, tuduhan hanya menjadi fitnah murah yang bergantung pada Google dan kebencian pribadi.
✊ Penutup: Habib Usman bin Yahya Bukan Jongos, Tapi Penjaga Umat
Habib Usman bukan jongos. Ia tidak menjual dirinya kepada kolonial. Ia memilih jalan perjuangan lewat pena, lewat ilmu, lewat dakwah yang rapi dan sistematis—di saat banyak orang hanya bisa berteriak atau menuduh tanpa isi.
"Kalau setiap ulama yang tidak mengangkat senjata disebut antek, maka kebanyakan pendiri pesantren adalah pengkhianat. Tapi sejarah tak berpihak pada penghakiman liar—sejarah berpihak pada kontribusi nyata."
Dan jika seseorang masih menyebutnya “Jongos Yaman”, mungkin yang perlu ditinjau ulang bukan jalur nasab, tapi etika dalam berdiskusi.