Baalawi: Bukti Tertulis Bahwa Ia Pejuang Kemerdekaan, Bukan Antek Penjajah

 



Ahad, 17 Agustus 2025

Faktakini.info

Tamzilul Furqon

"Baalawi: Bukti Tertulis Bahwa Ia Pejuang Kemerdekaan, Bukan Antek Penjajah"

Sejarah tidak bisa dibantah dengan ocehan. Ia berbicara lewat bukti, dokumen, dan catatan resmi yang disahkan negara. Dan hari ini, kita punya bukti itu—hitam di atas putih—dokumen berjudul “Riwayat Singkat Perjuangan Komponen Angkatan 45” yang ditandatangani sendiri oleh H. Ali Muhsin Al-Hamid atau dikenal dengan sebutan Habib Ali Al Hamid, pada 27 Juli 1988, di Pasuruan.

Dokumen ini bukan karangan, bukan dongeng lisan, apalagi sekadar klaim keluarga. Ada tanda tangan beliau, ada stempel, ada pengesahan dari Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Kabupaten/Kotamadya Pasuruan. Artinya, negara mengakui dan mencatat jasa Baalawi sebagai pejuang 45.

📜 Isi dokumen tersebut jelas:

Sejak detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945, Baalawi sudah masuk dalam barisan Kesatuan Pemuda Indonesia dan BKR di Lawang.

Ia ikut dalam Clash I: berjuang di Lawang, Banyuwangi, Muncar, Malang, hingga Surabaya bersama laskar Hizbullah—pasukan pemuda Islam yang menjadi garda terdepan revolusi.

Ia hadir di Clash II: mempertahankan garis pertahanan di Gempol dan Pandaan, bergabung dengan TNI di bawah Panglima Sudjai, sampai ikut dalam Brigade XVI (Warau) Batalyon Pudjosudarno.

Ia terluka di medan tempur, meninggalkan cacat mata kiri dan luka permanen di siku tangan kanan akibat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Pertanyaannya: dengan bukti sekuat ini, apakah masih pantas ada mulut-mulut yang tega menuduh bahwa sadah Baalawi sama sekali tidak punya peran dalam kemerdekaan Indonesia?

Menariknya , ternyata Ali Bin Mukhsin Al hamid adalah saudara kandung dari Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid Tanggul—ulama besar yang hingga kini harum namanya—dan beliau juga masih keluarga dekat Habib Mudhor Tanggul yang kini tak henti-hentinya dihina oleh para pembegal nasab. Mereka berteriak lantang menyebut “tidak ada andil”, padahal dokumen perjuangan ini menyodorkan fakta yang tak terbantahkan.

Mari kita jujur: siapa yang lebih layak disebut pejuang? Seorang lelaki yang turun ke medan perang, terluka demi republik, mendapat pengakuan resmi negara? Ataukah mereka yang kini hanya sibuk membegal nasab orang lain, menebar caci maki di mimbar dan media sosial?

Habibib Ali dari sadaah baalawi jelas bukan antek Belanda. Ia adalah saksi hidup perjuangan, darahnya tercurah di Lawang, Malang, Pandaan, hingga Surabaya. Dan menuduh keluarganya tak punya andil dalam kemerdekaan adalah bentuk buta sejarah sekaligus kedzaliman intelektual.

Sejarah sudah menulis dengan tinta darah, sementara para pembegal nasab hanya menulis dengan ludah fitnah. Mana yang akan dipercaya oleh generasi mendatang?