MEWASPADAI STRATEGI PKI GAYA BARU DALAM GERAKAN IMADIYAH
Ahad, 4 Mei 2025
Faktakini.info
MEWASPADAI STRATEGI PKI GAYA BARU DALAM GERAKAN IMADIYAH
Dalam konteks sejarah Indonesia, PKI (Partai Komunis Indonesia) memiliki ciri khas strategi "Adu Domba", yaitu memecah belah kekuatan lawan agar mudah dikendalikan atau dilemahkan. Berikut ini adalah beberapa contoh Adu Domba PKI:
1. Memanfaatkan Konflik Sosial dan Ekonomi PKI sering masuk ke tengah-tengah konflik antara petani dengan tuan tanah, atau buruh dengan pengusaha, lalu memanaskan suasana agar kekacauan meningkat dan mereka bisa tampil sebagai "pembela rakyat kecil", sebagai kedok untuk mengelabuhi rakyat, agar tujuan mereka tercapai.
2. Memecah Belah Antara Kelompok Nasionalis dan Agama PKI mencoba menciptakan ketegangan antara kelompok nasionalis dan kelompok agamis, khususnya kelompok Islam seperti Masyumi dan Nahdlatul Ulama, dengan menyebarkan narasi bahwa kelompok Islam ingin membentuk negara agama.
3. Infiltrasi ke Berbagai Lembaga PKI menempatkan kader-kadernya di berbagai organisasi, termasuk di TNI, organisasi buruh, dan petani. Mereka kemudian mencoba memecah belah kesatuan dalam lembaga-lembaga ini untuk memperkuat posisi mereka.
4. Propaganda dan Misinformasi PKI dikenal ahli dalam menggunakan propaganda untuk menciptakan persepsi yang menguntungkan mereka, termasuk menyebarkan informasi palsu tentang lawan politik mereka.
5. Membenturkan Rakyat dengan Militer Salah satu puncaknya adalah saat Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), di mana PKI dituduh membunuh jenderal-jenderal TNI dan menciptakan krisis nasional. Peristiwa ini menimbulkan benturan besar antara rakyat, TNI, dan berbagai kekuatan politik.
Kalau menurut keterangan mantan Ketua Umum PBNU, al-Marhum KH Hasyim Muzadi dalam rekaman video yang beredar luas di Medsos, PKI memiliki empat karakteristik:
1. Menghapus jejak
2. Membersihkan diri
3. Menimpakan kesalahan kepada orang lain
4. Meminta orang lain memberi ganti rugi pada mereka
Beliau menambahkan, setelah era reformasi PKI berupaya membersihkan citra bahkan melemparkan kesalahannya kepada orang lain dan menuntut permintaan maaf dari pemerintah. Padahal, jika kita melihat fakta sejarah, pembersihan simpatisan-simpatisan PKI oleh umat Islam (terlebih NU) dengan dukungan negara, sebenarnya itu adalah respon pembalasan terhadap pembantaian yang lebih dulu dilakukan oleh PKI kepada sejumlah kyai dan tokoh agama. Jadi, sangat aneh jika ada pihak yang semestinya menjadi tersangka, malah mengaku-ngaku sebagai korban lalu menuntut Pemerintah Indonesia agar meminta maaf secara kolektif.
Kelompok Imadiyah disinyalir menggunakan strategi “Adu Domba” ala PKI, karena sejak kemunculannya selalu memecah belat umat, menebar kebencian, hasudan dan permusuhan antar anak bangsa, merenggangkan keharmonisan antar ulama dan habaib yang sudah mengakar kuat di bumi nusantara. Setidaknya ada beberapa mafsadah yang ditimbulkan fitnah imadiyah ini yang dampaknya terhadap umat Islam Indonesia sangat serius, diantaranya:
1. Adu Domba Antar Ulama, Habaib dan Umat
Hubungan erat antara Habaib dan Kiai telah terbangun sejak lama, sebab keduanya merupakan pintu umat menuju Rasulullah SAW. Habaib/ Saadah adalah dzurriyah Nabi SAW dan para Kiai/ Ulama adalah pewaris Rasulullah. Antara Ahlul Bait Nabi SAW dan pewaris Nabi SAW hidup saling menghormati satu sama lain, keharmonisan ini terus terjalin dan hingg kini diteruskan oleh para ulama dan habaib di nusantara, berapa banyak Ulama Nusantara yang terkenal kewalian dan keshalihannya seperti KH. Hasan Genggong, KH Abdul Hamid Pasuruan, Guru Zaini Sekumpul, KH Maimoen Zubair, dll begitu memuliakan Habaib sebagai dzurriyah Rasulullah SAW. Begitupula sebaliknya, para Habaib yang shalih pun begitu memuliakan para Kiai dan Ulama.
Ironisnya, dampak dari penyimpangan yang dilakukan Imad dkk adalah munculnya sekelompok orang –terlebih di media sosial– yang selalu berusaha merusak keharmonisan ini, dan tidak henti membenturkan antara Habaib dan Kiai. Tentunya, implikasi dari pembenturan Habaib dan Kiai adalah pembenturan antara Umat/ Jamaah/ Murid/ Pecinta setiap Habaib dan Kiai itu sendiri. Hal ini sangatlah fatal dan berbahaya terhadap kondusifitas dan persatuan umat Islam di Indonesia khususnya, dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya.
Kyai dan Habaib merupakan unsur yang tidak terpisahkan, mereka semua merupakan penyambung risalah dakwah Rasulullah SAW yang wajib kita hormati, cintai dan ikuti selama istiqamah dalam rel ajaran Rosulullah SAW. Persatuan, keharmonisan dan sinergi di antara Ulama dan Habaib yang istiqamah adalah kemajuan umat. Demikian sebaliknya, pembenturan dan perpecahan antara Ulama dan Habaib adalah kerugian besar untuk umat. Yang jadi pertanyaan adalah, Siapakah dalang dibalik semua ini? Apakah pelakunya adalah pihak yang terpapar virus PKI gaya baru? mungkin banget!
2. Membuka Pintu Istihza’ (Pelecehan) dan Su'ul Adab Terhadap Ulama dan Aulia’
Fitnah Imadiyah telah membuka pintu terhadap istihza’ (melecehkan) dan su'u al-adab (sikap yang tidak sopan) terhadap Ulama dan Aulia (orang-orang shalih). Ulama dan Aulia Besar seperti al-Imam al-Sakhawi, al-Imam Murtadha al-Zabidi, al-Imam Yusuf al-Nabhani, dll. menjadi olokolokan di media sosial hanya kerena mereka mengakui Saadah Ba’alawi sebagai dzurriyah Rasulullah SAW, dan bertentangan dengan pandangan Imad. Terlebih Aulia dari kalangan Saadah Ba'alawi yang semenjak dahulu diakui kewalian dan ke-ulamaannya oleh Ulama Nusantara, seperti shohiburrathib al-Habib Umar bin Abdurrahman Alathas, al-Habib Abdullah bin Alwi alHaddad, Al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, dll., tidak luput dari hinaan dan celaan yang dilontarkan oleh para pengikut Imad. Jika ada pihak yang membela Ba’alawi, baik dari kalangan Kyai, santri, akademisi atau pejabat institusi, dapat dipastikan dia akan mengalami intimidasi, caci maki, dan persekusi, terlebih di dunia maya, contoh kongkritnya adalah para petinggi PBNU, jajaran Syuriyah atau Tanfidziyah yang mengalami serangan hinaan luar biasa pasca berkomentar positif tentang Ba’alawi, padahal dalam sejarah NU, hal ini tidak pernah terjadi! Ulama dan Aulia adalah pilar-pilar spiritual dan intelektual dalam masyarakat Muslim. Mereka wajib dihormati dan diperlakukan dengan sikap yang sopan dan santun. Namun, dengan membuka pintu terhadap istihza dan su'ul adab terhadap mereka, Imaduddin telah menunjukkan kurangnya kesadaran akan pentingnya memelihara adab dan hormat dalam berinteraksi dengan sesama. Sikap ini dapat merusak kesejahteraan dan keharmonisan umat, serta melemahkan nilainilai moral dan etika dalam Masyarakat juga memancing datangnya murka Allah swt. Dalam hadits Qudsi Allah swt berfirman:
“Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya” (HR. al-Bukhari)
3. Menyebarkan Kebencian Rasial di Tengah Umat Penyimpangan yang dilakukan Imaduddin menyebabkan timbulnya ujaran kebencian rasial (Rasis) di ruang publik, khususnya di media sosial. Caci maki terhadap Ba'alawi sebagai sebuah suku dan Yaman sebagai negara asal-usulnya menjadi makanan sehari-hari gerombolan Imaduddin di Media Sosial. Bahkan, hal itu sampai kepada ancaman untuk sweeping Ba'alawi dan mengusirnya dari Bumi NKRI. Hal ini, bukan hanya menabrak ajaran Agama, namun juga melanggar perundang-undangan Negara. Dalam Hadits riwayat Ibn Majah, Rasulullah SAW besabda:
“Termasuk orang yang paling besar kedzalimannya adalah manakala seseorang menghina orang lain lalu dia membalas menghina kabilahnya, dan seseorang yang tidak menisbatkan diri kepada ayahnya dan menuduh Ibunya berzina“ (HR. Ibn Majah)
Dalam konteks kehidupan modern Internasional, prilaku rasis sangat dikecam, Sedangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, ujaran kebencian yang bersifat rasis dilarang oleh UUD 1945, dan bahkan ada undang-undang yang khusus mengatur tentang hal tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Dalam Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun, dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.” Dalam Pasal 3 ayat (3) UU HAM; “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia, tanpa diskriminasi.”
Bahkan ada ancaman pidana yang serius bagi para pelaku ujaran kebencian terhadap Ras dan Etnis. Pada Pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis disebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”
Gerombolan Imad selalu membuat narasi yang membenturkan antara Ba'alawi dan Pribumi. Padahal narasi itu menyesatkan. Sebab, mayoritas Ba'alawi yang ada saat ini lahir dari Rahim pribumi. Dahulu kakek mereka datang dari Hadromaut, ada yang datang sebagai pedagang, namun tidak sedikit yang datang sebagai Ulama, seperti 7 dari Walisongo, Habib Husein bin Abu Bakar Alidrus Luar Batang, Habib Abdullah bin Muhsin Alathas Kramat Empang Bogor, Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid Tanggul, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad Tegal, dan masih banyak lagi. Banyak di antara leluhur Ba'alawi di Indonesia atau keturunannya yang menikah dengan Wanita Asli Indonesia, sehingga anak keturunannya saat ini mayoritas adalah keturunan wanita asli Indonesia. Itulah sebabnya, kenapa Ba'alawi menyebut Pribumi Non Ba'alawi di Indonesia dengan sebutan Akhwal (لاوخأ) dalam bahasa arab Akhwal merupakan bentuk jama’ dari Khaal (لاخ), yang artinya paman (saudara ibu). Panggilan itu merupakan panggilan penghormatan, sebab Ba'alawi memandang pribumi Non Ba'alawi di Indonesia sebagai saudara Ibunya. Dari sini menjadi jelas, bahwa leluhur para Ba'alawi yang pertama datang ke Indonesia memang pendatang sebagai Ulama, Pedagang, dll, namun mayoritas Ba'alawi yang saat ini lahir dari rahim Ibu/nenek pribumi, sehingga mereka bukan lagi pendatang tapi sudah menjadi darah daging pribumi.
Di Sulawesi ada Guru Tua, Sayyid Idrus Salim al-Jufri yang namanya di abadikan menjadi nama bandara di Palu “Mutiara SIS al-Jufri,“ Habib ldrus tidak meninggalkan karangan kitab, namun karya besarnya adalah aI-Khairat dan murid-muridnya yang telah memberikan pengajaran serta pencerahan agama kepada umat. Mereka para murid-murid aI-Khairaat menyebar di seluruh kawasan Indonesia untuk meneruskan perjuangan sang Pendidik yang tak kenal putus asa ini. Habib ldrus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dalam mengarungi perjalanan panjang dengan berbagai sarana kepulauan di sekitar Sulawesi dan Maluku untuk menyiarkan pengetahuan Islam. Beliau berpindah dari satu pulau ke pulau yang lain menggunakan perahu sampan, gerobak sapi dan kendaraan lainnya, bahkan dengan berjalan kaki dengan bermacam risiko, tantangan dan bahaya yang selalu mengancam di setiap saat. Hingga akhir hayatnya tahun 1968 M., Sayyid Idrus berhasil membangun 420 madrasah yang tersebar di seluruh wilayah Palu. Sejak berdiri tahun 1930 M., saat ini al-Khairaat telah menaungi sekitar 1.700 madrasah, 43 pondok pesantren dan satu perguruan tinggi. Lembaga pendidikan tersebut masih eksis beroperasi yang tersebar di 12 Provinsi dan 84 kabupaten/kota. Selain itu al-Khairaat juga memiliki rumah sakit yang dikelola secara mandiri. Saat ini ratusan ribu guru telah tersebar di pelosok-pelosok kampung untuk mengabdikan diri mereka mengembangkan alKhairat. Al-Khairat saat ini merupakan lembaga sosial keagamaan terbesar di kawasan Timur Indonesia yang berpusat di kota Palu yang memiliki puluhan cabang di kabupaten/kota dan provinsi.
Dengan jasa sebesar itu terhadap bangsa indonesia, dapat disimpulkan bahwa orang yang menghina sosok Guru Tua dengan sebutan “monyet” adalah jenis makhluk hidup yang akalnya bermasalah, tidak terdidik, kurang wawasan, amoral, provokator, pembenci, dan terindikasi virus PKI Gaya Baru.
4. Melemahkan Integritas Keilmuan dan Amaliah Ulama NU
Dengan mengatakan Klan Ba'alawi melakukan skandal ilmah dalam penyambungan nasabnya, berarti Imad sedang menghantam dan melemahkan Keilmuan dan amaliyah NU. Mengapa demikian? sebab hubungan keilmuan dan amaliah antara NU dan Ba'alawi tidak bisa dipisahkan.
Sebagai contoh, pendiri Nahdhatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, saat belajar di Mekkah, beliau memilki dua guru besar, yaitu Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi saudara dari al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi pengarang Maulid Simthu al-Durar dan al-Habib Alwi bin Ahmad al-Seggaf pengarang Tarsyihu al-Mustafidin Hasyiah Fathul Mu’in. Begitupula, Syaikh Abdul Hamid Kudus dan Syaikh Mahfudz Termas belajar kepada al-Habib Muhammad bin Husain al-Habsyi.
Bahkan KH Soleh Darat yang merupakan guru dari KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, juga belajar kepada seorang waliyullah dari kalangan Ba'alawi, yaitu Habib Syaikh bin Ahmad Bafaqih yang dimakamkan di Botoputih Surabaya. Tidak tanggung-tanggung, KH Soleh Darat menyebut beliau sebagai “Quthbul Wujud”.
Syaikh Yasin al-Fadani yang menjadi satu rantai penyambung sanad keilmuan Ulama Nusantara, mengambil sanad kepada banyak Masyayikh Ba'alawi, di antaranya, al-Habib Abdu al-Qadir Bilfaqih Malang, dan al-Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, dan al-Habib Abu Bakar bin Muhammad al-Seggaf Gresik. Terkhusus Habib Abu Bakar Gresik, disebut oleh Syaikh Yasin al-Fadani dengan istilah “Quthbu Zamanihi“, yaitu pimpinan wali pada zamannya.
Jika Klan Ba'alawi secara kolektif dituduh oleh Imad telah melakukan pemalsuan nasab, maka berarti mereka semua telah melakukan dosa besar, yang berarti meruntuhkan ‘adalah/ integritas dan kejujurannya. Padahal mereka semua adalah guru dari para maha guru Umat Islam di Nusantara. Oleh karena itu, sadar atau tidak sadar, Imad dkk. sedang menghantam sanad keilmuan NU itu sendiri.
Tidak sampai disitu, berapa banyak kitab-kitab Ba'alawi yang dikaji dan dijadikan rujukan oleh pesantren dan majlis-majlis NU, seperti, al-Nashaih al-Diniyyah dan Risalah al-Mu’awanah karya al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, al-Risalah al-Jami’ah karya al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi, Sullamu al-Taufiq karya al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Safinah al-Shalat karya al-Habib Abdullah bin Umar bin Yahya, Bughyatul Mustarsyidin karya al-Habib Abdurrrahman al-Masyhur, Tarsyihul Mustafidin dan al-Fawaid al-Makkiyyah karya al-Habib Alwi bin Ahmad al-Segaf, al-Yaqut al-Nafis karya al-Habib Ahmad bin Umar al-Syathiri, dll. Konsekwensi dari tuduhan Imad bahwa mereka semua adalah pendusta dan pemalsu nasab, maka berarti semuanya menjadi fasiq, dan integritasnya dalam mentransfer ilmu menjadi gugur, sehingga kitab-kitab itu tidak layak dipercaya dan dipakai.
Tidak hanya itu, Amaliyah yang dilakukan di berbagai pesantren dan majelis NU juga tidak lepas dari amaliyahnya Ba'alawi, seperti Wirdu al-Sakran karya Syaikh Ali bin Abi Bakar al-Sakran, Ratibu al-‘Athas yang disusun oleh Habib Umar bin Abdurrhaman Al-aththas, Ratibu al-Haddad dan al-Wirdu al-Lathif yang disusun oleh al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, Khulashatu al-Maghnam yang diijazahkan oleh KH. Hasyim al-Asy’ari kepada para santrinya yang merupakan karya al-Habib Ali bin Hasan al-aththas, Maulid Simthu al-Durar Karya al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, dll.
Belum lagi qasidah-qasidah yang sering dibacakan di berbagai acara NU seperti Athfatan Yaajirotal ‘Alami–Ya Uhailaljuudi wal Karomi karya al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad, Robbi Fanfa’na Bima ‘Allamtana karya Habib Ahmad bin Umar bin Sumaith, Ya Arhamarrohimin, Salamullah Ya Saadah dan Ya Robbana’tarofna Karya al-Habib Abdullah bin Husain bin Thahir, Sa’duna Fiddunya Karya Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdhar, Qosidah-Qosidah Habib Ali al-Habsyi, dll. Jika tuduhan Imad benar, maka mereka semua masuk kategori fasiq dan akan berimbas pada karya-karya mereka yang menjadi amaliyah berbagai Pesantren dan Majlis NU khususnya, dan Aswaja Umumnya di seluruh Nusantara, Naudzubillah min dzalik!
Tidak heran, jika KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999 - 2010), dalam konteks Hubungan Habaib dan Kiai dengan NU, dalam salah satu pidatonya pada tahun 2000 di Jakarta mengatakan: “NU ini milik Aulia, milik Habaib dan milik Ulama, NU sebagai organisasi hanyalah figuranya saja, fotonya itu sebenarnya adalah Aulia, Ulama, dan para Habaib. Jadi kalau NU berjuang meninggalkan Aulia baik yang masih hidup ataupun yang sudah wafat, meninggalkan Habaib baik yang hidup maupun yang sudah wafat, berarti Nahdatul Ulama kehilangan ruh nya dan akan menuju ke tempat yang salah.
Walhasil, jika mereka mengklaim sudah tidak ada lagi Ahlul Bait di dunia alias sudah terputus garis keturunan Rasulullah SAW, maka klaim ini secara implisit tidak mempercayai akan kemunculan Imam Mahdi di akhir zaman, pasalnya beliau adalah dzurriyyah Rasul yang dijanjikan. Padahal perihal kemunculan sosok pemimpin akhir zaman sudah ditegaskan oleh Rasulullah Shallallhu alaihi wasallama dan diabadikan oleh para ulama dalam karya-karyanya, sebagai contohnya adalah Imam al-Suyuti yang telah mengumpulkan haditshadits tentang al-Mahdi dalam satu kitab yang berjudul al-Arf’ al-Wardi fi Akhbari al-Mahdi.
Dari beberapa data dan fakta, isu nasab Ba’alawi yang sudah bertahan dua tahun lebih di negeri ini mendapatakan sorotan dan perhatian khusus dari para pengamat dan pemerhati isu nasional. Banyak dari mereka yang berkesimpulan, bahwa isu bernuansa agama ini tidaklah genuine atau murni kajian ilmiah, ia tak lebih dari sebuah isu prioritas yang dipropagandakan secara massif dan dibackup penuh oleh oknum-oknum yang memiliki lobi kuat terhadap keputusan kebijakan negeri ini, mereka sengaja menggelindingkan bola liar isu nasab ke ruang publik dan memeliharanya untuk memicu polarisasi dan merusak hubungan antara ulamaumat, Habaib-muhibbin, kyai-santri, dan sesama warga NU.
Asumsi diatas diperkuat dengan bukti-bukti konkret seperti hingga detik ini Imaduddin Utsman tidak diproses oleh aparat penegak hukum, padahal sudah banyak pihak yang melaporkan sepak terjang Imad, mulai dari ceramah, tulisan, dan opininya yang menimbulkan konflik sosial atau perpecahan di kalangan umat Islam Indonesia yang masuk pada pasal ujaran kebencian, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Melati Suci Al Mubarak bersama Pengurus Pusat Majelis Muhyin Nufuus yang melaporkan Imaduddin ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Nomor: LP/B/357/V/2023/SPKT/Polda D.I Yogyakarta. Lalu, siapakah backing kuat di belakang layar Imad Cs? Oligarki? oknum Jenderal? ataukah Presiden periode lalu (Jokowi)? Wallahu a’lam.
Yang jelas dari beberapa penelusuran data dan fakta memang ada indikasi mengarah situ, seperti:
- Jenderal (Purn) Dudung Abdurachman, Penasihat Khusus Presiden urusan Pertahanan Nasional dan Ketua Komite Kebijakan Industri Pertahanan, menghadiri acara Rakernas ke-1 Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS) di Tangerang pada 1 Desember 2024. Dalam acara tersebut, ia mendukung upaya PWI-LS untuk meluruskan sejarah bangsa Indonesia, khususnya terkait pembelokan sejarah oleh kelompok tertentu, seperti klaim kelompok Ba’alawi terhadap pahlawan nasional seperti Imam Bonjol. Dudung menegaskan bahwa PWI-LS, yang mayoritas anggotanya warga Nahdliyin, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjaga nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin. Ia juga menerima penghargaan sebagai warga kehormatan dari PWILS.
- Dalam media Suara Nasional, aktivis seperti Rahman Simatupang menyebut individu seperti Fuad Plered dan Mogi Nurfadhil (dan kroni-kroninya) sebagai "pembegal nasab" yang menjadi "jongos" Aguan, diduga mendukung PIK 2 demi keuntungan finansial sambil mengkhianati kepentingan publik. Mereka dituduh memanfaatkan narasi agama atau budaya untuk membenarkan dukungan, menciptakan konflik sosial.
- Said Aqil Siradj, mantan Ketua Umum PBNU, mendukung proyek Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), sebuah Proyek Strategis Nasional oleh Agung Sedayu Group (Sugianto Kusuma/Aguan) dan Salim Group. Pada 6 Januari 2025 di Tangerang, ia menyebut PIK 2 bermanfaat bagi masyarakat dengan mengolah lahan terbengkalai dan membangun fasilitas umum seperti masjid, taman, dan rumah sakit, sesuai konsep marrafiqil amah dan ini termasuk mempraktekkan ihya’ul mawat. Keterlibatan SAS dalam mendukung ide para pembegal nasab kentara banget, silahkan cari kabar beritanya yang bertebaran di medsos, seperti statement kontroversial terbarunya yang menegaskan bahwa tidak ada ulama besar dari Yaman.
- Rofi’i Mukhlis yang merupakan Ketua Barisan Ksatria Nusantara (BKN) juga terlihat sangat menghormati Aguan selaku bos PIK 2, ia juga menjadi sorotan karena membela proyek PIK 2, termasuk kasus pagar laut, dengan menyatakan bahwa proyek tersebut membawa manfaat ekonomi seperti lapangan kerja. Rofi’I ini adalah sosok yang berkali-kali melaporkan kyai dan ulama yang tidak sependapat ke pihak yang berwajib.
- Di era Jokowi, banyak sekali kasus-kasus besar yang merugikan Umat Islam seperti Penistaan agama oleh Ahok, pembunuhan Laskar FPI, isu nasab Ba’alawi dan lain sebagainya.
PWI (Perjuangan Walisongo Indonesia) Laskar Sabilillah seringkali mengklaim bahwa sejumlah kyai adalah anggotanya, meskipun tidak benar. Tampaknya klaim ini berkaitan dengan strategi organisasi untuk meningkatkan legitimasi dan pengaruhnya di kalangan masyarakat. Berdasarkan informasi yang tersedia, PWI Laskar Sabilillah, yang dipimpin oleh Muhammad Abbas Billy Yachsi, sering kali mengaitkan diri dengan tokoh-tokoh ulama atau kyai terkenal, termasuk yang bersejarah seperti keturunan Walisongo atau tokoh Nahdlatul Ulama (NU), untuk memperkuat narasi bahwa mereka mewakili perjuangan Islam Nusantara yang otentik. Di beberapa daerah, banyak sekali kasus seperti di atas terjadi, lalu terjadilah klarifikasi dari kyai atau tokoh yang namanya dicatut tanpa izin, seperti kiai-kiai di Banten yang diklaim sefrekuensi dengan pemikiran Imad, padahal tidak!
Perlu diketahui, PBNU telah merilis kembali surat edaran tentang Penegasan Posisi Perangkat Perkumpulan Nahdhatul Ulama dengan nomor surat: 3391/PB.01/A.11.1O.11/99/01/2025. Disitu tidak tercantum bahwa PWI bagian dari BANOM (Badan Otonom) NU, sehingga pemakaian logo NU dalam acara-acara PWI jelas menyalahi aturan organisasi dan harus ditolak, sebagaimana yang dilakukan oleh MWC Kecamatan Tambakromo Pati beberapa waktu lalu. Informasi yang paling penting lagi adalah Imaduddin Utsman sudah tercantum lagi dalam struktur kepengurusan PBNU masa khidmah 2022-2027, jadi apapun yang ia koarkoarkan tidak ada kaitannya dengan NU, dan juga logo dipondoknya nahdhatul ulum, sebaiknya tidak meniruniru logo NU, tidak pantas!
Andaikan tujuan dan maksud Kelompok Imadiyah itu murni untuk ishlahiddin (memperbaiki urusan agama) yakniَ hifdzi shahihi nas abirrasul (menjaga kemurnian garis keturunan nasab Rasulullah SAW) sebagaimana yang Imad katakan, tentu gerakan ini akan memberikan dampak positif terhadap umat, yakni kesejukan, kedamaian, ketenangan dan kerukunan antar sesama. Ide-idenya pun akan diterima khalayak umum dan menginspirasi mereka untuk mendakwahkannya ke seluruh elemen masyarakat, karena diantara ciri dari urusan agama adalah membawa kebaikan. Dan Ternyata, fakta dan realitanya tidak demikian, justru fenomena Kelompok Imadiyah menjadi simbol perpecahan dan permusuhan, ajang caci maki dan hinaan, dan sarana intimidasi dan intoleransi. Sehingga dapat disimpulkan gerakan Kelompok Imadiyah ini bukanlah gerakan pembaharuan yang bernuansa keagamaan sebagaimana yang diklaimkan, akan tetapi gerakan ini lebih mirip dengan gerakan PKI tempo dulu sebagaimana hasil kajian analisis komparatif yang telah dipaparkan di atas. Oleh karenanya, Waspadah