POLDA METRO JAYA TIDAK BOLEH SEWENANG-WENANG (Kasus Dugaan Ijazah Palsu Jokowi)
Rabu, 16 Juli 2025
Faktakini.info
POLDA METRO JAYA TIDAK BOLEH SEWENANG-WENANG
by M Rizal Fadillah
Sebagai penegak hukum Polda semestinya berdiri obyektif dalam menunaikan tugasnya. Kasus dugaan ijazah palsu Joko Widodo adalah kasus besar yang menjadi perhatian rakyat dan bangsa Indonesia. Pertanyaan yang hingga kini belum terjawab dan memiliki kepastian hukum adalah ijazah Joko Widodo itu asli atau palsu ? Kepolisian yang sehari-hari berada di ruang hukum tentu sangat faham akan hal ini. Belum ada Putusan Pengadilan manapun yang dapat dijadikan acuan hukum. Menduga atau bahkan meyakini ijazah itu palsu adalah sah-sah saja.
Laporan Joko Widodo yang diterima dan diproses cepat sangatlah aneh, modal bukti utama ternyata hanya foto copy ijazah. Untuk delik pencemaran atau fitnah sangat tergantung pada alat bukti utama ijazah tersebut. Itu harus berbasis ijazah "asli" milik Joko Widodo yang diserahkan kepada Polda Metro Jaya. Menerima secarik fotocopy adalah kesalahan fatal. Setingkat Polsek pun akan berhati-hati untuk hal seperti ini.
Menghimpun atau menarik berbagai laporan berbagai Polres ke Polda Metro Jaya bagus saja untuk alasan efisiensi apalagi dengan alasan adanya delik yang bersinggungan, yakni terkait tudingan ijazah palsu Joko Widodo. Yang paling tepat justru seluruhnya ditarik ke Bareskrim Mabes Polri karena kasus hukum pokok adalah dugaan ijazah palsu Joko Widodo yang dilaporkan atau diadukan oleh TPUA.
Namun ternyata penghimpunan seluruh laporan ke Polda Metro Jaya itu telah disimpangkan dari tujuan hukum yang benar.
Sekurangnya ada tiga fenomena penyimpangan, yaitu :
Pertama, terjadi manipulasi dan pengaburan pasal-pasal yang dituduhkan. Terkesan ada "borongan pasal", "borongan terlapor" dan "borongan pelapor". Tumpang tindih dan terbuka jeratan pertanyaan pada pemeriksaan kelak.
SPDP yang diajukan Polda Metro Jaya kepada Kejaksaan Tinggi menunjukkan betapa kacaunya pasal-pasal yang dituduhkan serta jumlah terlapor yang terkesan dipaksakan.
Kedua, Berita Acara Klarifikasi yang memuat keberatan atas laporan pihak-pihak yang tidak kompeten atau tidak jelas 'legal standing' nya diabaikan dan tidak dipertimbangkan. Tiba-tiba muncul narasi telah ditemukan unsur pidana. Tidak ada alasan transparan tentang unsur pidana mana yang dapat menaikkan status ke tingkat penyidikan.
Ketiga, gelar perkara yang dilakukan sembunyi tanpa pelibatan terlapor dinilai melecehkan hak-hak terlapor. Polda Metro Jaya bertindak sewenang-wenang. Kualifikasinya adalah cacat hukum sekaligus merupakan pelanggaran HAM. Bertentangan dengan prinsip "integrated criminal justice system".
Indikasi pelanggaran HAM, manipulatif, dan "menyalip" penyelidikan di tingkat Bareskrim Mabes Polri merupakan praktek penegakan hukum yang tidak sehat. Kondisi pemeriksaan di Polda Metro Jaya terendus gejala hanya untuk memenuhi kepentingan Joko Widodo semata.
Diperlukan pengawasan masif dan seksama dari berbagai elemen masyarakat. Polda Metro Jaya harus berjalan ajeg, obyektif, dan profesional. Kriminalisasi tidak boleh terjadi. Harus netral dan tidak menempatkan institusi sebagai pelayan kepentingan seseorang yang bernama Joko Widodo.
Polda Metro Jaya yang meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan tanpa sandaran hukum yang memadai dan sangat tendensius telah menimbulkan dugaan bahwa telah terjadi kriminalisasi atas terlapor atau terbidik.
Lucu dan mengerikan ada 12 nama terlapor yang muncul dalam SPDP ke Kejaksaan Tinggi DKJ yaitu Eggi Sudjana, Rizal Fadillah, Kurnia Tri Royani, Rustam Effendi, Damai Hari Lubis, Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauzia Tyassuma, Abraham Samad, Mikhael Sinaga, Nurdian Susilo, dan Aldo Husein.
Memang mengerikan kerja Polda Metro Jaya ini.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 16 Juli 2025