Habib Abubakar Alatas Pejuang yang Gugur dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang Tahun 1945
Ahad, 17 Agustus 2025
Faktakini.info, Jakarta - Nisan di Taman Makam Pahlawan ini, orang Jawa atau Tionghoa? Jelas bukan. Fix dia Arab. Jelas dari marganya. Lokasinya ada di Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.
Tercatat dia gugur di usia muda pada 16 Oktober 1945, saat pertempuran Lima Hari di Semarang yang menghentak itu. 15-19 Oktober 1945. Ribuan pemuda Indonesia melawan serdadu Jepang yang ogah menyerah. Alatas gugur, entah karena sabetan katana prajurit musuh entah pula kena pelor Arisaka milik anggota Rikugun yang pantang meletakkan senapan.
Yang pasti, selain pejuang, dia tercatat bagian dari AMRI alias Angkatan Muda Republik Indonesia. Organisasi terakhir ini lekat sikapnya yang kiri dan fanatik pada Tan Malaka. Pimpinan AMRI, Ibnu Parna, berhasil menghimpun pemuda pejuang lintas etnis: Jawa, Sunda, Batak, Manado, Tionghoa dan Arab, di bawah bendera AMRI, yang di era 1945 terkenal kenekatan dan sikap radikalnya.
(Foto dari FB Mas Hendijo, jurnalis yang telaten menghimpun dan menulis kabar dari era kemerdekaan, baik melalui penuturan pelaku sejarah maupun penelusuran monumen dan penanda perjuangan lainnya)
***
Ketika reformasi bergulir dan sentimen anti-Tionghoa menyebar, yang menarik adalah Gus Dur malah kesana kemari, baik sebelum maupun sesudah menjabat presiden, bicara dan menulis tentang John Lie, perwira militer keturunan Tionghoa yang turut andil menerobos blokade Sekutu melalui kapal lincahnya, The Outlaw, saat perang kemerdekaan. Di kemudian hari Presiden SBY mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional, 2009; dan TNI AL menyematkan namanya sebagai kapal perang, KRI John Lie (358), korvet kelas Bung Tomo.
Di tengah narasi sejarah Orde Baru yang militeristik, Jawa sentris, dan TNI-AD sentris, nama John Lie nyaris tidak pernah disebutkan dalam narasi heroisme revolusi fisik. Dia dari TNI-AL, bukan AD yang mendominasi dan tentu karena dia dari Tionghoa. Minoritas yang sering dikambinghitamkan dalam masalah yang ada di era Orde Baru.
Gus Dur berusaha menyeimbangkan wacana. Ini percikan sikap tawazun dan tawasuth dalam berpikir dan bertindak. Tidak ikut arus, tidak melawan arus melainkan menciptakan arus tersendiri berdasarkan hasil bacaan, pergaulan dan pengalamannya. Seingat saya, selain John Lie, nama Yap Tiam Hien sang pendekar hukum dan HAM itu beberapa kali disebut oleh Gus Dur. Termasuk pengarang Tionghoa dengan cerita silatnya yang melegenda, Asmaranan Sukowati Kho Ping Hoo.
***
Saat ini di medsos juga banyak arus anti-Arab, lebih tepatnya Anti-Baalawi. Kecenderungan menolak apapun yang identik dengan Alawiyyin ini.
Di satu sisi bisa dilacak jika musababnya lantaran sebagian oknum klan ini sering memainkan narasi over-claim dan over-proud, khususnya pada tanah kelahiran dan leluhurnya. Juga polah tingkahnya yang berlebihan. Lahar protes dan ketidaksukaan yang menyembur seiring dengan munculnya Kiai Imaduddin Utsman hingga saat ini.
Dan, pada akhirnya, sebagaimana yang kita jumpai sikap anti-Tionghoa di awal reformasi, ada jalinan beragam faktor yang berkait kelindan terhadap narasi anti-Baalawi di medsos hari ini. Tapi tentu kita tidak bisa membenarkan narasi anti-antian ini semuanya. Yang berlebihan itu tidak baik.
Indonesia, sebagai rumah bersama, dibangun bersama-sama lintas etnis dan beragam pemeluk agama. Semua punya andil dan saham kemerdekaan Indonesia.
Pahlawan kemerdekaan dari setiap etnis dan kelompok, tercatat atau tidak; ada nisan di taman makam pahlawan atau tidak; semua ada. Pengkhianat dari setiap etnis? Juga ada.