Bukan Beda Arah, tapi Beda Dasar: Membongkar Narasi “Fitnah” PWI-LS soal KH. Imaduddin
Sabtu, 9 Agustus 2025
Faktakini.info
"Bukan Beda Arah, tapi Beda Dasar: Membongkar Narasi “Fitnah” PWI-LS soal KH. Imaduddin"
✍️ Tamzilul Furqon
1. “Difitnah karena berbeda pandangan” — padahal ini tentang model klaim yang tak ilmiah
PWI-LS bilang Imad difitnah karena beda pandangan? Tapi sejatinya, yang dipersoalkan adalah klaim “tesis yang tak bisa dibantah” — sebuah pernyataan tanpa forum akademik, penguji, atau metodologi yang terbuka. Masyarakat berhak menuntut penjelasan—bukan sekadar menerima narasi tanpa argumentasi. Toh belum ada bukti ia pernah menyajikan “tesis itu” di forum ilmiah manapun.
Tanpa kejelasan metode dan forum yang transparan, itu lebih cocok disebut opini memukau daripada tesis.
---
2. “Kitab Al-Fikrotunnahdiyyah” — bukannya memperkaya, malah dituduh banyak menyontek dari sumber Wahabi
Imaduddin dianggap menyumbangkan wawasan NU melalui kitab tersebut. Nyatanya, ada ulasan oleh Lora Muhammad Ismael Al Kholilie yang menunjukkan banyak konten mirip materinya ditemukan di situs yang identik dengan pemikiran Wahhabi (Bisa dicek langsung diakun FB beliau, lengkap dengan bukti buktinya).
Jika benar banyak “copy-paste”, maka ini bukan kontribusi ilmiah, tapi plagiarisme yang merusak integritas keilmuan. Maka tepat PBNU melarang keterlibatan PWI-LS karena dikhawatirkan malah menyebarkan paham asing itu dalam baju NU.
---
3. “Aktivis EFPEi sebagai kendaraan politik” — Ini bukan kontroversi kosong
Ada catatan bahwa Imad pernah jadi Ketua DPC FpeI di Kresek dan menciptakan lagu “Ya Habibana Riz13q Sy1hab”, yang diakui olehnya sendiri .
Kalau bergabung ke ormas lalu mencalonkan diri sebagai bupati bukan hal baru di dunia politik. Namun kalau pula ia menulis kitab dengan kemiripan konten Wahhabi—lalu kembali ke NU—harus dipertanyakan: apakah istiqamah ilmunya? Ataukah ada motif lain di balik klaim "kembali kepada nahdiyin"?
---
4. “Karyanya < 25 kitab berarti alim” — bukan begitu cara ilmiah mengukurnya
Menulis banyak tidak berarti berkualitas. Banyak orang mengomentari—termasuk Lora Muhammad Ismael—bahwa sebagian isi kitab-kitab Arabnya tampak mirip materi online; apaka tidak menutup kemungkinan bahasa arab yang dirangkai saat menuli juga hasil google translate?. Boleh saja jadi ulama produktif, tetapi kalau struktural ilmunya dipertanyakan—itu bukan kontribusi, itu kwitansi meneruskan narasi dangkal.
---
5. “Pesan damai dan nggak balas fitnah” — tapi siapa yang fitnah duluan?
PWI-LS mengklaim Imad tidak membalas fitnah. Faktanya, dia seringkali menyebarkan ucapan tanpa rujukan ilmiah dan ucapan yang dianggap meniadakan sanad Ba‘Alawi—itu bukan adab tabayun, itu fitnah balik. Bahkan dari narasi tak berdasarnya sampai terjadi bentrokan antara PWI-LS dan jamaah EPpei, ini yang menjadi kekhawatiran PBNU akan adanya konflik horizontal yang perlu diantisipasi oleh negara.
Jadi, kalau mau damai, ayo mulai dengan menghentikan narasi yang menyesatkan dan menggoyang ukhuwah.
---
> “Bukan soal siapa yang pindah haluan dari EFfiPI ke NU, itu bisa dimaklumi. Tapi kalau klaim ilmiahnya setengah, copy-paste, tanpa sanad, lalu malah minta immunity narasi—itu bukan keberanian agama, itu pencitraan digital yang mengabaikan syariat dan sanad.”