TRUMP, CHINA, PERANG DAGANG & HUKUM BESI TENTANG AKUMULASI MODAL YANG MENYENGSARAKAN MANUSIA

 



Kamis, 1 Mei 2025

Faktakini.info

TRUMP, CHINA, PERANG DAGANG & HUKUM BESI TENTANG AKUMULASI MODAL YANG MENYENGSARAKAN MANUSIA

Oleh: Ahmad Khozinudin

Sastrawan Politik 

Saya kira, pembaca setuju dengan saya. Walau agak dengan rasa malu, kita terpaksa harus angkat topi untuk Pemerintah China, yang merespons penghinaan Trump soal tarif 125 % barang-barang China yang masuk ke Amerika. Ketimbang, sikap Prabowo Subianto yang merespons dengan cara membungkuk, menghiba dan merendahkan martabat Rakyat Indonesia dalam isu perang tarif ini.


Ya, Karena Indonesia adalah Negara yang serba tak jelas. Tak jelas strategi industrialisasinya. Tak jelas strategi pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Tak jelas pula, kebijakan pemimpinnya dari masa ke masa. Indonesia, hanya membiarkan sumber bahan baku (SDA) sekaligus market 285 juta penduduknya yang berlimpah, hanya untuk menambah kaya raya Bangsa lain. 


Emas Indonesia, hanya membuat kaya raya Amerika. Nikel Indonesia, hanya membuat kaya raya China dan industri mobil listriknya. Market Indonesia, juga hanya untuk memanjakan produk Amerika dan China. Anak muda Indonesia, bangga dengan iPhone, yang lainnya kompak memakai HP China. 


China, berani lantang menyatakan 'tidak peduli' jika harus kehilangan 15 % market global dari pasar Amerika, jika akhirnya harus mundur dari pasar Amerika. China, juga menyatakan selama ini telah, sedang dan akan terus bertahan tanpa Amerika, yang menurut China baru eksis di pentas global hanya sekitar 200 tahun. China, mengklaim telah bertahan dalam peradaban dunia dan hidup dari satu generasi ke generasi lainnya, selama hingga 5.000 tahun.


Saya ingin mengajak pembaca melihat, sebenarnya seberapa besar dampak tarif 125 % ini bagi China, atau malah akan berdampak buruk bagi rakyat Amerika sendiri, yang selama ini sudah terbiasa dan tergantung dengan pruduk-produk China yang berlimpah, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


Kita awali, sebenarnya siapa yang dirugikan oleh kenaikan tarif 125 % Amerika?


Dalam teori bisnis, setiap pebisnis pasti akan membebankan biaya produksi kepada customer melalui harga jual barang, dengan memperhitungkan keuntungan bisnis yang hendak mereka raih. Jika produk dibuat dengan biaya 5.000, maka jika produk itu dijual 6.000, keuntungan bisnis nilainya 1.000.


Jika produk tersebut, terhambat tarif maka produsen akan membebankan tarif tersebut kepada customer. Misalnya, ketika tarif dikenakan sebesar 100 %, maka barang yang dijual 6000, untuk mempertahankan keuntungan sebesar 1.000, maka barang tersebut akan dijual senilai 11.000 kepada Customer. Artinya, customer harus menanggung biaya dari harga sebesar 5.000 menjadi 11.000 per unit, untuk mendapatkan barang dengan manfaat yang sama, yang sebelumnya bisa dibeli dengan harga 6.000 per unit.


Kalau produsen mau berbaik hati kepada customer, dengan tarif 100 %, maka produsen menjual produknya 10.500, dengan keuntungan berkurang tinggal 500, padahal sebelumnya mendapatkan keuntungan senilai 1.000. Artinya, Customer tetap terbebani dengan harga 10.500 per unit yang sebelumnya cukup dengan harga 6.000 per unit, padahal manfaat barang yang dibeli sama.


Produsen tak mungkin tetap menjual barang 10.000, yang artinya tidak ada keuntungan karena terbebani tarif 100 %. Produsen bahkan, lebih mustahil tetap menjual dengan harga 6.000 agar customer tetap mendapatkan harga yang sama dengan sebelum tarif dikenakan sebesar 100 %.


Artinya, kenaikan tarif akan merugikan customer, karena biaya produksi barang akan naik dan harga jual akan lebih mahal, meskipun manfaat barang yang diterima sama.


Tarif 125 % Trump jelas akan merugikan rakyat Amerika. Karena mereka, tidak akan mendapatkan barang yang sama dengan harga yang sama, melainkan harga akan naik.


Dengan tarif 125 %, itu sama saja Amerika menutup pasar mereka untuk China. Karena bagaimanapun CHINA tidak akan mungkin mensubsidi rakyat Amerika, dengan menjual barang mereka dengan harga yang sama, meskipun tarif telah dinaikkan.


Amerika sebenarnya, sedang menjalankan strategi proteksi pasar. Untuk melindungi produk dalam negeri. Tujuannya, agar pasar dalam negeri sebesar 15 % dari konsumsi global, bisa dinikmati oleh pelaku usaha Amerika, bukan China.


Pertanyaannya, apakah Amerika mampu memenuhi kebutuhan customer dalam negeri dengan pruduk yang dihasilkan dari industri mereka? Jawabannya, tentu saja bisa. Amerika, adalah negara dengan berbagai industri dan teknologi yang sangat memadai untuk memenuhi permintaan pasar seluruh rakyatnya, bahkan melayani market dunia.


Hanya saja, apakah pruduk Amerika terjangkau? Ramah dengan kantong rakyat Amerika bahkan dunia?


Keunggulan industri manufaktur China adalah produksi yang masif, dengan dukungan penuh Negara. Produksi yang seperti ini akan meningkatkan efisiensi dan memudahkan mengatur margin laba, karena quota yang besar. Strategi inilah, yang tidak dimiliki dan tidak mampu dilawan Amerika dari China. Barang Amerika mungkin bisa lebih baik dari China, tapi tak akan mungkin lebih murah.


Pada level tertentu, industri yang masif dengan tingkat efisiensi tinggi, mampu meningkatkan kualitas dan teknologi terapan. Artinya, barang yang diproduksi tidak saja lebih murah, namun bisa lebih berkualitas. Apalagi, jika dukungan bahan baku lebih melimpah.


Dalam industri mobil listrik, misalnya. Sejumlah merk mobil listrik China, meski lebih murah dari mobil listrik Amerika, namun bukan berarti teknologinya kalah dari Amerika. Salah satu keunggulan industri manufaktur di bidang automotif khususnya mobil listrik China, itu karena CHINA mendapatkan suplai bahan baku nikel yang murah dan melimpah, dari Indonesia.


Lalu, apakah customer Amerika akan nurut dengan kebijakan Trump? Terpaksa, membeli barang bikinan Amerika meskipun lebih mahal ketimbang pruduk China?


Jawabnya, tidak. Tidak ada warga Negara yang benar-benar cinta Negaranya, dalam soal belanja barang. Pertimbangan ekonomi, yakni mendapatkan barang yang lebih murah dengan kualitas lebih baik atau setidaknya sama baiknya, selalu menjadi pilihan utama, meskipun barang itu diproduksi oleh China. Artinya, kebijakan Trump pasti akan memantik kemarahan rakyat Amerika.


Apalagi, untuk barang kebutuhan sehari-hari, seperti makanan, minuman, hingga garmen. Industri makanan, minuman dan garmen China, telah mengalami proses kumulasi modal dan industrialisasi masif yang ditopang oleh dukungan Negara. Amerika, tertinggal dalam bidang ini. Bahkan, pruduk China lebih mudah ditemui di pasar global ketimbang pruduk Amerika.



*Strategi Proteksi Amerika, sebuah Hipokrisi*


Sebenarnya, Amerika telah mengingkari prinsip laissez-faire (pasar bebas), yang dulu gencar digembar gemborkan Amerika. Mereka mengklaim, dengan pasar bebas akan terjadi efisiensi produksi, persaingan sehat, dan customer akan mendapatkan harga terbaik dengan kualitas terbaik. Produsen, juga akan terstimulasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.


Strategi ini, sebenarnya untuk menciptakan pasar bagi produk industri Amerika yang berlimpah, karena saat itu Amerika mampu mengkonsolidasi produksi hingga tingkat efisiensi tertinggi dan jumlah serta kualitas terbaik, sekaligus produk kreatif yang belum diproduksi Negara lainnya. Pasar bebas, sengaja dipaksakan Amerika agar dunia membuka pasar domestik mereka untuk produk-produk Amerika.


Amerika memaksakan ide pasar bebas melalui sejumlah kebijakan global, hingga memanfaatkan lembaga peregangan dunia di PBB (WTO), untuk memuluskan ekspansi bisnisnya. Neo imperialisme kapitalisme Amerika, melalui strategi menjadikan bangsa-bangsa di dunia penyuplai bahan baku industri Amerika, sekaligus market bagi produk Amerika.


Tetapi begitu China hadir sebagai pemain baru, berhasil merebut sejumlah pasar Global, Amerika buru-buru menutup market nasional mereka dengan menetapkan tarif 125 % bagi barang-barang yang masuk Amerika, dengan tujuan untuk melindungi market Amerika agar market Amerika dinikmati pelaku industri Amerika sendiri.



*Hukum besi Kapitalisme, Law of Capital Accumulation*


China hari ini, sejatinya bukanlah China yang dulu. Meski secara politik China berideologi sosialisme komunisme, namun secara ekonomi Chika mengadopsi sistem ekonomi Kapitalisme.


Dalam sistem ekonomi Kapitalisme, negara apapun yang menerapkannya, produksi barang dan jasa pada akhirnya terkonsentrasi oleh modal. Model-modal yang berhimpun, akan mengkonsolidasi industri dan menjadikan produksi berlimpah.


Jika kumulasi modal yang menyebabkan kumulasi produksi yang tinggi ini tidak menemukan pasar atau tidak terserap pasar secara sempurna, maka pada titik tertentu produksi akan turun bahkan terhenti karena barang tidak terserap pasar. Ekonomi akan mengalami resesi.


China, saat ini sedang ada dipuncak akumulasi modal dan industrialisasi. Sehingga, pruduk mereka membanjiri pasar global. Namun, jika pruduk yang berlimpah ini terhalang untuk diserap pasar, baik karena hambatan tarif atau karena sebab lainnya, pada akhirnya puncak gunung salju industrialisasi ini juga akan mengalami titik jenuh dan kembali runtuh. Itulah, mekanisme alamiah tentang kejayaan suatu kaum dipergilirkan.


Kapitalisme hanya melihat manusia sebagai barang. Bukan makhluk Allah SWT yang memiliki perasaan, pemikiran dan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi.


Kapitalisme, hanya memberikan akses konsumsi barang baru yang terlibat dalam produksi. Sementara mereka yang lemah, yang tetap butuh makan meskipun tidak bekerja, tak diurusi oleh Kapitalisme.


Berbeda dengan kapitalisme, Islam mendistribusikan barang dan jasa tidak saja melalui mekanisme ekonomi di pasar. Melainkan, juga melalui mekanisme non ekonomi.


Seorang yang miskin, tak punya pekerjaan, tetap terpenuhi kebutuhannya untuk makan. Karena dalam Islam, ada zakat yang diambil dari yang kaya untuk yang miskin, sebagai bagian dari distribusi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia. 


Islam, memanusiakan manusia. Sedangkan Kapitalisme, menganggap manusia hanya seonggok barang.



*Bagaimana dengan Ekonomi Islam mengatur masalah Tarif?*


Dalam Islam, dilarang mengambil pungutan apapun dari manusia tanpa landasan syar'i. Karena itu, Negara Islam atau Khilafah tidak diperkenankan memungut pajak dari rakyatnya untuk mengelola pemerintahan.


Bahkan, Rasulullah Saw tegas mengharamkan pajak, dengan menyebut pemungutnya tidak akan masuk surga. 


Rasullullah Saw bersabda:


 "لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ" 


_"Tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak"._ [HR: Ahmad]


Lalu, bagaimana Islam mengatur perdagangan luar negeri? Yakni, perdagangan yang melibatkan orang dan barang dari negara kafir? Apakah, Islam membolehkan pungutan tarif atas bea masuk barang import? Berapa besarannya? Apa langkah Islam, jika nantinya Negara Khilafah menghadapi perang dagang seperti yang dilakukan Amerika dengan menaikan tarif bea masuk barang ke negaranya?

Untuk memahaminya, perlu dipahami kerangka berfikir sebagai berikut:

Pertama, dalam Islam perdagangan secara umum diatur dalam dua yurisdiksi. Yakni, perdagangan dalam negeri yang terikat dengan hukum Syara' secara umum dan perdagangan luar negeri yang mewajibkan kontrol Negara (Khilafah) atas perdagangan yang melintasi perbatasan Negara.

Perdagangan dalam Negeri, setiap pelakunya terikat dengan hukum-hukum perdagangan, dan setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi oleh Negara, baik yang bersifat Hisbah (melanggar hak jama'ah/publik) maupun sanksi yang bersifat ta'jier (pelanggaran hukum Syara').

Karena itu, Islam mewajibkan setiap transaksi perdagangan terpenuhi syarat dan rukunnya, tidak boleh ada aib/cacat barang yang disembunyikan, larangan menimbun barang dagangan, tidak boleh memperdagangkan barang yang majhul/tidak jelas, tidak boleh ada riba, gharar, maisir/judi, dan sejumlah aturan akad Al bai' (jual beli) lainnya yang mengikat bagi setiap warga negara, baik muslim maupun Ahludz Dzimmah (non muslim).

Negara, tidak boleh mematok harga barang. Harga barang akan tunduk pada hukum Qauniyah, yakni hukum 'Suplay & Demand' (penawaran dan permintaan).

Dalam Islam, diharamkan memungut pajak dari perdagangan, baik terhadap barangnya (PPn) maupun penghasilan dari perdagangan (PPh). Islam hanya mengambil zakat dari modal perdagangan, yang telah memenuhi syarat (Nisab dan Haul).

Adapun perdagangan luar Negeri, Islam mengaturnya dengan mekanisme sebagai berikut :

1. Asas perdagangan adalah antar orang (subjek) bukan antar barang (objek). Karena itu, Islam melalui Negara Khilafah mengontrol penuh arus perdagangan luar Negeri, yaitu dari individu-individu non warga Negara Khilafah.

2. Islam mengharamkan secara total, perdagangan dengan Negara-negara yang berstatus Muhariban Fi'lan (memerangi kaum muslimin secara de facto), seperti yang dilakukan oleh Amerika, China dan Israel. Dalam hal ini, Negara melarang setiap jenis perdagangan antara Warga Negara Khilafah dengan Negara-negara yang statusnya memerangi kaum muslimin. Karena itu, praktik perdagangan luar negeri dengan Amerika dan Israel yang dilakukan oleh Turki dan Mesir, merupakan pelanggaran syar'i sekaligus bentuk pengkhianatan terhadap Palestina, Islam dan kaum muslimin. Karena setiap keuntungan bisnis yang diperoleh Amerika dan Israel, digunakan untuk membantai kaum muslimin di Palestina.

3. Negara Khilafah, membolehkan rakyatnya untuk berdagang dengan warga Negara asing (Darul Kufur) yang statusnya Muharibah Hukman (De Yure) tidak berdamai dengan kaum muslimin, dan negara-negara yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah (Darul Mu'ahadah).

4. Negara Khilafah tidak boleh mengambil tarif atau bea masuk atas barang import dari warga Negara asing (Darul Kufur) yang statusnya Muharibah Hukman (De Yure) tidak berdamai dengan kaum muslimin, dan negara-negara yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah (Darul Mu'ahadah).

5. Negara Khilafah boleh menerapkan tarif atau bea masuk barang warga Negara asing (Darul Kufur) yang statusnya Muharibah Hukman (De Yure) tidak berdamai dengan kaum muslimin, dan negara-negara yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah (Darul Mu'ahadah), dengan catatan besarnya tarif tidak boleh melebihi tarif yang diterapkan oleh Negara asing terhadap warga Negara Khilafah yang mengekspor barang ke negara tersebut. Dasarnya karena Islam boleh membalas kezaliman dengan yang sepadan. Karena tarif adalah kezaliman bagi costumer, disebabkan setiap kenaikan tarif akan berdampak pada kenaikan harga barang. Kebijakan menerapkan tarif seimbang ini, pernah dijalankan oleh Khalifah Umar bin Khattab RA, ketika pedagang warga Negara Khilafah dihambat tarif saat mengeskpor barang, maka Khalifah kembali menerapkan tarif import pada barang yang masuk ke Wilayah Khilafah dari warga negara asing yang negaranya menerapkan kebijakan tarif tersebut.

Kedua, pengenaan tarif bagi bea masuk barang import hanya dikenakan karena negara tersebut menerapkan tarif pada warga Negara Khilafah (Islam) yang mengeskpor barang ke negara tersebut, dengan besaran tarif tak boleh melebihi tarif yang diterapkan Negara asing.

Sehingga, pengenaan tarif atas dasar proteksi pasar dalam Negeri, strategi mengisolasi produk asing, memaksa negara lain untuk tunduk pada politik luar Negeri yang diadopsi Negara, seperti yang saat ini dijalankan Amerika adalah haram dalam pandangan hukum Islam.

Amerika saat ini menaikkan tarif atas sejumlah produk import, khususnya dari China, adalah untuk memproteksi pasar dalam Negeri dari serbuan produk China. Amerika, juga mencoba mengisolasi produk China di pasar Global, dengan memaksa sejumlah Negara satelit yang berinteraksi dengan Amerika untuk tunduk pada kebijakan perdagangan luar negeri ini.

Negara Khilafah tidak akan menggunakan cara-cara zalim untuk memaksa dunia menerima kemuliaan syariah Islam. Negara Islam Khilafah, hanya akan tunduk pada hukum Islam dalam menjalankan perdagangan dan interaksi global, dengan tujuan utama untuk mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru alam. 

Negara Khilafah akan berusaha memenuhi kebutuhan rakyatnya baik dengan produksi dalam Negeri maupun dari impor yang diperkenankan, dengan terikat pada hukum Syara'. Keterikatan pada hukum Syara' inilah, yang menjaga stabilitas perdagangan bahkan perekonomian Negara Khilafah.

Insyaallah, dengan penerapan Islam oleh Negara Khilafah, maka dunia akan melihat keadilan Islam dan akan berbondong-bondong memeluk agama Islam. Insyaallah. [].