INVASI IRAN, KONSTELASI POLITIK GLOBAL DAN AKHIR DARI ERA UNIPOLAR AMERIKA

 



Ahad, 22 Juni 2025

Faktakini.info

INVASI IRAN, KONSTELASI POLITIK GLOBAL DAN AKHIR DARI ERA UNIPOLAR AMERIKA

Oleh: Ahmad Khozinudin

Sastrawan Politik 

Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, benar-benar membelakkan mata dunia. Serangan ini, mengakhiri mitos kedigdayaan Israel, baik dari sisi intelejen, teknologi, politik dan kekuatan militernya.

Selama ini, mitos yang dihembuskan Israel adalah bahwa negara zionis ini mengklaim memiliki berbagai keunggulan di bidang intelejen, teknologi, politik dan kekuatan militernya. Namun, serangan rudal Iran merontokkan semua klaim tersebut.

Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, mengkonfirmasi kegagalan intelejen Israel. Sehingga tak mampu melakukan deteksi dini, untuk mengambil sejumlah tindakan antisipasi.

Israel hanya bisa melotot, dan melongo memandangi Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel. Tanpa mampu melakukan tindakan perlawanan atau setidaknya pertahan yang berarti.


Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, juga mengkonfirmasi betapa ringkihnya teknologi sistem pertahanan Israel. Iron Dome, proyek pertahanan miliaran dolar AS, ternyata sangat mudah dipecundangi rudal Iran, semudah bola sepak yang menjebol gol tanpa penjaga gawang. 


Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, juga mengkonfirmasi betapa presisi sasaran rudal, meskipun dari jarak yang jauh dan dengan kecepatan yang luar biasa. Sekali lagi, teknologi rudal Iran ini, berada didepan Israel, bukan hanya beberapa langkah, melainkan ratusan langkah didepan Israel.


Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, juga mendeligitimasi posisi Israel di pentas Global. Bukan hanya tak mendapatkan dukungan publik, Israel bahkan banyak mendapat nyinyiran netizen global. Banyak pihak, khususnya dunia Islam yang tidak diam, akan tetapi malah berteriak dengan pekikan takbir, bersyukur atas serangan Rudal Iran ke Israel, bangsa yang selama puluhan tahun lebih menzalimi umat Islam di Palestina.


Hanya saja, jika dialami dengan seksama, Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, juga merupakan pukulan telak terhadap intelejen, teknologi, politik dan kekuatan militer Amerika, disebabkan beberapa alasan:


*Pertama,* serangan Rudal Iran ke Israel ini juga mengungkap kegagapan intelejen Amerika yang tak mampu melakukan deteksi dini, untuk mengambil sejumlah tindakan antisipasi. Mengingat, banyak kepentingan Amerika baik secara politik, ekonomi dan militer yang terdampak oleh serangan Iran.


Secara ekonomi dan politik, Amerika kehilangan kendali atas kawasan. Sehingga, Amerika tak dapat lagi menjadi 'Preman Pasar di Kawasan' dan kedepan kemungkinan tak bisa lagi memaksa mengutip jatah preman (japrem), untuk setiap transaksi bisnis internasional, juga terhadap lalulintas kapal niaga di kawasan. Amerika potensial akan mendapatkan kehilangan sejumlah kepentingan ekonomi dari wilayah ini.


*Kedua,* secara politik dan militer Amerika tak dapat melindungi Israel yang merupakan kanker ganas, yang sengaja ditanam Amerika di jantung kawasan negeri Islam untuk menciptakan instabilitas kawasan. Biasanya, Amerika yang meminta Israel ribut di kawasan, lalu mengirimkan pasukannya untuk intervensi kawasan.


Namun kali ini, justru Iran yang mengambil kendali 'instabilitas kawasan' dengan memukul telak Israel. Amerika, tak sepenuhnya dapat mengendalikan kawasan meskipun mendapatkan dukungan dari sejumlah Negara Eropa yang mengecam serangan Iran ke Israel.


Disisi lain, justru sejumlah negeri Muslim memberikan dukungan kepada Iran, seperti Afghanistan dan Pakistan. Rusia yang selama ini berseteru dengan Amerika melalui perang Ukraina, segera menempatkan dukungan  politiknya kepada Iran. Rusia, segera menggunakan hak veto di PBB, untuk melindungi kepentingan Iran.


Kapal perang Amerika yang dikirim melintasi selat Malaka menuju teluk Persia, dipastikan hanya dijadikan alat tawar untuk menutupi kegagalan Amerika mengontrol kawasan, agar tak malu dalam panggung global. Apalagi, didalam negeri, Amerika tak mendapatkan dukungan rakyatnya untuk melakukan intervensi mendukung Israel, untuk melawan Iran.



*Akhir dari era politik UNIPOLAR Amerika*


Serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, diyakini akan menjadi penanda akhir dari era politik UNIPOLAR Amerika, yang begitu sombongnya ingin mengatur dunia sendirian. Dunia, akan kembali diatur dengan pola politik Multipolar, dimana semua negara memiliki peran untuk mengatur dunia.


Politik UNIPOLAR Amerika, benar-benar telah menghancurkan dunia. Amerika, sendirian menentukan masa depan dunia, dan dengan congkak menyatakan pada dunia 'Anda bersama Amerika atau anda bersama teroris'. Pasca pernyataan sombong ini, dunia Islam dihancurkan oleh Amerika dengan dalih memerangi terorisme.


Irak, Afghanistan dan palestina, adalah bukti kongkrit kerusakan dari politik UNIPOLAR Amerika.


Sejarah pengaturan panggung dunia ini memang beredar, Laksana roda pedati. Pada era inggris menjadi Adi daya, inggris juga berusaha menggunakan politik UNIPOLAR, dan hanya melibatkan Perancis sebagai Satpam Inggris, untuk mengatur, menguasai dan mengeksploitasi dunia untuk melayani kerakusan inggris.


Saat terjadi perang dunia, pengaruh inggris meredup. Dunia, menjadi Multipolar, banyak Negara pemain yang ikut mengatur dunia. Ada Jerman, Inggris, Perancis, Uni Soviet, hingga Amerika.


Namun, setelah Amerika dan Uni Soviet mengakhiri era perang dingin dan mengadopsi politik 'Detente', dunia menjadi dikuasai secara bipolar. Amerika dan Uni Soviet, menjadi dua negara pengatur dunia, hingga akhirnya Amerika mampu menyuntikkan racun demokrasi ke tubuh Uni Soviet, akhirnya Uni Soviet runtuh pada tahun 1991.


Pasca Uni Soviet runtuh, sejak itulah Amerika berusaha memainkan peran politik global dengan pola UNIPOLAR. Amerika, mengklaim menjadi polisi dunia yang ingin mengatur dunia sendirian.


Sejatinya, serangan rudal Iran yang bertubi-tubi menghantam sejumlah target di sejumlah wilayah Israel, tidak bisa mendamaikan dunia hanya dengan mengakhiri dominasi Amerika dan mengembalikan dunia kepada seluruh negara untuk diatur bersama. Pengaturan Multipolar dengan asas materialisme, pragmatisme yang merupakan pengejawantahan ideologi kapitalisme, akan mengulangi kesengsaraan dunia, dan kembali menimbulkan tragedi kemanusiaan.


Dunia, butuh diatur secara UNIPOLAR oleh kekuatan yang memang berorientasi untuk memanusiakan manusia, mengembalikan manusia pada fitrah, sebagai hamba Allah SWT yang memiliki visi untuk beribadah kepada Allah SWT, sekaligus memakmurkan bumi.


Era UNIPOLAR yang dipimpin oleh institusi Khilafah, insyaallah sebentar lagi akan tegak, dalam waktu yang tidak terlalu lama. Keyakinan Khilafah akan segera tegak, sulit dipungkiri karena saat ini Amerika dan Rusia sebagai representasi ideologi Kapitalisme dan Sosialisme, sedang berada pada titik lemah dalam semua kondisi dan keadaan.


Serangan Iran menguatkan mental umat Islam sebagai Khairu Ummah dan akan memantik persatuan global. Dan tentu saja, umat Islam dunia hanya bisa disatukan dengan institusi Khilafah, sebagaimana dahulu umat Islam disatukan dengan Khilafah. [].

...

Versi dalam bahasa Inggris:

IRAN’S INVASION, THE GLOBAL POLITICAL CONSTELLATION, AND THE END OF AMERICA’S UNIPOLAR ERA


By: Ahmad Khozinudin

Political Essayist


Iran’s relentless missile strikes on multiple targets across various regions in Israel have stunned the world. These attacks have shattered the myth of Israel’s invincibility—whether in intelligence, technology, politics, or military strength.


Until now, Israel has projected an image of superiority in intelligence, technology, politics, and military capability. However, Iran’s missile strikes have dismantled these claims entirely.


The repeated missile strikes launched by Iran confirmed the failure of Israeli intelligence, which was unable to detect the attacks early or take preventive action. Israel could only watch in disbelief as missiles rained down on its territory, incapable of mounting an effective defense or meaningful counterattack.


The strikes also exposed the vulnerability of Israel’s much-hyped defense systems. The Iron Dome—an American-funded multi-billion dollar project—proved ineffective against Iranian missiles, which penetrated it with the ease of a soccer ball bypassing an empty goal.


Moreover, the precision of Iran’s missiles, launched from long distances at high speeds, confirmed that Iran’s missile technology is not just a few steps ahead of Israel’s, but hundreds of steps ahead.


The attacks also delegitimized Israel’s position on the global stage. Rather than garnering sympathy, Israel faced widespread criticism, particularly from global netizens. Many in the Muslim world did not remain silent—instead, they openly celebrated Iran’s strike, praising it as justice served against a nation that has long oppressed Muslims in Palestine.


However, if examined more deeply, these missile strikes also dealt a severe blow to America’s intelligence, technology, politics, and military for several reasons:


First, the Iranian missile strike exposed the inability of American intelligence to anticipate or prevent the attack—despite America’s vast political, economic, and military interests in the region. The U.S. lost control over the region and can no longer act as the “regional gangster,” collecting “protection fees” from international business transactions and shipping routes. America now stands to lose considerable economic interests in this part of the world.


Second, politically and militarily, the U.S. failed to protect Israel—its strategic foothold in the Middle East, deliberately planted to destabilize the Islamic region. Traditionally, the U.S. would incite regional chaos via Israel, then use that chaos as a pretext to intervene militarily. But this time, Iran took the initiative, delivering a blow to Israel and seizing control of the regional instability.


Even with support from several European countries condemning Iran’s actions, the U.S. was unable to maintain control. In contrast, several Muslim nations, including Afghanistan and Pakistan, expressed support for Iran. Russia, which has been at odds with the U.S. through the Ukraine war, quickly aligned itself with Iran politically—vowing to use its UN veto power to protect Iran’s interests.


The U.S. warships dispatched through the Strait of Malacca toward the Persian Gulf were nothing more than a bargaining tool—a cover to conceal America’s loss of regional control and to save face on the world stage. Domestically, there is also little public support in the U.S. for intervening in defense of Israel or engaging Iran.



The End of America’s UNIPOLAR Political Era


Iran’s missile attack on Israel may well mark the end of America’s unipolar dominance—the arrogant notion that it alone can dictate the world order. The world is now shifting back to a multipolar political system, where all nations have a voice in shaping global affairs.


America’s unipolar policy has wrought devastation across the globe. It unilaterally decided the world’s future and arrogantly declared, “You are either with America or with the terrorists.” Under this pretense, it unleashed destruction upon the Islamic world in the name of fighting terrorism.


Iraq, Afghanistan, and Palestine are concrete examples of the devastation caused by America’s unipolar agenda.


History shows that global power dynamics are cyclical, like a turning wheel. During the British Empire’s heyday, Britain also tried to impose a unipolar order, using France as its sidekick to dominate and exploit the world for its own greed.


However, after the World Wars, Britain’s influence waned. The world became multipolar, with many players—Germany, Britain, France, the Soviet Union, and the United States—sharing global authority.

Eventually, during the Cold War, global politics became bipolar, dominated by the U.S. and the Soviet Union. But once America injected the poison of democracy into the Soviet Union, it collapsed in 1991.


Since the fall of the USSR, the U.S. has tried to impose a unipolar order, claiming to be the “world police” and attempting to govern the planet on its own.

In truth, Iran’s missile attacks on Israel will not alone bring peace to the world merely by ending U.S. domination. If the world continues to operate under a materialistic, pragmatic multipolar system rooted in capitalist ideology, humanity will suffer again, and new humanitarian crises will arise.

What the world truly needs is a unipolar order—but one led by a force dedicated to uplifting humanity, restoring human dignity, and realigning mankind with its divine purpose: to serve Allah (SWT) and prosper on Earth.

The unipolar era led by the Khilafah, inshaAllah, will soon rise—not long from now. The belief that the Khilafah will return is increasingly undeniable, especially as both America and Russia—symbols of capitalism and socialism—are now at their weakest points.

Iran’s bold action has invigorated the spirit of the Muslim Ummah and may ignite a wave of global unity. And undoubtedly, the only true force capable of uniting the Muslim world is the Khilafah—just as it once did before. []